Quantcast
Viewing all articles
Browse latest Browse all 390

#CelotehUrban : KALI ANYAR

Kali Anyar, Tambora
Bayangkan jika anda berada diantara sekitar 31.322 kepala (jumlah yang pasti akan terus bertambah hingga wadah penampungnya pecah) yang berjejalan menghuni satu kelurahan. Jumlah itu belum termasuk para penghuni kontrakan dan kost-kostan yang tidak punya KTP DKI. Kelurahan Kali Anyar berada di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Jumlah penduduk Kali Anyar pada tahun 2010 saja sebanyak 24.651 orang dan membengkak di tahun 2012 menjadi 31.322. Sedangkan Kecamatan Tambora merupakan kecamatan terpadat se-Asia Tenggara (Pos Kota bahkan mengatakan terpadat se-Asia), dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 213.677 jiwa dan mencapai 277.606jiwa di semester pertama 2012 ini. Jumlah yang sama dengan separuh penduduk kota asal saya, Pontianak, yang sekitar 500.000 jiwa. Maka jangan heran jika Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan kepadatan penduduk nomor satu di dunia. Kepadatan penduduk Jakarta pada 2010 saja sudah mencapai 12.992 jiwa per kilometer persegi. Busyeng!

Masih ada lagi satu prestasi Tambora yang tak dapat disaingi kecamatan manapun se-Asia Pasifik. Predikat kecamatan yang paling banyak RW kumuhnya masih dimiliki Kecamatan Tambora sebanyak 35 RW, dari 95 RW yang masuk kategori kumuh, yang ada di wilayah Jakarta Barat. Dari 95 RW kumuh di seluruh Jakarta Barat itu,  pembagian kasta untuk RW kumuh itu sebagai berikut: 19 RW kumuh sangat ringan, 18 RW kumuh ringan, 48 RW kumuh sedang, dan 10 RW kumuh berat. Ruarr biasa!
Harian Sinar Harapan pernah memuat judul : Kali Anyar, Pemukiman Tanpa Toilet. Warga di sana menjalani hidup tanpa toilet dengan rumah yang sangat kecil dan minim penerangan. Salah satunya penghuninya adalah Sadiyah. Nenek renta itu tinggal di RT 02/05, Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Tidak ada lagi ruang tamu di rumah itu. Bahkan, sekadar tempat duduk hanyalah sebuah mimpi bagi Sadiyah. Tidak berlebihan jika rasanya tatkala kita berkunjung ke sana dan tidak melihat toilet sebagaimana layaknya sebuah rumah. Memasuki rumah Sadiyah, wartawan Sinar Harapan terlebih dahulu melewati sebuah gang kecil yang hanya berukuran satu badan manusia. Jangan harap dapat menghirup udara segar di gang sempit yang bau itu. Sinar matahari saja tidak mampu menembus kegelapan gang kecil itu.

Di sekitar rumah itu yang terlihat hanya sebuah kompor, lemari, dan kasur gulung. “Kalau malam tempat ini menjadi kamar tidur anak perempuan saya. Dia tidur ngampar pakai kasur gulung, sedangkan satu anak laki-laki saya memilih tidur di luar rumah di musala atau rumah temannya karena nggak tahan di rumah sempit dan gerah,” katanya kepada wartawan Sinar Harapan.
Rumah bertingkat yang saling berhadapan itu atapnya hanya berlembarkan tripleks. Seng saling bertemu dan bertabrakan sehingga menutup laju sinar matahari ke dalam gang. Demi mendapatkan air bersih, dia mengaku harus membelinya Rp 3.000 per 30 menit keran air terbuka. Kalau ingin buang air besar, Sadiyah dan hampir sebagian besar warga RT 02 RW 05 dan warga RT 03 RW 05 mengaku menggunakan fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) umum yang terletak beberapa belas meter dari rumah mereka.
Dia juga mengaku, mencuci baju dan piring dilakukannya di depan gang bersapa warga lainnya. Karena itu ketika sedang melakukan aktivitas tersebut, gang ditutup sementara agar orang tidak bisa melintas. Suami Sadiyah bekerja serabutan di pabrik roti di daerah Tomang, Jakarta Barat, dengan penghasilan Rp 25.000 per hari. Ketika ditanya apa yang dia bisa lakukan dengan penghasilan itu, Sadiyah menjawab singkat: baginya rahmat Tuhan adalah segalanya. Uang itu cukup tidak cukup harus bisa memberi makan ketiga anaknya yang masih tinggal bersama.
Pengakuan Sadiyah pun didukung Sudarsono, warga sekitar. Dia mengatakan, sudah menjadi hal yang lumrah di kelurahan tersebut rumah berukuran 5 x 2 meter dijejali oleh tiga bahkan sampai lima kepala keluarga hingga mencapai 13 sampai 15 orang yang tinggal di dalamnya. Bahkan, masih banyak pula warga yang buang air besar di pinggir selokan air di dalam gang. ”Anak kecil di sini masih banyak yang buang air besar di pinggir got. Maklum, rata-rata rumah belum memiliki toilet,” katanya.
Lurah Kalianyar, Kuswanto H mengatakan, dari sekitar 4.000 rumah tinggal yang terdapat di Kalianyar, 50 persennya belum memiliki toilet. Warga terpaksa memakai toilet umum ketika buang air besar. Sisanya warga juga memaksakan rumahnya yang sempit untuk dijadikan toilet. “Kalau dihitung bisa mencapai 2.000 rumah tidak punya toilet. Selain itu, banyak juga rumah lantai dua yang lantai satunya dijadikan toilet, sementara mereka tidur di lantai dua,” ujarnya.
Ia pernah mengimbau Pemerintah Kota Jakarta Barat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar dibuatkan toilet umum di daerah tersebut. Sulitnya toilet di tempat tersebut belakangan menjadi peluang orang berduit untuk membangun toilet umum. Pengusaha toilet umum yang terdapat di Kalianyar terdapat belasan pengusaha. Omzet mereka bisa mencapai ratusan ribu per hari mengingat banyaknya warga yang tidak punya toilet.
Tambora, Jakarta Barat
Masyarakat Tambora, punya karakter hidup sendiri. Kebanyakan dari penduduk di sana hidup dengan mengedepankan otot mereka. Mereka bekerja sebagai petugas keamanan, juru parkir, centeng, anggota kepemudaan, hingga penjahat jalanan seperti penodong maupun pengedar narkotika dan kupon judi toto. Ada juga yang sedikit bergengsi cara mereka mencari makan, menjadi buruh jahit di industri konveksi.
“Pemuda-pemuda di sini kalau enggak jaga lapak pasar malam, ya main judi, paling bagusbanget ya ngojek,” kata Heri (24), pemuda setempat kepada Yustisi.com.
Meski demikian, kata Heri, pencurian, perampokan, penodongan, peredaran narkotika, hingga perjudian biasanya juga menjadi jalan pintas bagi mereka yang tidak bekerja. Banyaknya industri konveksi disitu, kata Heri, tidak semuanya menyerap pekerja setempat, karena pengusahanya memilih pekerjakan karyawan dari daerah lain.
“Kami-kami di sini ya luntang-lantung ajah,” kata dia.
Tak heran jika penganggur ini pun nekat mencari duit dengan kekejaman jalanan. Mereka menjambret, menodong, mencuri di beberapa titik potensial seperti  Jembatan Dua, Duri Selatan, Duri Utara, dan Angke.
Kalau Duri Utara terkenal judinya. Di situ banyak yang berjudi di pinggir rel kereta. Di Angke, penganggur ini jadi juru parkir di pasar malam. Bagi orang yang ahli todong memilih Jembatan Dua sebagai ladang hidupnya. Di sisi rel kereta Duri Utara dan Duri Selatan, segerombolan anak-anak muda sedang mabuk konsumsi lem perekat yang mereka hirup alias ngelem. Di situ, juga berkumpul segerombolan orang mulai anak-anak hingga orang dewasa berjudi koprok dan qiu qiu.
“Usai ngelem kita jadi pemberani Mas. Mau ngapain aja kagak takut lagi,” ujar pemuda bertubuh ceking berambut gondorong ini.
Apa yang anda rasakan setelah membaca tulisan diatas? Jika anda masih sulit bersyukur dengan kondisi anda saat ini ( pengangguran, uang jajan kurang, mengancam ingin berhenti sekolah karena ortu belum mampu membelikan smartphone model terbaru, masih naik angkot kemana-mana, atap rumah bocor, kamar tidur sempit, belum mampu beli AC, WC dirumah tidak sewangi WC di Mall,dll) ingatlah selalu, bahwa pasti akan ada orang lain yang ikhlas untuk bertukar nasib dengan anda. Salah satunya, barangkali Nenek Sadiyah.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 390

Trending Articles