Quantcast
Channel: entrepreneur KREATIF
Viewing all articles
Browse latest Browse all 390

CERBER SosiaLITA ( Bag.1)

$
0
0


PROLOG

Tengah malam Jum’at Kliwon, saat para tuyul dan babi ngepet Ibukota sedang berkeliaran cari rejeki, Lolita mengetik di laptopnya, ditemani segelas kopi instan….
Namaku Lolita. Umur 37. Jomblo permanen. Aku bukanlah seorang sosialita ibukota yang gemar pamer tas Hermes kemana-mana, baik yang asli mau pun KW. Bukan. Aku hanyalah bagian dari 134 juta konsumen kelas menengah di Indonesia-yang kebetulan berprofesi sebagai jurnalis-dengan pengeluaran harian sekitar US$2-US$4 atau Rp 1-Rp 1,5juta per bulan (38,5 persen dari total konsumen kelas menengah di Indonesia versi  Bank Dunia). hobiku nonton Teletubbies sebelum tidur, atau sambil mengisi malam Mingguku yang bête abis.
Gajiku sebulan sebagai wartawan senior di Majalah Urban Women (yang porsi gosipnya sekitar 80% dari isi berita) sekitar Rp 4 juta. Seperti layaknya para konsumen kelas menengah lainnya di negeri ini, aku pun gemar mengonsumsi segala hal bermerek yang dapat mendongkrak pencitraan diriku, termasuk memaksakan diri berlangganan tivi berbayar demi gengsi, padahal aslinya biar bisa nonton serial teletubbies di BBC. (Apa kata tetangga?)
Aku tinggal di Bekasi, salah satu daerah sub-urban Jakarta yang kurang seksi dan sering di bully. Aku selalu berusaha menjalankan petuah bijak Ibu Gina, Pemred Majalah Urban Women. Beliau selalu berpesan ke staf-stafnya di kantor mengenai prinsip hidup yang satu ini:
Hiduplah ALPHARD adanya dan bersyukurlah setiap FERRARI, meski kadang hidup tak selalu berjalan LEXUS. Ingatlah selalu bahwa dalam setiap kejadian yang menimpamu, pasti ada PRADA yang dapat kita ambil. Intinya, mbok ya hidup itu yang JAGUAR-JAGUAR sajalah, jangan suka HUMMER.  Idih, HERMES deh gue dengarnya.
Kalo menurut Herman Kartajaya, aku ini termasuk tipe social climber yang jumlahnya 40,1% dari total kelas menengah Indonesia. Social Climber adalah jenis konsumen kelas menengah yang selalu berusaha agar dapat dikenal dan diterima di pergaulan kalangan the-have. Mereka mengetahui bahwa bersosialisasi dan berinteraksi dengan komunitas mereka adalah dua hal yang sangat penting dalam hidup. Mereka sangat antusias mengikuti berita dan trend terkini, termasuk gosip selebriti.
Intinya, aku adalah seorang pendaki yang takkan pernah bisa mencapai puncak strata sosial di negeri ini, dan mungkin takkan pernah mampu membeli kamera Canon DLSR EOS 5D yang setahuku harga pasaran kamera mehong itu berkisar Rp 12,5 jutaan. Entah berapa bulan nabung baru mampu terbeli. Ach!
Meskipun aku sering nongkrong di Senayan City dan Grand Indonesia setiap awal bulan, tetap saja aku dan teman-temanku memborong baju di ITC Mangga Dua, dan sekali-sekali di Rempoa. Jika menjelang waktu berbuka puasa kamu melihat aku dan teman-temanku asyik hangout di Starbucks, sesungguhnya setiap sahur tiba, aku selalu menyantap mi instan dan telur ceplok di rumah, sambil menghirup segelas kopi instan merek G-Bucks rasa Latte atau Cappuccino  sembari menunggu waktu Imsyak tiba.  Tulisan  CAUTION HOT yang terpampang jelas di tutup gelas steriofoam kopi urban style itu seolah mengingatkan semua orang akan bahaya tersiram kopi panas, sama bahayanya dengan tulisan yang menempel di pantat sebuah angkot di Bekasi: MASUK GADIS KELUAR JANDA. Bersambung.
Lolita memposting tulisan itu di blognya: Iamnotgoblog.wordpress.com.

                                       BAGIAN I

Sebuah bajaj melaju kencang menuju ke salah satu hotel berbintang lima di kawasan selatan ibukota. Seorang wanita setengah muda tak berhenti berdoa selama berada di dalam bajaj itu.
“Kiri, Pak,” ujar si wanita lega.
Ach, akhirnya…
“Di sini, ya, Mbak?”
“Iya, betul. Berhenti di sini aja.”
“Lha, tapi hotelnya masih di depan sono, Mbak? Nggak capek jalan ke sana?”
“Nggak papa, kok. Saya sudah biasa jalan kaki 10.000 langkah.”
“ …..”

Lita berjalan cepat melewati beberapa pepohonan rimbun, hingga tiba dengan terburu-buru di lobi hotel.  Ia tak memedulikan kakinya yang sakit gara-gara memakai sepatu Prada KW dengan hak setebal 10 senti. Sepatu itu ia peroleh setelah blusukandi Pasar Ular.

Ia memang diundang khusus untuk menghadiri  sebuah acara  fashion show yang diadakan di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. “Waduh, mampus! Gue telat nih. Masih bisa masuk nggak ya?” batinnya.
Dengan langkah cepat, Lita menuju lift yang mengantarkannya ke lantai lima tempat acara fashion show diadakan. Tiba di depan pintu masuk, seorang panitia berdiri menghadang.
“Maaf, Bu, ada bawa undangannya?”
“Sebentar, ya.”
Lita mencari-cari di dalam tas Hermes ‘tembakan’ nya yang bela-belain dia beli seharga Rp 3 Juta di sebuah butik.
“Haduh, gawat! Aku lupa bawa.”
 “Maaf, Bu, kalau tidak menunjukkan undangan, Ibu tidak boleh masuk,” kata si panitia.
“Eh, sebentar, dong.”

Lita menuju meja panjang di samping pintu masuk tadi. Dengan panik, ia mengeluarkan semua isi tasnya. Mulai dari lipstik, bedak, BlackBerry Bellagio yang ia beli dengan diskon 50% hasil dari ngantri selama dua hari dan nyaris pingsan, Tab merek Samsung, hingga pembalut wanita mengandung klorin tingkat tinggi bertumpahan di atas meja. Cuma satu yang tidak kelihatan, undangan itu.

“Sebentar, saya telepon teman saya dulu. Dia panitia acara ini.”

Lita memencet tombol BB tuanya dan mencari sebuah nama yang sangat ia kenal. Dengan sedikit gemetar, ia merapatkan telinga ke BB, berharap sebuah suara yang sangat berpengaruh di kalangan sosialita ibukota itu bisa membantunya. Lalu tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita dari seberang sana menyapanya lembut:

“Maaf, pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini…”
“Anjrit! Aku lupa isi pulsa..”


Tasku Menunjukkan Kelasku
”Buat orang di luar komunitas mereka, mereka dianggap tidak rasional. Tapi, buat mereka yang membeli barang dengan harga selangit itu, hal itu rasional dalam rangka reproduksi kelas. Sebab, mereka mencoba menancapkan identitas kelas dengan merek-merek tertentu. Komunitas masyarakat seperti itu sesungguhnya mengonsumsi sesuatu yang hampa,” tutur Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Ari Sudjito.(http://female.kompas.com)

“Jeng-Jeng, mulai minggu depan kita ngadain arisan Hermes yuk,” Nadia Gondokusumo yang akrab disapa Zus (baca: Ses) Nance di kalangan ibu-ibu elit Jakarta, membuka pembicaraan.
“Boleh. Tapi Hermes asli ya, Zus,” kata Bu Ratna.
“Ya, iyalah. Eike  kan nggak doyan yang KW-an. Amit-amit.”
“Betul, Zus Nan. Daripada maksain diri beli Hermes KW, mending nggak usah sekalian kalo emang nggak punya fulus. Buat ane, beli barang KW itu sama aja bunuh diri. Karena orang-orang kayak kita ini pasti pada tau semualah gimana bedain mana yang benar-benar asli, mana yang KW. Lagian kalo pake barang palsu, sama aja dia bohongin dirinya sendiri. Benar nggak?” Gamar, seorang sosialita berdarah Timur Tengah menimpali.

Ibu-ibu muda kelompok arisan ‘Sosialita Anti Selulit’ langsung mengamini.

“Betul, Zus Nan. Saya pernah loh liat seorang ibu pejabat kita pake Hermes KW ke Eropa. Tau nggak, begitu sampai di bandara, langsung digunting tas nya sama petugas di sana. Idih!” Bu Ratna bercerita dengan ekspresi jijik.
“Ntar kita makenya giliran dong, Zus. Jadi semua ngerasa,” usul Mbak Tike.
“Ya..bolehlah. eike tau kok sampai detik ini  je belum mampu beli Hermes asli, kan?” zus Nan tertawa genit.
“ Iya nih. Suami saya nggak berani korupsi gede, takut masuk tivi. Katanya belum siap jadi selebritis,” ujar Mbak Tike malu-malu.
“Makanya je jangan cari lekong pegawai. Lihat nih eike. Laki eike importir mobil mewah, bo’. Mau Alphard, tinggal bilang. Pengen Bentley, tinggal pesan.”
Zus Nan, katanya hari ini kita bakalan kedatangan anggota arisan baru, ya? siapa sih?” tanya Gamar.
“Oh, iya. Namanya Lolita. Bu Dokter Lina yang ngenalin ke  eike. Anak itu maksa banget pengen gabung di kelompok kita. Terpaksa deh eike terima. Kasihan juga liatinnya. Padahal sebenarnya, dari chasing nya aja keliatan kalo dia kurang pantas joindi sini.”
“Emang suaminya kerja apa, sih?” Bu Ratna penasaran.
“Dia belum nikah, kok. Masih single,” kata Zus Nance.
 “Oh, emang umurnya berapa?” Mbak Tike.
“Idih, kepo deh je, zus. Udah tuwir, sih. Hehe..umurnya 37,” kata Zus Nance.
“Walah! Udah per-tu dunk ah,” kata Bu Ratna.
“Apaan tuh per-tu?”
“Biasalah, perawan tuwir,” Bu Ratna tertawa.
“Hus, kagak baek ngatain orang. Mungkin dia terlalu sibuk kerja kali sampai lupa cari jodoh,” Gamar membela.
“Emang dia kerja apa, Zus?” Bu Ratna tambah penasaran.
“Kata Bu Dokter Lina sih, dia staf  biasa di Pertamina. Bawahan  suaminya Bu Lina.”
Zus Nan ini gimana, sih? Masak orang nggak jelas kayak gitu diterima? Nggak takut apa ntar dia bisa meruntuhkan kredibilitas kelompok arisan kita? Orang kayak gitu..”
“Eh, Bu Ratna jangan gitu dong. Kan eikeudah bilang terpaksa nerima dia. Eikenggak enak sama Bu Dokter Lina. Lagian eikekasian juga sih ngeliat chasing nya si Lolita itu. Mengenaskan.”
“Iya, staf  biasa juga kalo di perusahaan pemerintah kayak Pertamina kan lumayan tuh gajinya. Apalagi dia masih single, nggak ada tanggungan,” kata Mbak Tike.
 Bel berbunyi.
“Itu kali dia datang,” Zus Nance bergegas ke ruang tamu.
“Eh, Bu Dokter. Apa kabar?  Pengajian di Ibis minggu lalu kok nggak datang?  Ibu-ibu pengajian kita pada nanyain loh,” Zus Nance bertanya ramah.
“Aduh, maaf  nih, Zus. Anak saya yang bungsu sakit tifus. Bapaknya lagi dinas ke luar kota.”
“Iya, nggak papa kok.”
“Oh, ya, ini Lolita.”
Lolita yang berada di samping Bu Dokter Lina mengulurkan tangan dan tersenyum ramah,
“Lolita. Panggil aja Lita, Zus.”
“Saya Nadia Gondokusumo. Biasa dipanggil Nance. Eikeketua sekaligus pendiri kelompok arisan Sosialita Anti-Selulit,” Zus nance menatap pakaian Lita dari atas sampai ke bawah.
Lolita langsung grogi.
Njrit! Rempong amat nih si ibu.
 “Masuk, yuk, Jeng.  Udah rame di dalam pada ngumpul. Nggak sabar pengen kenalan sama Lolita.”
“Panggil Lita aja, Zus,” ujar Lita malu-malu.
ZusNance membawa Lita ke ruang keluarga.

“Jeng-jeng, ini loh, Jeng Lita yang eike bilang barusan. Dia staf di Pertamina Pusat.”
“Ooo…” ujar ibu-ibu kelompok arisan ‘Sosialita Anti-Selulit’ serentak.
“Hayuk pada kenalan. Bu Ratna deh duluan,” ujar ZusNance ramah.

Bu Ratna berdiri dari sofa empuk yang didudukinya dan berjalan menghampiri Lita. Matanya menatap Lita dari ujung kaki hingga ke rambut.
“Kerja di Pertamina, ya?” tanyanya dingin.
“Iya, Bu.”
“Sudah lama kerja di sana?”
“Ya, lumayanlah. Hampir dua tahun,” Lita salah tingkah.
“Asli Jakarta?”
“Tidak. Saya dari Bekasi.”
“Oh, pantas.”
Anjir!

Bu Dokter Lina buru-buru menimpali.
“Lita, kita semua baik-baik kok. Jangan khawatir, nggak bakal digigit. Kamu pasti bisa cepat beradaptasi di sini.”
“Tas Hermes nya ‘tembakan’ ya?” tanya Bu Ratna dingin.
“Eeng..ini..” Lita gemetaran. Jantungnya serasa berguguran.
“Alah, udah deh, ngaku aja. Kita nggak bisa dibohongin. Kita-kita udah terbiasa pake yang asli, jadi sudah punya  feeling dan bisa bedain mana yang asli dan mana yang ‘tembakan’ punya,” Bu Ratna tertawa sinis.
“Jeng Lita ini gimana, sih? Kerja di Pertamina kan gajinya gede, masak nyisihin duit buat beli Hermes asli aja nggak bisa? Lari kemana aja tuh duit selama kerja dua tahun di sana?”, Mbak Tike nimbrung.
“ Ehm…makanya dia saya ajak ikut arisan kita. Biar nanti dia bisa dapat giliran make Hermes asli selama sebulan full,” Dokter Lina menjelaskan.
Gamar maju untuk berkenalan. Sosialita berambut merah yang wajahnya mirip host Mata Najwa, Najwa Shihab itu, memakai kaftan ala Syahrini berwarna merah menyala. Gamar menyalami Lita sambil tersenyum ramah.
“Bu Gamar ini pengusaha terkenal loh. Suaminya kebetulan partner bisnis suami saya, sama-sama importir mobil mewah juga. Dan sekarang suami-suami kami sedang mencoba peruntungan di batubara,” kata Zus Nance tanpa ditanya. Ia melanjutkan, “Gamar sendiri punya butik busana muslim di Kemang, punya beberapa bisnis waralaba, punya kost-kostan di Depok, jadi re-selleremas batangan Antam juga loh. Pokoknya maknyusdeh.”
“Iya, kemaren kita sempat bikin arisan logam mulia 100 gram. Sekarang sudah selesai karena sudah pada dapat semua,” jelas Bu Gamar.
“Ya udah kita langsung mulai aja yah ngocoknya. Udah nggak sabaran nih pengen make Hermes,” kata Zus Nance.

Dan layaknya sebuah skenario sinetron murahan yang sudah bisa diketahui jalan ceritanya hanya dari menonton episode pertama, sudah diduga bahwa nama Zus Nancelah yang keluar duluan waktu dikocok. Ia berhak memakai Hermes asli seharga Rp 100 Juta itu selama sebulan full, sampai tiba giliran peserta arisan berikutnya, Bu Dokter Lina.

Si Parasit Kapitalisme?
Lolita teringat ketika suatu pagi ia dipanggil pimpinan menghadap ke kantornya.
“Lita, kita butuh liputan khusus nih tentang fenomena para sosialita ibukota,” Bu Gina, pemimpin redaksi Majalah Female membuka pembicaraan.
“Oke. Trus siapa yang mesti saya tugasin meliput, Bu?”
“ Ya, kamu sendirilah. Kamu kan wartawan senior di sini. Kamu harus masuk ke lingkungan mereka. Bikin laporan investigasi yang heboh, biar oplah majalah kita naik.”
“Waduh, susah tuh, Bu,” Lita mencoba menghindar.
“Masak segitu aja susah?  Kamu kan pernah nyamar jadi PSK di lokalisasi demi mendapat berita yang betul-betul within. Dan kamu sukses.”
“Iya, sih…”
“Sudah. Pokoknya kamu saya kasih waktu tiga bulan buat tugas.  Saya penasaran, apakah mereka ini semata-mata hanya sekedar parasit kapitalisme, atau memang ada manfaatnya bagi sesama wanita,  seperti mengadakan kegiatan sosial misalnya. Kamu harus bikin berita tentang itu, terserah gimana caranya, saya nggak mau tahu.”
“Baik, Bu.”
Parasit kapitalisme? Binatang apa lagi itu?
Bu Gina melanjutkan, “ Terus kamu harus liput apa saja merek favorit mereka, pesta apa saja yang biasa mereka adakan, dan jangan lupa partisipasi mereka dalam berpolitik. Pokoknya harus lengkap, kap. Kayak ikan kakap.”
Nyamar jadi sosialita? Halah!
***
Lita mencari-cari nomor handphone para narasumber yang pernah diwawancarainya, hingga ia menemukan sebuah nomor handphone seorang dokter spesialis bedah plastik yang punya hobi mengoleksi berlian. Dokter itu pernah menjadi narasumbernya, dan si dokter pernah menolong Lita sewaktu ia tertabrak motor ketika sedang meliput sebuah berita. Dan dokter kaya itu menolak dibayar….
Lita bertemu si dokter di sebuah restoran Jepang
“Apa kabar, Mbak Lita? Gimana lukanya, sudah sembuh?”
“Sudah, Bu Dokter. Terima kasih banget udah nolongin saya.”
“Ah, biasa aja, kok. Itu sudah tugas saya.”
Dokter cantik  di hadapan Lita tersenyum ramah. Kalung dengan mata dari batu bacan hijau berkilauan diterpa cahaya restoran. Dan Lita pun menceritakan semuanya.
“Oh, nggak masalah, saya akan bantu. Kebetulan saya ikut arisan dengan ibu-ibu yang..yah, bisa dibilang sosialita kelas ataslah. Hehe..”
“Terus saya ngaku jadi asisten Ibu aja, ya?”
“Nggak usah. Kamu akan saya kenalkan sebagai staf suami saya. Kebetulan suami saya manajer pemasaran di Pertamina Pusat.”
“Thanks, Dok.”
“Lusa kita ada arisan di rumah Zus Nance. Dia istrinya Suryo Gondokusumo, pengusaha batubara dan importir mobil mewah yang terkenal di Jakarta.”
“Oke. Siap, Dok.”
Dan petualangan Lita pun dimulai…..

Karena Uang Tak Bisa Membeli Segalanya….Untuk Itulah Kita Butuh Kartu Kredit.
Tahun 2007 lalu, jumlah pemegang kartu kredit di Indonesia sekitar 9,1 juta orang. Pada  2010 terdapat  13,6 juta kartu beredar. Tahun 2011 jumlah kartu kredit yang beredar mencapai angka 14,8 juta. Data dari Statistik Sistem Pembayaran Bank Indonesia menunjukkan jumlah transaksi kartu kredit di Indonesia sebanyak 199 juta transaksi pada tahun 2010 dengan nilai mencapai Rp 163,2 Triliun. Tahun lalu jumlah transaksi kartu kredit melambung menjadi 209,4 juta transaksi dengan nominal Rp182,6 Triliun. (Sumber: Majalah Marketeers, Edisi Maret 2012)

Di sebuah Kafe Mewah di Kemang….
 “Yang joget di samping Bu Tike itu istri pengusaha batik terkenal dari Solo. Dia ketua Kelompok Arisan Ibu-Ibu Sasak Tinggi aka Isakting. Di belakangnya pengusaha berlian. Pelanggannya banyak lho, dari selebritis sampai istri pejabat di Ibukota. Kalau yang itu dokter kulit, itu istri pengacara dan yang itu pengusaha ruko. Rukonya banyak lho,”    Zus Nance asik menjelaskan tentang tamu-tamu yang diundangnya untuk merayakan ultahnya yang ke-43 di sebuah kafe elit di daerah Kemang. Lagu Baila Morena mengalun merdu.
“Lita, kamu tau nggak, tas yang dipake Bu Tike itu harganya paling kurang Rp 15 Juta loh.”
“Masak  sih? Modelnya simpel banget loh, Zus.”
“Emang tas branded biasanya modelnya sangat sederhana. Saking sederhananya, kadang sampai banyak yang mengira tas itu murah. Tas jinjing warna krem yang dipakai Bu Tike itu buatan Prancis berlabel Salvatore Ferragamo loh. Itu  salah satu tas eksklusif dengan edisi sangat terbatas,” ujar Zus Nance sambil menepuk-nepuk tas Cartier merah bata miliknya. Sebuah tas edisi terbatas keluaran Prancis yang harganya lebih dari Rp 25 juta. Kepala Lita mendadak pusing.
Alunan musik sudah berhenti. Pasukan mami-mami galau menjelang menopause itu kembali ke bangku mereka masing-masing. Bu Tike menghampiri Lita dan ZusNance. Di sampingnya ada seorang perempuan dengan jilbab model punuk unta. Alamak.
“Mbak Lita, kenalin nih, teman saya, Mami Alena. anggota baru arisan kita.”
“Alena,” Alena menyalami Lita.
“Lita.”
“Lita, Mami Lena ini punya butik khusus loh di Kemang yang menjual tas branded.”
“Butik apa namanya, Mam?” tanya Lita.
“Ladies Bag. Mampir dong ke sana. Koleksi terbaru semua loh.”
“Insya Allah kapan-kapan,” kata Lita.
Bu Gamar datang menghampiri mereka.
Zus Nan, ane pamit dulu, ya.”
“Kok buru-buru, Zus? Mo ke mana?” tanya Zus Nance.
“Anak-anak pada ngajakin ke Kidzania. Kebenaran Abi mereka juga lagi nggak sibuk.”
“Mami Alena, Zus Gamar ini juga katanya mo buka butik khusus penyewaan tas branded loh,” kata Zus Nance promosi.
“Hah? Disewakan? Emang ada yang mau?” tanya Alena.
“Eit, jangan salah, Zus. Rame loh peminatnya, mulai selebritis sampe PNS juga ada.”
“Oh, ya?”
“Ya, iyalah. Coba Zus pikir, ngapain mereka beli tas brandedmahal-mahal kalo hanya untuk sekali dipake ke pesta? Mendingan juga nyewa. Kalo beli KW juga malu dong ah, mendingan nyewa.”
“Mahal nggak nyewanya?”  Lita bertanya.
“Terjangkau kok. Nggak harus bayar cash, bisa pake kartu kredit. Udah ya, saya pamit dulu.”
“Kalo saya sih daripada nyewa, mendingan beli. Nyewa kan udah dipake banyak orang. Emangnya tas saya piala bergilir apa?” Bu Tike nyinyir.
“Terserah ente dah. Nyatanya buanyak banget yang udah inden pengen nyewa koleksi tas saya, padahal butiknya di buka aja belom.”
Setelah Bu Gamar meninggalkan kafe, Bu Tike bertanya, “ZusNan, kapan Mbak Sylvi datang? Saya banyak acara lain nih. Udah ditungguin.”
“Iya, bentar lagi. Tadi eike sudah nelpon dia, katanya lagi macet di Melawai,” Zus Nance menjelaskan.
“Haduh, kenapa sih nggak naik helikopter aja? Kalo nggak punya duit, bilang dong. Biar dibeliin,” ujar Bu Tike.
“ …..”
****
Kafe itu terletak di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sylvia diundang untuk memberi tips tentang bagaimana menjadi seorang istri yang baik, di acara ulang tahun Nyonya Nadia ‘Nance’ Gondokusumo, seorang sosialita terkenal di Jakarta. Di depan kafe, berderet puluhan mobil mewah dengan berbagai merek. Sylvia melangkahkan kaki memasuki kafe itu.
“Silahkan, Mbak Sylvi. Sudah ditunggu loh dari tadi,” kata Zus Nance.
“Maaf, saya telat. Tadi macet di Melawai gara-gara rombongan Presiden lewat.”
“Ah, itu sih bukan berita lagi. Oke, langsung dimulai aja, Mbak.”
Sylvia maju ke tengah panggung ditemani ZusNance yang berulang tahun hari itu.
“Jeng-Jeng, kali ini saya sengaja mengundang Mbak Sylvia Paramita, pemilik sekolah kepribadian  Be You, sekaligus pendiri Komunitas Cinta Sejarah, sebuah komunitas yang terkenal di Jakarta. Beliau akan memberikan materi mengenai kiat menjadi istri yang baik. Bukan begitu, Mbak Sylvi?”
“Bukan,” jawab Sylvia tenang.
Wajah Zus Nance merah padam. Ibu-ibu tertawa cekikikan.
“Oke, silahkan Mbak. Langsung aja.”
“Selamat siang, Ibu-Ibu. Maaf saya terlambat. Tadi macet sekitar 3 jam di Melawai karena alasan klasik, rombongan Presiden lewat,” Sylvia membuka percakapan.
Beberapa ibu-ibu di barisan depan  tersenyum.
“Kali ini saya akan menyampaikan materi yang sangat dekat dengan kehidupan Anda semua. Materi ini saya beri judul  Kiat Sukses Menghabiskan Uang Suami’.”
Suara berisik di barisan belakang tiba-tiba senyap.
Sylvia melanjutkan, “Ibu-Ibu sekalian, para sosialita harapan bangsa. Sadarkah Anda semua betapa beruntungnya suami-suami Anda memiliki Anda?  Langka loh bisa punya seorang istri yang cantik karena hasil operasi palstik. Tidak bisa masak, tidak bisa ngurus anak, tidak bisa ngurus suami, tapi paling rajin ngumpul-ngumpul arisan, sibuk belanja dan pamer barang-barang mewah dari luar negeri yang tidak membawa dampak yang signifikan bagi para pelaku industri kecil di tanah air.”
“Bagaimana ekonomi Indonesia mau mencapai tujuh digit kalau kita tidak mau menggerakkan roda perekonomian bangsa sendiri dan mengurangi pengangguran di dalam negeri, tapi malah sibuk kasih kerjaan ke pekerja di Perancis dan Italia sana dengan mengonsumsi tas dan sepatu buatan mereka?”
Zus Nance melotot. Mulutnya menganga lebar. Selebar tol Cipularang.
 “Ibu-Ibu sekalian, para sosialita harapan bangsa.  Di pundak kalianlah kami sandarkan tas Hermes seharga seratus juta. Mudah-mudahan tulang kalian kuat memikulnya, karena mereknya terlampau berat.  Jauh lebih berat dari berat tas itu sendiri. Bahkan lebih berat dari banyaknya kemiskinan dan korupsi yang sudah kadung menahun di negeri ini.”
Lolita yang duduk di samping Zus Nance tertawa keras. Semua mata tertuju padanya.
“Ibu-ibu sekalian, saya ingin membagi rahasia bagaimana cara sukses menghabiskan uang suami Anda. Ssst, ini rahasia loh. Jangan bilang-bilang yang lain, ya? Caranya gampang, segeralah mengajukan permohonan membuat kartu kredit. Ada yang belum punya? Segeralah membuatnya. Dengan kartu kredit, Anda tinggal gesek aja kalau tiba-tiba nafsu konsumtif Anda kambuh di mal seperti penyakit ayan. Tidak perlu repot mengancam suami segala. Ancaman nyata akan terlihat jelas di bulan berikutnya, saat tagihan kartu kredit suami Anda membengkak, dan tentu saja suami-suami kalian yang malang itu yang akan membayarnya.”
Lolita terbahak. Zus Nance menatapnya geram.
“Dengan kartu kredit, betapa hidup menjadi jauh lebih mudah, Anda pun tidak perlu takut kecopetan di jalan. Tenang aja, Jeng bro. Pencopet kita masih  primitif kok, belum tertarik dengan uang plastik. Pesan moral dari materi saya kali ini adalah:  Karena tidak semua hal di dunia ini dapat dibeli dengan uang, untuk itulah kita perlu kartu kredit. Dan kalau Anda sudah bosan dengan suami Anda yang mulai tua dan kurang bergairah, saya siap menyediakan brondong-brondong ganteng yang bisa disewa. Tinggal sebut saja mau ngadain arisan brondong di hotel mana. Dan kabar baiknya, saya juga menerima kartu kredit sebagai bentuk pembayaran alternatif, buat jaga-jaga kalau uang  Anda sekarat. Sekian materi saya untuk hari ini. Selamat siang.”
Sylvia berlalu santai meninggalkan kafe.
(BERSAMBUNG)

Viewing all articles
Browse latest Browse all 390

Trending Articles