Nama asliku Dwi Septiana Alhinduan. Alhinduan itu marga atau famku, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan agama Hindu. Nama panggilanku Vivi. Nggak nyambung, kan? Saking nggak nyambungnya, nama itu juga bisa merangkap sebagai nama pena.
Tulisan ini menjadi sub-judul pertama dalam buku personal literature Digital Diary. Digital Diary sendiri merupakan proyek pribadiku. Aku sudah menulis-kembali-diari secara teratur dan sistematis sejak 1 Januari 2013 hingga sekarang sudah menghabiskan lima buku tulis dan pena yang tak terhitung jumlahnya. Kenapa memilih sub-judul ini ? karena aku dua kali pernah merasakan ‘tersesat’ di bidang yang sebetulnya bukan bidangku. Bahkan, sebenarnya menjadi penulis juga bukan cita-citaku, tapi terpaksa.
Aku alumni SMAN 1 Pontianak, Jurusan IPS. Di sekolah kami yang (katanya) favorit itu, tidak ada jurusan Bahasa. Penjurusan pun baru ada pas naik kelas 3 alias cuma setahun. Padahal kalo mau jujur, baru di kelas 3 itulah aku bahagia sekali. Yup. Bahagia. Karena selama 2 tahun menempuh pelajaran di SMA, aku stres berat karena otak kiriku setiap hari selalu ‘digempur’ dengan pelajaran-pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, dan Kimia. Mungkin kalo otakku ini ibarat es batu, pasti udah meleleh.
Biologi masih agak mendingan. Tapi kalo trio eksak itu, nggak sanggup deh. Selama di kelas 3 IPS, aku benar-benar merasakan apa yang disebut oleh para ahli ‘belajar sambil bermain’ dan ‘main-main dalam belajar’. Setiap jam pelajaran kosong, kami berempat, aku, Rita, Vita, dan Nindy selalu jalan-jalan ke kantin di dekat sekolahku, sampai jam pelajaran berikutnya akan dimulai, baru kami kembali. Menyenangkan, ya?
Tapi ketika kuliah, aku ‘tersesat’ di jurusan Akuntansi. Sebenarnya, akuntansi itu bagian dari ilmu ekonomi yang terdapat di Jurusan IPS. Justru kalo masuk ke IPA, kita nggak bakal nemu akuntansi. Tapi masalahnya, selama di kelas 3, aku dapat pelajaran akuntansi cuma 2 jam seminggu. Itu pun ditaroh di hari Sabtu, jam terakhir pula.
Nah, pas kuliah di Universitas Tanjungpura (UNTAN) Pontianak, Fakultas Ekonomi, JUrusan Akuntansi, otomatis porsi untuk mata kuliah akuntansi sekitar 90%, sisanya kami diberikan mata kuliah ekonomi lain, seperti manajemen pemasaran, Matematika Ekonomi, Statistik, Ekonomi Pembangunan, Manajemen Strategi dan lain-lain. Mata kuliah di luar akuntansi itu diajar oleh dosen dari jurusan Ekonomi Pembangunan dan Manajemen, karena waktu itu dosen akuntansi masih terbatas jumlahnya.
Sebenarnya, Akuntansi Untan adalah pilihan keduaku. Pilihan pertama, Komunikasi di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, tapi nggak lulus. Sebenarnya lagi, aku ngebet banget pengen kuliah di Sastra Inggris Univ Indonesia (UI) tapi nggak diijinkan ayah. Karena kesal, akhirnya secara impulsif (maklum, anak SMA, masih kuat galaunya) aku mencari jurusan di Untan yang diajar oleh dosen UI. Kebetulan waktu itu, setiap semester, dosen dari UI mengajar kuliah umum di Akuntansi Untan. Jadilah aku masuk ke sana karena pengen diajar sama dosen UI.
Ayahku sempat menyuruh masuk FKIP jur Pendidikan Bahasa Inggris. Namun karena sebagai anak yang baru tamat SMA (yang katanya favorit itu) dan egoku masih tinggi, aku langsung menolak mentah-mentah tawaran itu. Aku nggak mau jadi guru, itu alasanku. Padahal, kan, lulus dari FKIP nggak mesti jadi guru keles?
Singkat kata,, meskipun aku ‘terdampar’ di jurusan berat itu, tapi aku tidak mau menyalahkan siapa pun, selain kebodohanku sendiri. Bagiku, akuntansi adalah jalan yang-memang-benar. Tidak ada yang salah sedikitpun dengan akuntansi. Akulah yang ‘tersesat’ di jalan yang benar itu. Apakah penderitaanku sudah berakhir? Ternyata belum. Setelah tamat kuliah, aku kembali ‘tersesat’ untuk kedua kalinya. Nasib L
Sebenarnya, aku nggak pengin jadi penulis. Impianku adalah menjadi seorang jurnalis alias wartawan. Serius. Tapi lagi-lagi karena kondisiku waktu itu yang belum bisa mengendarai motor (kalo naik motor sih gampang, tinggal naik aja, kan?) terpaksa aku urungkan niatku menjadi jurnalis. Waktu itu, media aka portal online belum menjamur seperti saat ini. Paling Cuma detik.com. sementara di media-media mainstream, kita harus ngantor, kadang sampai tengah malam. Kalo cuma pulang-pergi ke kantor sih nggak masalah naik oplet, tapi kalo harus meliput ke lapangan, kan ngggak mungkin harus naik oplet (baca: angkot). Yang pasti duit bakalan cepat habis. Akhirnya kuputuskan untuk mengurungkan niat menjadi jurnalis. Aku akhirnya memilih menjadi penulis ( hidup itu pilihan, bro J ) di mana aku bisa kerja dari rumah.
Waktu itu, di rumah ada personal computer, tapi belum punya koneksi internet ( bahkan sampe sekarang lho). Jadilah aku mem-betah-kan diri menulis di PC. Setelah selesai menulis beberapa cerpen, aku jalan kaki ke warnet di dekat rumahku. Ada dua buah warnet tak jauh dari rumahku. Jadi, kalau warnet yang satu tutup, aku tinggal pergi ke warnet satunya lagi. Begitu seterusnya. Modalnya cuma flashdisc yang menyimpan cerpen-cerpen yang siap kirim. Itu kulakukan selama bertahun-tahun, dan sudah menghasilkan dua buah buku nonfiksi tahun 2011 dan 2012 silam. (silahkan lihat di biodata penulis, halaman terakhir).
Jadinya, selama 10 tahun terakhir, aku lebih dikenal sebagai seorang penulis dibanding jurnalis. Baru pada Mei 2015 aku resmi diminta menjadi jurnalis di sebuah portal online milik seorang teman, setelah aku mahir mengendarai motor dan resmi punya SIM C. apakah aku harus turun ke lapangan tiap hari? Ternyata tidak sama sekali. Sebulan pertama, setiap bangun tidur aku langsung menyalakan laptop, mencolokkan modem ke laptop, dan mulai meng-googling-ria. Tugasku mengedit berita-berita dari berbagai sumber di media/ portal online lainnya yang seabrek jumlahnya, untuk kemudian dipublish di media online milik temanku itu. Kadang seharian kerja, mandi Cuma sekali sehari. Dan sangat jarang keluar rumah.
Aku cuma mikir, seandainya 10 tahun silam keadaan sudah seperti ini, mungkin aku nggak akan pernah jadi penulis, tapi langsung start sebagai online jurnalis. Tapi semua sudah kehendak Tuhan. Seperti kata pepatah, manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Dan orang lain yang seenaknya mengomentari hidup kita di Facebook, Twitter, dan Instagram mereka. Haduh!