Quantcast
Channel: entrepreneur KREATIF
Viewing all 390 articles
Browse latest View live

Cerpen 'Warung Bu Asih'

$
0
0
Cerpen Warung Bu Asih

Vivi Al-Hinduan

Pukul enam pagi. Suara bising kendaran bermotor, berpadu dengan riuhnya anak-anak sekolah yang berebut tempat duduk untuk sarapan bubur sebelum memulai pelajaran, dan teriakan para supir bus antar kota, adalah pemandangan sehari-hari yang sudah akrab bagi Bu Asih. Lokasi warungnya yang berdekatan dengan Taman Kanak-Kanak dan sebuah SMP, serta berada di pinggir jalan raya, tak jauh dari terminal bus antar kota, adalah konsekuensi yang harus dihadapi perempuan berusia setengah abad itu.

Sudah lebih dari sembilan tahun Bu Asih membuka warung di daerah itu. Setiap Senin hingga Sabtu, jam lima subuh, ia dan Warni, anak perempuannya yang sudah lulus SMA tahun lalu, datang ke warung dan mempersiapkan segalanya. Bu Asih menjual bubur dan nasi kuning untuk sarapan. Juga kopi, teh, dan kopi susu serta penganan tradisional yang sangat digemari para supir bus yang selalu berkunjung ke warungnya.



Setelah anak-anak masuk sekolah dan para supir bus kembali ke terminal, Warmi dan Bu Asih segera mencuci piring. Kadang, mereka tak sempat beristirahat sejenak karena datang rombongan kedua sekitar pukul sebelas siang, para ibu yang menjemput anak mereka di TK. Mereka memesan nasi kuning atau bubur, jika masih tersisa, atau kadang sekadar  duduk sambil minum teh dan kadang kopi susu, sambil menyantap kue dan bergosip. Kebiasaaan terakhir ini baru berakhir saat Bu Asih hendak menutup warungnya, ketika adzan Zuhur terdengar.

Seperti siang itu, beberapa ibu membawa anak mereka yang baru keluar dari TK, sibuk bergosip di Warung Bu Asih. Bu Asih mencuri dengar pembicaraan mereka, tanpa ikut menyahut. Mereka tengah asyik membicarakan tentang  ibu dari seorang murid baru di TK itu.
“Dia pindahan dari Bali, ya?” seorang ibu muda bernama Tina membuka pembicaraan.
“Iya. Tapi bukan orang Bali asli. Nggak tahu aslinya orang mana,” sahut yang lain.
“Tinggal di mana sih dia di sini?” Bu Desi yang terkenal usil dan cerewet menimpali.
“Nggak jelas juga ya, Bu. Katanya sih ngontrak di dekat sini,” Bu Tina menjawab.
Bu Asih yang mendengar jadi ikut penasaran. Ia merasa sosok yang mereka perbincangkan belum pernah mampir ke warungnya.

Di lain waktu, pernah juga dua orang guru SMP mampir untuk minum di warungnya. Bu Asih menyimak perbincangan mereka yang terdengar serius.
“Luar biasa, ya? Satu ton lho buku yang mereka jual ke tukang loak,” ujar seorang guru perempuan.
“Saya nggak habis pikir, Bu. Mau jadi apa wajah pendidikan di negeri ini, kalau oknum pegawai perpustakaan daerah tega menjual buku perpustakaan ke tukang loak,” seorang guru berhijab menyahut.

“Padahal di lembaga sosial yang didirikan anak saya, butuh banyak buku untuk disalurkan ke daerah-daerah terpencil, terutama di perbatasan,” ujar ibu guru berambut ikal itu sambil menyeruput teh manis.
Bu Asih hanya beristigfar dalam hati.
***
Hari ini Minggu. Warung Bu Asih tutup. Setiap minggu, Si Abang, panggilan anak tertuanya yang sudah menikah dan tinggal dengan mertua, selalu berkunjung membawa anak-anaknya. Mona, menantu Bu Asih tidak pernah ikut, kecuali jika ada kenduri. Kali ini, Bu Asih sudah memasak sayur ikan asam pedas kesayangan cucu-cucunya.

“Saya sudah berhenti kerja, Mak. Di PHK.”
Bu Asih terkesiap mendengar penuturan Budi, nama asli putranya itu.
“Jadi sekarang Abang kerja di mana?”
“Belum ada, Mak. Kemaren sudah masukkan lamaran jadi supir, tapi belum ada panggilan.”
“Istrimu apa kabar? Kenapa jarang ke sini?”                                  
“Baik.”
Cuma itu jawaban Budi.
***
Namanya Kartika. Itu yang Bu Asih dengar dari para ibu tukang gosip itu. Kata mereka, orangnya putih, tinggi, berambut hitam panjang, dan selalu menyetir mobil sendiri. Perempuan itu punya pekerjaan yang sangat tabu di telinga Bu Asih.

“Ssst..dengar-dengar katanya dia PSK loh di Bali,” ujar Bu Desi dengan wajah penuh gosip.
“Hah?? Yang benar, Bu? Pantesan mampu tinggal di Bali, ya? Biaya hidup di sana kan mahal,” sahut Bu Tina.
“Pasti pelanggannya bule semua. Ekspatriat, Jeng,” Bu Rita menimpali.
“Berapa, ya, tarifnya semalam?” timpal Bu Dian sambil tertawa.

Bu Asih makin penasaran dan tak sabar ingin melihat sosok wanita itu. PSK? Bu Asih merasa jijik.
Usai rombongan ibu-ibu itu berlalu, Bu Asih dan Warni bersiap menutup warung. Tiba-tiba, sebuah sedan putih berhenti tepat di depan warungnya. Seorang anak perempuan berseragam TK membuka pintu mobil dan langsung masuk ke warungnya.

Tak lama, muncullah sosok itu. Persis seperti yang digambarkan para ibu, perempuan itu memang cantik. Putih, tinggi seperti seorang model atau artis sinetron yang sering dilihat Bu Asih di layar kaca. Bu Asih terkesiap.

“Mama, aku mau beli permen lollipop itu,” ujar si bocah.
“Berapa harganya, Bu?”
“Eeng..seribu rupiah, Mbak,” Bu Asih tergagap.
“Saya Kartika,” perempuan itu mengulurkan tangannya. “Ibu yang namanya Bu Asih, kan? Saya sering dengar dari ibu-ibu yang sering sarapan di sini. Katanya bubur buatan Bu Asih enak.”
“Eeh, iya. Aduh, makasih Mbak.”
“Oh ya, Bu. Saya lagi cari supir buat ngantar saya kerja. Capek juga ke mana-mana nyetir sendiri. Kalau Ibu ada kenal orang yang bisa nyetir, hubungi saya, ya?”
“Iya, Mbak.”
***
“Mona minta cerai, Mak.”
Astagfirullah…”
“Katanya dia nggak mau ngurusin pengangguran kayak Abang.”
“Emak emang sebenarnya ndak suka dengan perempuan itu dari dulu. Sombong. Mentang-mentang anak pensiunan pejabat.”
”Abang juga sudah ndak sanggup nurutin gaya hidupnya. Udah kayak artis aja tiap minggu mesti ke salon.”
“Jadi, sekarang Abang kerja di mana?”
“Belum ada, Mak. Pusing.”
“Ada ibunya murid TK yang di samping warung Emak itu. Dia  lagi butuh supir. Tapi…”
“Kenapa, Mak? Abang mau kerja di situ. Abang ada SIM A.”
“Bukan masalah itu.”
“Terus?”
Bu Asih menceritakan semuanya.
***


3 bulan kemudian

Sejak resmi bekerja sebagai supir pribadi Kartika tiga bulan silam, kehidupan Budi mulai membaik. Setiap malam Minggu, ia selalu siap mengantar Kartika pergi, dan baru tengah malam pulang. Sore itu, Budi menyempatkan diri mampir ke rumah ibunya, sebelum mengantar Kartika pergi.
“Iya, Mak. Setiap malam Minggu, Mbak Tika dan putrinya berkeliling kota. Kadang mereka baru pulang tengah malam,” ujar Budi.

Dari  Budi, Bu Asih tahu bahwa yang digosipkan para ibu selama ini tidak benar. Memang Kartika selalu keluar setiap malam Minggu dan baru pulang menjelang tengah malam, namun bukan menjadi PSK seperti yang diduga Bu Asih selama ini.

“Dia membagikan nasi bungkus ke para gelandangan dan pengemis yang tidur di pinggrir jalan. Kadang juga ke panti asuhan membawa putrinya,” ujar Budi.

Kini, Bu Asih tidak menghiraukan lagi omongan negatif para  ibu tentang Kartika. Kartika juga berbisnis online dari rumah, menjual baju dan tas wanita demi  menghidupi dirinya beserta putri semata wayangnya, sejak bercerai dengan suami tiga tahun silam. Kadang, sebulan sekali, Tika dan Inge, putrinya, berkunjung ke rumah Bu Asih. Diam-diam, Bu Asih berharap suatu saat kelak, Kartika dapat menjadi menantunya. Bu Asih yakin, tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan, yang Maha membolak-balikkan hati manusia.

Pontianak, 9 Februari 2016
(telah dimuat di Harian Pontianak Post pada Minggu, 17 April 2016)















Ada Drama dalam Novel Matahari

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Novel Matahari karya Tere Liye merupakan buku ketiga dari Serial ‘Bumi’. Agar tidak membingungkan, sebelum membaca Matahari, sebaiknya kita membaca seri ‘Bumi’ dan ‘Bulan’ terlebih dahulu. Membaca serial ‘Bumi’ (terutama pada novel ‘Bumi’ yang banyak membahas tentang portal), langsung mengingatkan saya pada Serial Supernova Keping Keenam ‘Inteligensi Embun Pagi’ yang juga banyak menyebut portal. Di lain sisi, tiga petualang remaja berusia enam belas tahun yang masing-masing memiliki kekuatan tertentu langsung mengingatkan saya pada serial Harry Potter.

Matahari bercerita tentang petualangan Ali, Raib, dan Seli ke Klan Bintang yang tinggal di perut bumi. Untuk dapat menemukan dan menembus lokasi Klan Bintang, si jenius Ali membuat sebuah kapsul bernama ILY, yang diambil dari nama teman mereka yang meninggal saat bertarung di Klan Matahari, Ily.


Dari seri Bumi hingga Matahari, saya melihat selalu ada upaya dari penghuni ketiga Klan (Bulan, Matahari, dan Bintang) untuk membebaskan si Tanpa Mahkota yang dipenjara selama seribu tahun di Penjara Bayangan di Bawah Bayangan yang kemungkinan besar tempat itu berada di perut bumi. Tebakan saya, di seri terakhir yaitu ‘Bintang’, si Tanpa Mahkota mungkin akan dibebaskan dan kembali memipin dunia parallel. Karena sesungguhnya si Tanpa Mahkota tidaklah jahat dan ia memang berhak menjadi Raja di Klan Bulan.

Tapi, yang membuat Matahari menarik karena ada sedikit ‘drama’ di mana Raib yang bingung bagaimana cara memberitahu kedua orangtuanya bahwa ia bukanlah anak kandung mereka dan ia berniat berangkat ke Klan Bintang bersama kedua sahabatnya, Ali dan Seli, akhirnya menghilang di hadapan  kedua orangtuanya saat mereka bertiga berada di meja makan.

Namun, ternyata ibunya tidak menjerit melihat ‘keajaiban’ itu tapi malah menangis tersedu. Akhirnya, tersibaklah semua rahasia yang disimpan kedua orangtua Raib selama ini. ternyata mereka sudah tahu sejak dulu bahwa Raib memang anak yang mereka adopsi sejak bayi.

Di akhir cerita, disebutkan oleh Sekretaris Dewan Kota bahwa perang dunia paralel akan segera tiba. Seluruh klan permukaan akan binasa. Hanya Kota Zaramaraz yang akan utuh karena mereka sudah mempersiapkannya selama ini.  seperti apa keseruan petualangan Ali, Raib, dan Seli dalam serial ‘Bintang’? rasanya tak sabar untuk segera membacanya.

Saya salut dengan kemampuan seorang Tere Liye yang bisa dibilang identik dengan novel romantis dan kiyis-kiyis. Ternyata, ia mampu keluar dari ‘zona nyaman’nya selama ini dengan membuat novel remaja bergenre fiksi ilmiah. Meskipun begitu, tetap ada ‘drama’ dalam novel Matahari.


Kota Pontianak Dulu dan Kini

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Sejarah Kota Pontianak dimulai pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1771 Masehi. Kala itu, rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie membuka hutan di persimpangan tiga Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal dan tempat tersebut diberi nama Pontianak. Berkat kepemimpinan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Kota Pontianak berkembang menjadi kota Perdagangan dan Pelabuhan. Tahun 1192 Hijriah, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Mesjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. 



Ada pun Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:

1. Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808 
2. Syarif Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819 
3. Syarif Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855 
4. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872 
5. Syarif Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895 
6. Syarif Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944 
7. Syarif Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945
8. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tabun 1945-1950 

 Sejarah Pemerintahan Kota 

Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie (lahir 1742 H) yang membuka pertama Kota Pontianak, pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771 bertepatan dengan tanggal 14 Radjab 1185, untuk kemudian pada Hijriah sanah 1192 delapan hari bulan Sja’ban hari Isnen, SYARIF ABDURRAHMAN ALKADRIE dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak. Selanjutnya 2 tahun kemudian setelah Sultan Kerajaan Pontianak dinobatkan, maka pada Hijrah sanah 1194 bersamaan tahun 1778, masuk dominasi kolonialis Belanda dari Batavia (Betawi) utusannya Petor (Asistent Resident) dari Rembang bernama WILLEM ARDINPOLA, dan mulai pada masa itu bangsa Belanda berada di Pontianak, oleh Sultan Pontianak. Bangsa Belanda itu ditempatkan di seberang Keraton Pontianak yang terkenal dengan nama TANAH SERIBU (Verkendepaal). Dan baru pada tanggal 5 Juli 1779,  Compagnie Belanda membuat perjanjian (Politiek Contract) dengan Sultan Pontianak tentang penduduk Tanah Seribu (Verkendepaal) untuk dijadikan tempat kegiatan bangsa Belanda, dan seterusnya menjadi tempat/kedudukan Pemerintah Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo lstana Kadariah Barat), dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asistent Resident Kepala Daerah Kabupaten Pontianak) dan selanjutnya Controleur het Hoofd Onderaffleeling van Pontianak/ Hoofd Plaatselijk Bestur van Pontianak (bersamaan dengan Kepatihan) membawahi Demang het Hoofd der Distrik Van Pontianak (Wedana) Asistent Demang het Hoofd der Onderdistrik van Siantan (Ass. Wedana/ Camat) Asistent Demang het Hoofd der Onderdistrik van Sungai Kakap (Ass. Wedana/Camat). 

Kota Pontianak Kini 

Kini, Kota Pontianak telah memasuki usia ke-245 tahun. Banyak sudah kemajuan yang berhasil dicapai oleh para anak muda kreatif Pontianak, khususnya di bidang Teknologi Informasi. Salah satunya adalah seorang mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak bernama Muhammad Hafiz Waliyuddin yang membuat aplikasi bernama Angkuts, singkatan dari Angkut Sampah, guna menyelesaikan permasalahan sampah di kota Pontianak lewat pendekatan digital. Pada mulanya, Angkuts adalah skripsi yang diangkat Hafiz guna memenuhi kewajibannya sebelum lulus dari jurusan Teknik Informatika Untan. Namun kemudian skripsi itu berkembang menjadi sebuah bisnis bervisi sosial dengan tujuan yang mulia. 



Setelah mendapat juara 3 nasional pada ajang bergengsi Socio Digi Leaders yang diselenggarakan PT.Telkom Indonesia, Tbk, kini Angkuts kembali masuk 20 finalis kompetisi nasional The Next Dev 2016 yang diadakan oleh Telkomsel. Lebih dari 1.000 aplikasi mobile telah terdaftar untuk berkompetisi dalam TheNextDev 2016. Dari seluruh aplikasi mobile yang masuk tersebut, dilakukan kualifikasi tingkat regional yang menghasilkan 80 kontestan. Selanjutnya, dalam seleksi tingkat nasional, proses penjurian yang berlangsung selama dua hari untuk menentukan 20 peserta terbaik dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Para kontestan melakukan pitching atas karya mereka di hadapan para juri yang berpengalaman di industri digital, di antaranya Enda Nasution (Founder Sebangsa), Andreas Senjaya (Co-Founder & CEO iGrow), dan Octa Ramayana (Academic & Research Partner Kibar). Penjurian berdasar tiga parameter, yakni usability atau user experience, kesesuaian tema dan impact level, serta kesiapan produk, hingga akhirnya terpilih 20 besar finalis The NextDev 2016. 

Keduapuluh solusi aplikasi The NextDev 2016 tersebut terbagi ke dalam sembilan sub tema yang telah ditentukan. Yaitu agrikultur, kemaritiman, usaha kecil dan menengah (UKM), pemerintahan, energi, pariwisata, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. 



Dari kategori agrikultur, finalisnya adalah Habibi Garden (Bekasi), Vestifarm (Bekasi), Taponesia (Surabaya), dan Eragano (Jakarta). Dari kategori UKM, terpilih The Denim Club (Samarinda), Kostoom (Depok), Tambaku (Malang), NonQ (Makassar), Kredibel (Serang), dan Mattreal (Surabaya). Untuk kategori pemerintahan, terdapat tiga finalis, yakni Juru Parkir (Yogyakarta), Kentongan (Yogyakarta), dan Meetchange (Depok). Dari kategori pendidikan, dua finalis yang terpilih adalah Tutormu (Tangerang Selatan) dan Dengerin (Yogyakarta). Sementara itu, BudidayaKu (Samarinda), Angkuts (Pontianak), Tuntun (Denpasar), AppsKep (Pekanbaru), Tiketbusku (Makassar) menjadi satu-satunya finalis dari masing-masing kategori kemaritiman, energi, pariwisata, kesehatan, dan transportasi


Selamat buat Angkuts. Semoga kesuksesannya dapat ditiru oleh anak muda Pontianak lainnya untuk selalu mampu Bikin Pontianak Bangga. 



Sumber tulisan: pontianakkota.go.id; inet.detik.com

Sulam Kelengkang dan Sulam Gem Sebagai Warisan Istana Kadariah Untuk Kota Pontianak

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Setelah menyusuri Gang Ramadhan, Kelurahan Bansir Laut, Kecamatan Pontianak Tenggara,  ahirnya EntrepreneurKreatif tiba juga di rumah panggung itu. Rumah dengan tangga tinggi seperti model rumah Melayu tempo doeloe itu dipenuhi dengan berbagai model kursi pelaminan dan baju pengantin yang tersusun rapi dalam lemari kaca. Ya. Selama ini Sulaiman Al-Bansir (66) yang kerap disapa Ami (baca: paman) Sulai, memang membuka jasa penyewaan pelaminan khas Pontianak. Ami Sulai juga mendirikan Sanggar Melati di rumahnya dan berprofesi sebagai penata rias pengantin. Ia pun menjahit pakaian untuk pengantin pria dan wanita serta membuat sendiri pelaminan, dibantu dengan delapan orang  karyawan yang terdiri dari empat karyawan lelaki dan empat karyawan perempuan.

ket: penulis bersama Ami Sulai di kediamannya (foto: koleksi Vivi Al-Hinduan)

Penjahit Langganan Para Sultan Pontianak

Selain itu, ia juga menjahit sulam Kelengkang dan Sulam Gem pesanan kerabat Istana Kadariah Pontianak. Selama ini,masyarakat awam hanya mengenal Kain Corak Insang sebagai pakaian khas Melayu Pontianak. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa selain Kain Corak Insang, juga terdapat pakaian khas Melayu Pontianak yakni Kain Sulam Gem dan Sulam Kelengkang, yang memang hanya dikenakan oleh kerabat Istana Kadariah Pontianak, khususnya pada acara tertentu seperti pernikahan, pelantikan sultan, hingga wafatnya kerabat Istana.
foto: Vivi Al-Hinduan
Kepada EntrepreneurKreatif yang menemuinya, Ami Sulai mengaku sudah mulai menjahit sulam kelengkang dan gem sejak umur 10 tahun. Ia belajar langsung dari sang ibu, alm. Syech Salmah Al-Banser. Sampai sekarang, kegiatan itu masih ia tekuni dan menurun kepada para keponakannya. Dari tahun 1970-an atau sejak zaman alm. Pangeran Jaya hingga Sultan Pontianak saat ini, Sultan Syarif Abubakar Alkadri, Ami Sulai sudah diminta menjahit pakaian bagi semua kerabat Istana Kadariah Pontianak. Jahitan yang rapi dan tahan hingga ratusan tahun membuat Sultan dan para kerabat Istana Kadariah Pontianak mempercayakan pakaian kerajaan untuk dijahit Sulai. Saat ini, pakaian dari benang kelengkang  tidak terbatas di kalangan kerabat raja saja tapi juga dapat dikenakan oleh masyarakat umum untuk meyambut tamu kebesaran.

foto: Vivi Al-Hinduan

“Kecuali yang bermotif bintang-bulan, khusus bagi Sultan dan para kerabat Sultan Pontianak.” Ami Sulai menerangkan.
foto: Vivi Al-Hinduan
Ami Sulai juga mahir membuat kain singasana, kelambu pada Makam Batulayang (makam Kesultanan Pontianak), kelambu Sultan, pakaian Sultan hingga kelambu kerajaan Pontianak. Bahkan, Sulai juga dipercaya menjahit kelambu dan baju adat pengantin Melayu Pontianak di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Proses pengerjaan
Baju adat Kelengkang yang indah ini terbuat dari bahan utama kain beledru dengan sulaman benang kelengkang perak dan gem emas yang diimpor langsung dari Singapura. Benang  gem emas harus dipotong sesuai alur bunga. Untuk menjahit 1 set pakaian yang terdiri dari kain, baju, celana, kopiah, dan selendang, membutuhkan waktu selama satu bulan.

foto: Vivi Al-Hinduan
Harga jual 1 set pakaian khas Pontianak ini dibanderol Rp 10 juta. Ami Sulai mengaku, modal yang dikeluarkan juga cukup besar, terutama untuk membeli benang Kelengkang dan gem yang harus diimpor langsung dari Singapura dengan harga benang kelengkang per bungkus Rp 1,2 juta (isi 10 ikat).

“Untuk satu helai kain beludru harus memakai dua ikat benang  Kelengkang,” jelasnya.

Khusus menjahit Kelengkang, pria yang masih betah melajang ini melakukannya berdua dengan keponakannya. Sulaman Kelengkang buatannya sudah dipesan oleh pembeli dari Jakarta, Kuching, hingga ke Australia. Wow! Benar-benar Bikin Pontianak Bangge ya, SobatPreneur?
ket foto: Benang Kelengkang (foto: Vivi Al-Hinduan)

ket foto: Benang Kelengkang (foto: Vivi Al-Hinduan)

ket.foto: Gem Emas (foto: Vivi Al-Hinduan)

Harapan ke Depan Terhadap Nasib Sulam Gem dan Kelengkang

Selain mengeluhkan minimnya perhatian Pemerintah Kota Pontianak terhadap penjahit tradisional seperti dirinya, Kendala lain yang ia hadapi adalah sulitnya mencari beludru kualitas terbaik, benang Kelengkang, dan gem emas. Karena menjahit Kelengkang menggunakan tangan, Ami Sulai mengaku, hal tersulit adalah ketika memotong benang Kelengkang dan menyatukannya ke benang dan jarum. Lelaki berdarah Arab ini menceritakan, pernah benang Kelengkang bergulung ketika hendak dipasangkan ke jarum dan terpaksa harus diluruskan lagi agar menyatu dengan kain beledru. Proses yang sungguh tidak mudah.

Ami Sulaiman (foto:Vivi Al-Hinduan)
Saat ini Ami Sulai merupakan satu-satunya penjahit Kelengkang di Pontianak. Dia berharap, ada penerus yang dapat menggantikannya untuk melestarikan pakaian tradisional ini agar tidak punah ditelan zaman. Semoga Pemerintah Kota Pontianak dapatmenjaga dan melestarikan Sulam Kelengkang dan Sulam Gem Sebagai Warisan Istana Kadariah Untuk Kota Pontianak.



Mengenal Berbagai Kuliner Tradisional Khas Keraton Kadariah Pontianak

$
0
0

EntrepreneurKreatif.Com-Satu lagi anak dare yang Bikin Bangge Pontianak, Latifah Alqadrie namanya. Sejak 7 tahun silam, Latifah (35) demikian ia akrab disapa, mulai asyik menekuni usaha kuliner, khususnya kue tradisional.  Ia memilih kuliner tradisional khas Keraton Kadariah Pontianak karena kebetulan, rumahnya berada di sekitar Komplek Keraton Kadariah, Pontianak. Anak ke 2 dari 5 bersaudara putri  pasangan  Sy. Mahdi  Alqadrie dan Syf. Fatimah Alqadrie mengaku memilih melestarikan kue tradisional khas Keraton Kadariah ini agar kuliner  Raja-raja Melayu Pontianak tempo dulu ini tidak punah ditelan zaman. 

foto: koleksi Latifah

Produk yang ia buat berupa juadah (kue) tradisional khas  Pontianak seperti  kue Madu Kandis, Putri SalatBatang Burok, TumporTart Coklat, Korket Kepal, Rotikap, Singkep-Singkep,  serta si hitam manis Tapai  Menaon. Tapai ini terbuat dari ketan hitam, gula aren, gula pasir, dan ragi. Biasa hadir di meja saat Lebaran tiba. Kalau tart coklat pasti SobatPreneur sudah pada tahu, kan? Itu sebenarnya kue warisan Belanda yang masih dilestarikan hingga kini oleh pihak Istana Kadariah Pontianak

foto: koleksi Latifah

Kue Madu Kandes terbuat dari kacang hijau, santan, dan susu. Putri Salat terbuat dari ketan putih atau hitam. Batang  Burok merupakan kue khas raja-raja Pontianak yang terbuat dari daging dan disiram dengan kuah santan. Korket Kepal terbuat dari tepung terigu, dicampur daging kornet yang dibuat dengan cara dikepal dengan tangan. Sedangkan Singkep-Singkep  mirip kue bolu yang disiram kuah dari susu dan diolesi selai stroberi. Sangat menggoda lidah.


foto: koleksi pribadi Latifah


Biasanya pihak Istana Kadariah Pontianak memesan kue buatan Latifah untuk acara pengajian, kawinan, gunting rambut, dan aqiqahan  sebanyak 200-300 cetak


Anak muda seperti Latifah inilah yang Bikin Pontianak Bangge akan keseriusannya menekuni serta melestarikan berbagai kuliner tradisional khas Pontianak.  Semoga semakin banyak anak muda Pontianak yang mengikuti jejak Latifah sehingga kelak anak cucu kita masih dapat Mengenal Berbagai  KulinerTradisional Khas Keraton Kadariah Pontianak

KUPAHAT PUISIKU DI BATU NISAN

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com- Selamat membaca kumpulan puisi tak laku  karya Vivi Al-Hinduan berikut


KUPAHAT PUISIKU DI BATU NISAN



Homer, Rendra, Camus, dan Nietzsche,
Dengarlah tangisku yang parau
Yang keluar dari hatiku yang galau

Hari ini, telah kukafankan puisiku yang malang
Karena ku tak mampu lagi menghangatkannya di ranjang kenyataan

Neruda, Lubis, Rumi, dan Kafka,
Telah kupahat puisiku di batu nisan
Karena hidup lebih memilih duit dan kartu kredit
Dan melenyapkan puisiku hingga senyap
Selamat tinggal, Kawan

DALAM KEREMANGAN YANG GAMANG


Ingin rasanya kukepakkan kedua sayapku dan terbang jauh
Lari dari dunia nyata ke alam mimpi
Dimana cinta kita dapat tumbuh bersemi
Tanpa peduli dengan nisbinya materi

Di dunia mimpi, aku pasti sudah menikahi seorang penyair,
Atau musisi jazz, atau pelukis, atau pemain teater,
Atau seorang lelaki…
Yang memahat cinta dengan api

Tapi kita tidak hidup di negeri dongeng bukan, sayangku yang tampan?
Kita tersesat di planet bernama realita yang berdasar fakta
Dimana cinta diukur dengan Rupiah

Dan puisi indahmu hanya berakhir di tempat sampah,
Dan musikmu hanya mengalun sendu di sudut hatiku yang kelu,
Ketika  harga lukisanmu tak mampu membeli susu formula bayi,
Ketika  mimpi indah kita telah terkorupsi hingga basi

Maka ijinkanlah aku menyematkan hatiku pada gemintang
Dalam keremangan yang gamang
Dengan jiwaku yang tertusuk ilalang

Kisah Seorang Penulis Amatir

$
0
0
Kisah Seorang Penulis Amatir
Vivi Al-Hinduan


Seorang penulis amatiran kelas kacangan tengah girang bukan kepalang. Akhirnya ia mendapat kesempatan untuk membuktikan kualitasnya dalam menghasilkan cerita sesungguhnya, bukan sekedar cerpen. Selama ini si penulis amatir hanya mengirim cerita pendek-alias cerpen, melulu. Cerpen itu sendiri panjang halamannya hanya sekitar 6-8 halaman kuarto. Cerpen-cerpen picisan karya si penulis amatir bertebaran di media cetak lokal maupun nasional.

Si penulis amatir kini benar-benar serius  ingin menguji dirinya sendiri dengan mencoba mengikuti tiga buah lomba menulis novel yang sedang diadakan oleh tiga penerbit berbeda, dalam bulan ini. Ia begitu bernafsu ingin mengikuti ketiganya sekaligus-kalau perlu empat. Sialnya, karena terlambat mendapat informasi, ternyata garismati pengiriman karya ketiga lomba itu nyaris bersamaan, yaitu hingga akhir bulan ini. Dan yang dimaksud dengan akhir bulan itu tinggal seminggu lagi, terhitung sejak hari ini. Si penulis amatir pusing tujuh keliling. Yang mana duluan yang harus diprioritaskan untuk dikirim? Apakah bisa terkejar mengirim naskah ke ketiga penerbit itu sekaligus? Ach!

HARI KE-2
Si penulis amatir bingung harus memulai darimana. Apalagi mulai mengetik sepanjang 150-250 halaman A4, dengan spasi 1,5 dan font 12 Times New Roman, sesuai permintaan panitia lomba. Si penulis amatir membuka-buka file dokumen di komputernya, guna mencari ide. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah file PDF berjudul Araki. Aha! Ini dia! Si penulis amatir senang bukan kepalang. Ia langsung membukanya.
Konon, kata orang, jika anda penasaran ingin melihat sisi gelap (orang) Jepang, cobalah tengok hasil karya Nobuyoshi Araki. Fotografer kelas internasional kelahiran Tokyo, 25 Mei 1940 itu begitu berani teramat sangat menampilkan foto-foto telanjang (bulat) yang mengeksploitasi habis-habisan seksualitas para modelnya, yang sebagian besar perempuan belia.
Janganlah anda bayangkan seksualitas yang terekam di kamera Araki San itu sebagai seksualitas yang lembut dan ‘malu-malu mau’ ala fotografer di tanah air. Sama sekali tidak. Model-modelnya berpose dengan juktaposisi yang sangat vulgar, liar, brutal, dan cenderung sadomasotik. Bahkan karya-karya fotonya lebih berani dibanding karya Ray Stuart, apalagi jika melihat fakta bahwa Araki lahir dan besar di sebuah negara timur seperti Jepang. Jika melihat hasil karya Araki, si penulis amatir tidaklah heran jika seorang Miyabi bisa terlahir di Jepang. Dalam salah satu fotonya, terlihat tiga orang model perempuan dalam keadaan telanjang (bulat) diikat dengan tali di lantai, dengan pose mengangkang indah. Wow!

Di foto yang lain, dua orang model perempuan diikat dengan tali berpose tunggang-balik (kepala kebawah dan kaki keatas) sambil ngangkang, tanpa busana. Ada juga pose seorang perempuan Jepang memakai Kimono tradisional yang tersingkap hingga perut. Tentu saja si model kebetulan sedang ‘lupa’ memakai celana dalam. Apakah Araki sengaja menunjukkan protes terhadap budaya masyarakat Jepang yang sedang ‘jungkir-balik’ saat ini? Entahlah. Bahkan sang fotografer tak segan memotret istrinya sendiri-yang sekaligus merupakan model dalam foto-fotonya, dalam posisi telanjang bulat, dengan kedua tangan menutupi kelamin. Persisi seperti pose para pemain bola yang sedang berderet di depan gawang sambil memegang ‘burung’ nya erat-erat.

Araki juga mengabadikan sebuah ‘kisah tak terungkap’ tentang dunia malam di Tokyo yang begitu kelam. Dalam foto hitam-putih yang ia beri judul Tokyo Contemporary’s SexualUnderworld I itu terlihat seorang perempuan dan dua orang laki-laki sedang (maaf) 3-somediatas sebuah ring kecil yang mirip ring tinju tanpa diberi tali pembatas, dihadapan para penonton-yang semuanya laki-laki-yang duduk manis di kursi masing-masing, seperti sedang serius menonton film kartun Pink Panther. Rasanya si penulis amatir harus minum tiga kendi Sake sampai teler, untuk mencari keindahan seni dibalik karya fotografi super cabul itu.

Dalam salah satu foto-foto karya Araki-tinggal di googling aja- yang sebagian besar hitam-putih itu , bahkan terlihat sang fotografer nyeleneh sedang berdiri memegang kameranya, disampingnya-atau lebih tepat di atasnya, seorang model berpakaian seperti seragam sekolah murid SMA di Jepang, sedang diikat dengan tali. Ada tulisan yang berisi pernyataan Araki tentang karya fotonya sendiri, “ I only tie-up a woman’s body because I know I can not tie up her heart. Only her physical parts can be tie up. Tying up a woman becomes an embrace.”
Sinting.

HARI KE-3
Karena muak dengan karya-karya Araki, si penulis amatir tidak jadi mengambilnya sebagai ide cerita untuk naskah novelnya. Ia terus membuka file-file yang ia simpan di dokumennya. Ada nggak ya yang menarik selain itu? Batin si penulis amatir. Akhirnya ia ‘bertemu’ dengan file-file lamanya. Ada file tentang kisah hidup pelukis Indonesia, Raden Saleh, ada juga file tentang sepuluh pelukis terkenal di dunia, yang semuanya ia salin-tempel dari internet. Hmm, sepertinya menarik juga jika mengangkat tentang kisah hidup seorang pelukis sebagai tokoh utama novelnya, pikir si penulis amatir. Si penulis amatir ingin membuat kisah Raden Saleh yang di-fiksi-kan, semacam novel biografi gitu loh. Tapi ia keburu ingat, kisah Raden Saleh sudah pernah ditulis orang lain dengan judul Rumah Dansa.
Bagaimana kalau aku menulis cerita tentang seorang lelaki yang berprofesi sebagaidancer? Sepertinya seru. Ia sudah menyiapkan nama untuk tokoh utama novelnya nanti, Ananta. Nama yang agak berbau sanksekerta. Si penulis amatir mulai mengetik dengan bersemangat.

HARI KE-4
Gawat! Batas terakhir pengiriman naskah tinggal tiga hari lagi. Cerita yang jadi baru satu. Tentang seorang pria berprofesi sebagai penari profesional, yang jatuh cinta setengah tewas dengan seorang mahasiswi S2 Filsafat UI. Wuih, keren! Si penulis amatir senang bukan kepalang. Si penulis amatir tak puas-puas membaca kembali naskahnya yang sudah ia jilid rapi dan siap dikirim itu. Tiba-tiba ia merasa ada yang kurang. Bukan cuma satu, tapi banyak. Naluri perfeksionisnya sebagai seorang melankolis tingkat kronis, memaksa si penulis amatir untuk melakukan hal ekstrem. Ia menulis ulang cerita setebal 150 halaman A4 itu dari awal. Gokil!

Ach, akhirnya selesai juga. Si penulis amatir senang melihat hasil revisinya. Ia memasukkanya kedalam amplop coklat besar. Siap dikirim. Sekarang tinggal dua lagi. Si penulis amatir begitu kelelahan. Kantung matanya tebal dan menghitam. Ia sudah kehabisan ide cerita. Tapi uang memang motivasi paling purba di muka bumi ini-selain seks, tentu saja, yang mampu memaksa siapapun untuk mati-matian mengejarnya.
Ngomong-ngomong soal seks, si penulis amatir teringat dengan Lucian Freud, cucu Sigmund Freud yang berprofesi sebagai seorang pelukis potret berdarah Yahudi itu. Lukisan-lukisan pria berkewargaan Inggris yang punya empat belas orang anak dari lima wanita yang berbeda itu, begitu nyata dan semuanya bertema telanjang, termasuk potret diri Freud sendiri. Freud juga pernah melukis supermodel Kate Moss dalam keadaan hamil tua. Seorang penawar gelap berhasil mendapatkan lukisan unik tersebut seharga US$ 7,29 juta.

Kenapa aku tidak menulis tentang dia saja? Sepertinya menarik.


HARI KE-5
Si penulis amatir akhirnya berhasil menyelesaikan naskah keduanya. Ia belum ingin mem-print-out nya, biar saja. Sekalian dengan naskah ketiga nanti. Bahkan naskah yang sudah siap kirim pun ia tunda. Biar saja, sekalian dikirim serentak dengan dua saudaranya ini, batin si penulis amatir. Biar seru.
Si penulis amatir berkhayal, seandainya ia mendapat juara satu untuk ketiga naskah novelnya sekaligus. Oh, betapa menyenangkan. Ketiga penerbit itu tentu akan langsung menyetak naskahnya menjadi novel, namanya pun akan terkenal. Sudah pasti novelnya akan laris, karena ia menang lomba. Uang yang ia dapat akan ia gunakan untuk liburan ke Bali.. eh, jangan ah. Bali mulu. Ke Gili Trawangan dong. Sudah lama si penulis amatir bermimpi ingin berlibur ke pulau kecil di seberang Pulau Lombok, NTB itu.
Ia tak sabar ingin ber-snorkeling-ria di Pantai Gili Trawangan yang jernih  berkilauan tertimpa sinar mentari pagi. Gili Trawangan merupakan salah satu dari trio ‘The Gilis’ , selain Gili Meno dan Gili Ayer. Di pulau kecil yang terkenal dengan alat transportasi berupa Cidomo ( cikar dokar motor) dan sepeda pancal itu, kendaraan bermotor dilarang hadir disana, karena hanya akan menyumbang polusi udara. Gili Trawangan dapat ditempuh dari Lombok dengan lama perjalanan sekitar lima belas menit menggunakan boat kecil. Jika dari Padang Bae, Bali, setidaknya butuh dua jam perjalanan dengan fast boat.
“ Uaaah..”, si penulis amatir menguap.
Ia terlelap di samping komputer yang menyala.

HARI KE-6
Tengah malam buta, ketika anjing-anjing saling menyalak seperti melihat hantu yang numpang lewat, lampu di ruang tamu sebuah rumah di komplek padat penduduk itu masih terang benderang. Di sudut ruang tamu itu, sebuah komputer dan printer menyala. Printer tua itu berdecit-decit kelelahan karena dari tiga jam yang lalu terus dipaksa ber-reproduksi tak kunjung henti. Beberapa kali pula komputer tua itu mati, karena salah satu komponen utama di dalam rahimnya, yang mirip baling-baling kipas angin itu, sudah tidak kuat lagi berputar.
Rupanya semua penyiksaan kejam itu adalah hasil kerjaan seorang penulis amatiran yang kurang kerjaan. Dari tadi, mesin printer itu terseok-seok ber-reproduksi, dipaksa melahirkan kertas-kertas lusuh yang di print-out (maaf, si penulis amatir belum menemukan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD untuk kata print-out) dan keluar melalui vaginanya yang tua dan selebar jalan tol Cipularang.
Si penulis amatir sudah tiga kali bolak-balik ke dapur, menuang air panas dari dispensernya, demi menenangkan groginya dengan tiga bungkus kopi instan. Akhir-akhir ini, si penulis amatir sering terkena penyakit ‘insomnia buatan’, tidur larut malam-bahkan hingga subuh, demi mempersiapkan karya tulis terbaiknya untuk mengikuti tiga lomba menulis novel itu sekaligus. Rakus. Seperti tikus.
Batas akhir pengiriman naskah (cap pos) tinggal besok. Semua naskah sudah jadi, tinggal di print-out. Tengah malam menjelang subuh, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah SMS masuk, dari seorang lelaki yang selalu menggunakan kata sapaan dengan kasta tertinggi dalam bahasa Indonesia, Saya dan Anda, untuk menyebut dirinya dan si penulis amatir setiap kali ia mengirim SMS. Si penulis amatir sebenarnya benci sekali dengan segala formalitas itu. Kenapa kata Saya dan Anda seolah membentangkan jarak diantara mereka? Ingin rasanya si penulis amatir meruntuhkan tembok tebal itu hingga ia lelah dan berdarah. Hingga pecah semua gundah dalam dada. Ia benci sekali dengan fakta yang menyakitkan itu. Benci! Eits, tunggu dulu! Bukankah menurut para remaja alay era 80-an, kata benci adalah singkatan dari benar-benar cinta? Halah!
Oh, rupanya seorang pria yang pemalu dan tidak pintar merayu itu telah berhasil memporakporandakan susunan hati si penulis amatir yang selama ini tertata rapi. Bagaimana tidak? Dinegeri ini, dimana segalanya telah menjadi instan-termasuk proses dan hakikat (ber)cinta itu sendiri,  ternyata masih ada sesosok lelaki dewasa yang tentu saja masih perjaka, (sudah periksa?) yang malu-malu dalam berkomunikasi dengan perempuan.
Mesin printer itu tiba-tiba berhenti ber-reproduksi. Mungkin sudah saatnya ia memasuki masa menopause. Biarlah. Kopi instan di cangkir si penulis amatirpun sudah tandas. Sayup-sayup terdengar seruan iqamat dari kejauhan, tanda pergantian energi dari malam ke subuh sebentar lagi akan tiba. Proses tarian semesta yang gegap gempita itu akan dibuka oleh suara adzan subuh yang terdengar makin jauh. Jauuuh sekaliii tenggelam ditelan tsunami globalisasi yang melanda negeri. Si penulis amatir mematikan komputernya. Ia seperti tak kuasa lagi menahan kantuk. Ia tertidur lelap, hingga bahkan tak sempat lagi berucap: Lelakiku, aku sangat rindu.

Rindu Semusim Lalu

$
0
0
Rindu Semusim Lalu

Vivi Al-Hinduan



Selalu saja ada yang tertinggal saat kita pindah. Kenangan. Dan kenangan itu tertinggal di Kalimati, semusim yang lalu….

Kalimati, tiga bulan yang lalu
“Rindu, habis ini kita rehat sebentar di Kalimati, ya?”
“Kalimati?”
“Iya. Itu nama pos terdekat dari sini. Pos Kalimati berada pada ketinggian 2.700 meter dari permukaan laut. Kita bisa mendirikan tenda untuk beristirahat. Kalimati  berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara. Di sana banyak ranting untuk membuat api unggun.”
Aku berusaha menyerap semua informasi itu sambil menahan gigil.
“Sebenarnya ada satu pos lagi, Arcopodo. Jaraknya satu jam dari Kalimati.” Fajar menambahkan.
“Kenapa nggak istirahat di Arcopodo aja sekalian?”
Mata itu menatapku tajam sebelum ia menjawab singkat, “Karena saya tahu kamu nggak bakal sanggup lagi buat jalan kaki ke sana.”
Kami berjalan dalam diam. Lelaki berkulit cokelat itu berjalan di depan. Langkahnya tegap. Dari kejauhan tampak sosok Mahameru yang menjulang tinggi. Aku tak sabar ingin mengabadikan puncak Semeru setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut itu. Kini, berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, terasa seperti mimpi. Di Taman Nasional seluas 50. 273 hektar ini, tampak deretan pegunungan lain di sekitar Semeru, seperti Bromo, Batok, Watangan, Kursi, dan Widodaren.

Dengan membawa kamera film, aku nekat pergi ke tempat ini demi proyek film dokumenterku. Ditemani Fajar, pemandu lokal berhati sedingin Oymyakon di Rusia, kami berjalan pelan menembus gelapnya malam menuju Kalimati.
****
“Jadi tujuan kamu ke sini cuma buat mengusik ketenangan Mahameru dengan kameramu itu?”
“Mengusik? Aku justru ingin mendokumentasikannya. Emangnya nggak boleh?”
“Dari tadi kamu kerjanya cuma selfie dan merekam sana-sini. Kayaknya nggak ada yang luput dari kameramu, ya? Mulai Ranu Kumbolo sampai Oro-Oro Ombo saja direkam. Kurang kerjaan amat.”
“Hey, dengar ya! Kamu tuh kubayar buat jadi pemanduku. Bukan buat nyeramahin aku.”
“Oke. Saya kembalikan uang kamu. Saya pulang sekarang. Silahkan teruskan pendakianmu ke Semeru sendiri. Gimana?”
Aku terdiam. Sejak kemarin waktu dikenalkan dengan lelaki ini, aku sudah tidak suka. Dan ternyata firasatku benar. Sepanjang hari ini kerjanya hanya bikin kesal.
“Kita istirahat sebentar di sini . Jam satu dinihari, kita jalan lagi. Kita ikut rombongan dari Bandung itu. Jangan samapai terlambat.”
***
Aku melihat rekaman video itu dari kamera film. Ranu Kumbolo, danau indah yang berada di kaki Gunung Semeru. kameraku asyik merekam bukit terjal dengan pemandangan yang sangat indah di sekitar danau Ranu Kumbolo. Di depan bukit itu terbentang padang rumput luas yang dinamakan Oro-oro Ombo. Oro-oro Ombo dikelilingi bukit dan gunung dengan pemandangan yang memukau mata. Padang rumputnya yang luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus mengingatkan tentang Eropa.

“Fajar, sini!”
“Ada apa?”
Ia berjalan ke arahku. Aku mengambil kamera Polaroid.
“Duduk sini di sampingku.”
Ia menurut. Aku  memotret kami berdua. Dua kali.
“Nih, satu lembar buatmu. Yang satu buatku.”
“Buat apa?”
“Haduh! Dingin amat sih jadi cowok. Ya buat kenang-kenangan dong. Udah, ambil nih.”
Aku  memberinya selembar. Ia  menatap lama foto itu, dan tertawa datar.
“Kenapa ketawa? Lucu ya?”
“Iya. Saya tidak pernah menyimpan kenangan. Tapi demi kamu, akan saya lakukan.”
Fajar memasukkan foto itu ke saku jaket kumalnya.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran.
“Apanya?” tanyanya dingin.
“Kenapa kamu nggak mau menyimpan kenangan? Oh, aku tau. Pasti kamu pernah sakit hati diputusin sama pacarmu, kan?”
“Sok tahu.”
“Alah, ngaku aja kenapa sih? Aku  juga pernah…”
”Almarhumah adik saya.”
“Apa??”
“Dia saudara saya satu-satunya. Dia meninggal sepuluh tahun lalu karena ditabrak lari oleh truk.”
“Oh!”
“Namanya Ratna. Sebelum meninggal, dia pengin sekali mengajak saya ke Mahameru. Tapi selalu saya tolak karena waktu itu kuliah saya belum selesai. Dan dia meninggal sebelum sempat mewujudkan mimpinya.”
“Maaf, Fajar. Aku nggak tahu.”
“Sejak itu, segalanya berubah dalam hidup saya. Orangtua saya saling menyalahkan satu sama lain dan akhirnya berpisah gara-gara kecelakaan itu. Saya hidup berpindah-pindah kerja dan kontrakan. Dan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Mahameru, saya selalu ingin kembali lagi. Meski pun awalnya hanya ingin memenuhi impian Ratna.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku.”
“Tentang kenangan? Bukankah ia selalu tinggal sesering apa pun kita pindah?”, Fajar balik bertanya.
“Itu sebabnya kamu tidak pernah mau mengenal seseorang secara dekat, agar nggak ada kenangan tentang dia?”
“Kita berangkat sepuluh menit lagi agar pagi-pagi sekali sudah tiba di Mahameru. Tolong semua bawaan kamu ditinggalkan saja di sini. Terutama kamera itu,” Fajar berkata kaku.
“Tapi aku mau merekam…”
“Saya tunggu di luar.”
****
Dari Arcopodo menuju puncak Semeru diperlukan waktu 3-4 jam, melewati bukit pasir yang sangat curam dan mudah merosot. Sebagai panduan bagi para pendaki, di jalur ini banyak terdapat bendera segitiga kecil berwarna merah. Kami bergabung bersama rombongan pendaki dari Bandung dan Yogyakarta.
Aku mengenakan baju tebal untuk mencegah hipotermia dan juga kacamata untuk melindungi wajah dari hujan abu. Kami disarankan untuk tidak menuju kawah Jonggring Saloko, juga dilarang mendaki dari sisi sebelah selatan, karena ada gas beracun dan aliran lahar.
Jam lima subuh, kami tiba di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Pemandangan dari puncak ini sangat indah, bagaikan samudra di atas langit. Saat hampir mencapai puncak, aku merasa seperti berada di atas awan.

“Kamu tahu, Soe Hok Gie meninggal di Gunung Semeru pada 1969 akibat menghirup asap beracun di gunung ini,” ujar Fajar.
“Kamu jangan nakutin aku, dong. Perasaanku nggak enak nih.”
“Aku serius, Rin. Kamu mahasiswi Jakarta tapi nggak tau sejarah tentang aktifis mahasiswa paling terkenal dari Jakarta. Payah.”
“Udah ah, jangan ceramah mulu. Aku ingin sendiri.”
“Hati-hati, Rin.” Ujarnya.
Mata kami saling bertatapan. Wajahnya berubah. Dingin dan menusuk. Entah kenapa, tiba-tiba bulu kudukku merinding. Fajar pun lenyap di tengah rombongan pendaki lainnya. Aku berusaha menepis bayangan wajahnya, namun selalu tinggal.
Setelah Fajar menghilang, aku duduk menepi dari keramaian. Menyumpah dalam hati karena tak dapat mengabadikan pemandangan indah ini dengan kamera filmku. Padahal batas akhir pendaftaran lomba film dokumenter itu tinggal seminggu lagi.
 “Brengseek lo, Jaarr!” teriakku. Kesal.
***
Entah sudah berapa jam aku di sini, terhipnotis menyaksikan sekeping surga yang dihadiahkan Tuhan ke bumi. Tak ingin ada satu pun yang mencuri pemandangan ini dari mataku. Saking asiknya, tanpa sadar Fajar telah lenyap entah ke mana. Tiba-tiba mendung menggantung di atas Mahameru. Beberapa rombongan pendaki bergegas turun melewatiku.
“Cepetan turun, Mbak. Sebentar lagi hujan. Di arah selatan ada gas beracun.”
“Apa?? Fajar!”, teriakku spontan.
Aku panik dan berlari mencarinya. Tetapi lelaki itu seperti lenyap ditelan keagungan Mahameru yang perkasa. Aku terus berlari menembus pekatnya kabut, menyeruak di antara rombongan pendaki yang juga panik. Seseorang menahan tanganku,
“Mau ke mana, Mbak? Di sana ada gas beracun. Tadi ada yang pingsan dan dibawa turun.”
“Teman saya hilang.”,  aku gemetar. Butiran bening menetes dari mataku tanpa bisa kucegah.
“Pulang saja, Mbak. Jangan ke sana, bahaya!”
Aku terus berlari menuju ke arah selatan. Dari kejauhan, samar terlihat Fajar terjebak di pekatnya kabut. Ia seperti berteriak meminta tolong. Tanpa menghiraukan teriakan para pendaki lainnya, aku berlari seperti kesetanan, menembus belerang pekat itu hanya demi satu tujuan, menyelamatkan Fajar.
Seperti dikunci dalam kamar pengap yang penuh gas beracun, beginilah rasanya terjebak di tengah kepungan asap hitam ini. Aku mengucek mata yang perih. Sosok Fajar tiba-tiba lenyap begitu saja. Nafasku sesak menghirup gas beracun ini. Siapakah yang kulihat tadi? Benarkah itu Fajar?
“Fajaaarrr!  Tolong aku!” aku menangis histeris.
Aku masuk semakin dalam, terjebak dalam kepungan asap. Yang ada hanya pekat. Dari kejauhan, terdengar suara seorang lelaki berteriak,
“Rin, jangan ke sana! Cepat putar haluan!”
“Fajar? Kamu di mana? Fajaarrr!!”
Tak ada sahutan. Derap langkah kaki terdengar menuju ke arahku. Di balik kabut, terlihat samar Fajar dan tiga orang lainnya memakai masker. Mereka  berusaha menembus pekatnya gas beracun ini.
“Cepat keluar, Rin!”
Itu suara terakhir yang sempat kudengar sebelum gas beracun ini menelanku. Selamanya.

Malang, tiga bulan kemudian
“Jadi pindah ke Jogja, Mas Fajar?”
“Jadi, Pak. Besok pagi Insya Allah saya berangkat. Saya dapat proyek di sana.”
“Wah, sepi nanti kontrakan ini kalau ndak ada Mas fajar.”
“Nanti kan ada teman saya dari Surabaya yang mau ngisi rumah ini. Dia bawa istri dan anaknya juga.”
“Oh ya, Mas. Tadi waktu saya beres-beres kamarnya Mas Fajar, saya nemu ini.”

Pak Pomo, penjaga rumah tempat Fajar mengontrak, menyerahkan selembar foto Polaroid ke tangan Fajar. Fajar  menatap lama foto itu.

“Simpan saja, Pak. Saya nggak butuh.”, ujarnya.
“Beneran buat saya?”
“Iya. Ambil saja kalau Bapak mau. Saya tak ingin membawa kenangan.”
“Mantannya, ya? Cantik loh. Nama Mbak di foto ini siapa, Mas?”
“Rindu,” jawab Fajar dingin. Sedingin Oymyakon di Rusia.

Pontianak, 5 Februari 2015






CERPEN: TAMU DARI ISRAEL

$
0
0
Tamu Dari Israel

Vivi Al-Hinduan



(Telah dimuat di kompas.com, Selasa, 19 Juli 2011)



Desa Tanjung Sengat gempar. Penduduk desa kecil di seberang desa Sungai Kepinding itu kaget bukan kepalang. Kecolongan, barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi mereka saat ini.

Bagaimana mungkin?” tanya seorang tokoh agama di desa itu.
Kok bisa?” tanya yang lain.
Syaugi, seorang mahasiswa asli desa itu yang kuliah di Pontianak dan sedang pulang kampung punya teori lain,” Pasti telah terjadi sebuah konspirasi besar.Jangan-jangan dia seorang agen Mossad yang sedang menyamar menjadi peneliti.”
Tak lama, gosip pun segera menyebar seperti kanker ganas di seantero desa kecil itu yang 99,99% penduduknya beragama Islam. Penyebabnya cuma satu, datangnya seorang Sosiologasing berkebangsaan Israel yang kebetulan pula beragama Yahudi, Benjamin Askadot, ke desa itu. Tentu saja aku ikut disalahkan, karena akulah yang menemani Benji ke desa itu.
Perkenalanku dengan Benji terjadi sebulan yang lalu, ketika Aline Van Gobus menelponku. Aline, dosen cantik di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta, wanita blasteran Cina-Belanda itu kukenal sewaktu aku mengambil S3 Sosiologi di National University of Singapore, Singapura. Aline mengambil S2 jurusan bisnis di NUS. Kami sering bertemu di acara-acara yang diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Singapura dan KBRI di Singapura.Ia berusia duapuluh tahun dibawahku dan hingga kini ia belum juga mau menikah.Aku ingat percakapanku dengannya sewaktu dia menelponku bulan lalu.
Aku sudah terlanjur menikahi pekerjaanku, Prof. Tampoy.”,ungkapnya padaku.
Ah, Aline. Sayang sekali ya? “
Hahaha…anda mau mencobanya, Prof?”
Mencoba apa? Melamarmu?Aach.”
KenapaAacch?”
Aku rasa aku sudah terlalu tua untukmu. Lagipula..”
Ssst..aku suka pria mapan.”, dia mulai menggoda.
Tapi aku sudah menikah. Lagipula, kita beda agama.”
Kau menyesal? Aku mendengar nada penyesalan di suaramu.”
Menyesal?Kenapa kau tanyakan itu?Apakah aku menyesal karena telah menikah dan punya empat anak?Apakah aku menyesal terlambat mengenalmu?Apakah aku menyesali segala perbedaan diantara kita?Apakah aku menyesal tidak berani menceraikan istriku demi kamu? Aku ingin mengatakan YA untuk semua pertanyaan itu, namun kalimat yang keluar dari bibirku hanyalah ini:
Bisa ganti topik lain?”
*****
Bagaimana anda bisa masuk ke Indonesia? dengan paspor Israel?”
Benjamin Askadot mengangguk.
Tapi…”
Aku punya kenalan di imigrasi dan bandara. Dia yang meloloskan Benji. Yaah,,dengan sedikit fulus lah.”, sahut Aline santai.
Ooooh..”, hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibirku.
Aku begitu takjub melihat ulah oknum aparat negeri ini. Jangankan Yahudi Israel, barang bekas saja bisa lolos dengan mudah.Bahkan sampah negeri tetangga pun bisa masuk ke Indonesia asal dipoles dengan duit.Naudzubilah.Tiba-tiba aku merasa seperti orang suci yang muak melihat korupsi yang telah menjajah negeri.
Prof. Tampoy, setahu saya di Manado sudah lama ada penganut Yahudi.”, ujar Benji dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar.
Iya, Prof. Benji ini sering loh ke manado ketemu komunitas Yahudi disana.”, sambung Aline.
Berartii…ada Sinagog ya di Manado?”, tanyaku lugu.
Setahuku bahkan dulu di Surabaya pun ada, tapi pernah disegel massa. Entah bagaimana nasib tempat itu sekarang.” Ujar Aline.
Logikanya, tak mungkin orang beragama tanpa rumah ibadah bukan?”, Benji menambahkan.
WellJew, welcome in Wonderland.”, sahutku pasrah.
Come on, Prof. biasa ajalah. Bukankah negara anda menjamin kebebasan beragama bagi warganya dan kebebasan menjalankan ibadah agama mereka?”, kata Benji.
Hehe...speechless.”, Aline Van Gobus terbahak.
Jadi anda lulusanS3 Sosiologi dari Yale, dan sekarang bekerja di lembaga penelitian milik pemerintah Israel?”, aku mengalihkan topik.
Iya, saya tertarik meneliti tentang pengaruh internet terhadap perubahan pola pikir masyarakat desa itu.”
Saya bisa mengantar anda kesana. Tapi sekedar informasi, penduduk desa itu bisa dibilang hampir semua muslim. Anda tahu, isu Yahudi dan Israel sangat sensitif sekali.Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka tahu anda seorang Yahudi Israel.”
Memangnya kenafa kalo saya Yahudi Israel? Ada yang salah, Prof?”
Benji, please. Televisi dan internet sudah beberapa tahun masuk ke desa itu. Kau tau berita apa yang sering mereka lihat tiap hari? Pembunuhan muslim Palestina oleh tentara Israel.”, sahut Aline.
Tapi aku bukan pembunuh, Aline! Aku peneliti, ilmuwan.Aku bukan Zionist!”
Mereka tidak mau tahu itu, Ben. Yang mereka tahu hanya satu, kau Yahudi, dan kau berasal dari Israel.Jelas?”
Tapi aku bukan pembunuh umat muslim, Aline! Aku ilmuwan! Aku penganut Yahudi yang anti Zionist..”
Oke, enough guys! Aku yakin mereka tidak terlalu peduli dengan berita holocaust muslim Gaza yang kalian debatkan. Karena mereka mungkin tidak pernah menontonnya.”
Maksud Prof mereka tidak suka nonton tivi?”, Benji terlihat bingung.
Oh, tidak Ben. Justru sebaliknya, mereka sangaaat hobi menonton tivi dan mengakses internet.Tapi aku yakin yang mereka tonton setiap hari adalah sinetron dan berita gosip selebritis tanah air, dan yang mereka lihat setiap saat di internet adalah gambar dan video porno yang sangat mudah diakses.”
“ ………… “
*****
Malam itu aku tak bisa tidur.Pertemuanku dengan Aline dan Benjamin tadi siang memercikkan kembali kenangan masa lalu. Aline Van Gobuz , wanita berdarah kompeni dengan tinggi 168 dan berat 58 itu betul-betul menggelitik otak kananku.Geli.
Aku beristigfar.Disampingku terlelap istriku yang biasa kusapa Umi. Maryam Bachdim, wanita berdarah Arab dengan hidung bangirnya yang entah kenapa membuatku begitu tergila-gila. Membayangkan senyuman Aline saja telah membuatku merasa berdosa terhadap wanita Arab yang telah menemani hidupku selama 22 tahun dan memberiku empat anak ini.
Aku ingat, tadi siang Aline bercerita tentang awal perkenalannya dengan Benji.Mereka kenal lewat Facebook, lalu merambah ke Twitter, dan saling curhat lewat blog masing-masing. Aku rasa tentu hubungan mereka tambah akrab sekarang, karena Aline berani mengambil resiko meloloskan seorang warga Israel ke Indonesia. Ach, rasanya mudah sekali untuk jatuh cinta di era digital ini, tinggal buka Facebooknya,saling memfollow di Twitter,dan selanjutnya tukaran nomer hape. Hasil lebih penting dibanding proses, bukan?
Jadi ingat, pertama kali mengenal Maryam. Aku bersahabat dengan Helmi Bachdim, sepupu Maryam yang kebetulan rekan sesama dosen dikampus tempatku mengajar. Helmi yang prihatin melihat usiaku sudah 34 dan belum menikah, berinisiatif menjodohkanku dengan sepupunya, Maryam, yang kala itu sudah berusia 32.Aku yang selalu kikuk berhadapan dengan wanita, merasa mati kutu berhadapan dengan gadis Arab bertubuh bongsor itu ketika pertama kali kerumahnya, itupun ditemani Helmi.Kalau jadi salesman, barangkali aku bahkan tidak bisa menjual pelampung kepada orang yang nyaris tenggelam.
Lama-kelamaan, mulai timbul keberanian dalam diriku.Aku mulai merasa menjadi seorang pria sejati.Aku memberanikan diri pergi sendirian kerumah Maryam tanpa ditemani Helmi.Meskipun aku masih gemetaran berhadapan dan berbicara dengan Ustad Ali Bachdim, ayah Maryam.Kopi pahit tanpa gula, minuman kesukaan ayahmertuaku itu.Dengan perawakan yang tinggi besar dan janggut lebat serta tatapan mata tajam khas Timur Tengah, wajar jika aku langsung menciut berhadapan dengannya.
Hubunganku dengan Maryam sempat ditentang ibuku.Beliau ingin aku mencari istri seorang wanita Jawa yang usianya paling tidak sepuluh tahun dibawahku, dengan perangai yang halus dan keibuan, taat pada suami.Aku pikir, memangnya cuma wanita Jawa saja yang bisa seperti itu?hingga akhirnya aku bisa meyakinkan Ibu agar mau menerima Maryam sebagai menantunya.Tapi itulah proses. Tidak instan, dan butuh waktu.Bahkan untuk membuat kopi instan pun dibutuhkan penelitian yang tidak instan. Tapi bukankah kita akan lebih menghargai sesuatu yang kita peroleh dengan susah payah ketimbang sesuatu yang bisa kita dapatkan dengan mudahnya? Aku melirik Maryam yang terlelap disampingku, dan rasa kantuk pun menyergapku.
***

Sok tahu, itulah kata yang paling tepat ditujukan padaku .Ternyata prediksiku keliru.Entah siapa yang menghembuskannya, tiba-tiba warga Desa Tanjung Tungau heboh.Mereka tahu Benji seorang Yahudi.Bahkan anak muda di desa itu beramai-ramai memeriksa dan menahan paspornya, serta menginterogasi kami.
Hai, Yahudi Laknatullah! Mau apa kau ke desa kami? Kamu intel Israel ya? Ayo jawab!”, Syaugi berteriak lantang.
Tolong dengarkan saya…”
Alah, dasar kafir! Keluar kau dari desa ini !”
Syaugi, tenang lah. Jangan main tuduh sembarangan..”, Aku berusaha menengahi.
Prof. Tampoy, anda muslim bukan? Kenapa anda bekerjasama dengan musuh kita?Anda ingin menghancurkan Islam dari dalam?”
Syaugi, jangan menuduhku sembarangan.”, emosiku mulai tinggi.
Sudahlah Prof, jangan munafik. Bukankah Allah telah mengingatkan kita bahwa Yahudi dan Nasrani itu musuh kita yang paling nyata?Kenapa anda justru berteman dengan kaum laknat pembantai saudara-saudara kita di Gaza? Berapa anda dibayar sama Askadot?”
Brengsek kau, Syaugi! Apakah sesempit itu pemikiranmu sebagai mahasiswa?Apa kau tidak bisa membedakan antara penganut Yahudi dan Zionist? Mereka berbeda, Gi. Kau tahu, di negaranya, Benji dan teman-temannya sering mendemo pemerintah Israel agar berhenti membunuh muslim Gaza, berhenti membangun pemukiman Yahudi di Palestina, dan..”
Oh, jadi sekarang Profesor malah membela mereka? Bagus.Prof, saya tidak peduli Askadot ini Zionist atau bukan.Yang saya dan semua penduduk desa ini tahu, dia seorang Yahudi dan dia berasal dari Israel.Titik.”
Kau tau, dengan reaksimu yang seperti itu, berarti sama saja kau dengan tentara Israel yang biadab itu. Mereka telah lama kehilangan sesuatu yang membuat mereka layak disebut sebagai manusia, yaitu rasa kemanusiaan itu sendiri.Dan sekarang kau ingin menghasut warga desa ini agar menghakimi kami beramai-ramai? Perbuatanmu telah mengotori ajaran Islam yang menghormati umat lain.”
Syaugi terdiam.Wajahnya merah padam.
Syauki, saya tidak salah. Jangan samakan saya dengan pemerintah kami yang biadab. Sayapun bisa masuk ke Indonesia dengan mudah karena ulah oknum aparat kalian yang mau meloloskan saya dengan imbalan uang.”, Benji berusaha menjelaskan.
Akhirnya, Syaugi dan beberapa pemuda desa itu pergi meninggalkan kami berdua.Aku ingat, sewaktu mengambil S3 di NUS dulu, dalam sebuah kelas hanya aku satu-satunya yang berasal dari Indonesia. Diantara 5 orang lainnya dalam kelas itu, 2 merupakan warga asli Singapura, 1 dari Vietnam, 1 dari Australia, dan 1 lagi seorang wanita dari Cina. Dan materi yang kami bahas hari itu adalah mengenai budaya korupsi di Indonesia.Reflek, aku menunduk malu dan rasanya ingin segera kabur dari kelas.
Ajaib,tidak satupun dari mereka menatapku sambil mengolok-olokku atau menuduhku sebagai bagian dari budaya korupsi itu. Mereka semua tetap fokus pada materi yang dibahas.Mereka mampu menunjukkan kedewasaan berpikir.Satu lagi pelajaran penting yang kudapat hari itu.
***
Prof. Tampoy dan Pak Benjamin, saya mohon besok pagi anda berdua segera meninggalkan desa ini. Penduduk desa akan melaporkan anda berdua ke polisi.”, Pak Ustad mengingatkan kami.
Afasalah kami, Pak Ustad? Saya bukan Zionist.”, Benji berusaha menjelaskan.
Sudahlah Ben, tidak ada gunanya. Mereka tidak peduli dengan perbedaan itu.”
Tapi, Prof…”
Aku mengacuhkannya.
Pak Ustad, bukankah Islam itu ajaran yang rahmatan lil alamin? Rahmat bagi semesta ini? Bagi semua umat diluar Islam?”,tanya Benji.
Pak Ustad mengiyakan.
Benji bertanya,” Pak Ustad, setahu saya Nabi Muhammad sangat mengayomi umat Yahudi dan Nasrani sewaktu beliau menjadi Rasul?”
Benar, Pak Ben.”
kenapa umat Islam saat ini tidak mencontoh apa yang dilakukan Nabi mereka? Pak Ustad, saya sangat mengagumi ajaran Islam meskipun pemerintah negara saya membenci kalian. Ajaran Islam sangat indah.Tapi kenapa umat Islam, terutama di Indonesia dan di Timur Tengah, kehidupannya sangat jauh dari ajaran Islam?Apa yang salah dengan kalian?”
Pak Ustad terdiam.Kiranya terkejut mendengar pertanyaan yang baru kali itu didengarnya.
Aku jadi ingat sebuah anekdot tajam yang menyebutkan, disaat orang-orang di Barat sana telah lama meninggalkan Tuhan mereka, umat Islam di negeri ini justru telah ditinggalkan oleh Tuhan mereka. Miris.
Di perjalanan pulang, Benjamin Askadot bercerita bahwa dia melihat perbedaan mencolok antara makna pemakaian jilbab bagi para muslimah di Palestina dan di Indonesia.Jika para muslimah di Palestina rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan jilbab mereka dari rampasan dan pelecehan tentara Israel, maka muslimah di negeri ini memaknai jilbab hanya sebagai trend semata, bahkan melihatnya sebagai peluang bisnis. Masya Allah.
Aku mengatakan kepada Benji, jika Iran yang telah puluhan tahun diembargo oleh Amerika Serikat saja mampu menerbangkan seekor monyet ke luar angkasa,pemerintah Indonesia yang bersahabat erat dengan pemerintah Amerika Serikat ini bahkan kewalahan mempertahankan permainan khas topeng monyet ditengah gencarnya arus modernisasi dan globalisasi yang melanda negeri ini.Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat permainan rakyat itu akan diakui oleh Malaysia.Alangkah lucunya negeri ini. Aach..

Pontianak, 09072011






CERPEN: SAJADAH MERAH

$
0
0
Sajadah Merah

Vivi Al-Hinduan



Ia  menatap Sang Saka itu, lama sekali. Warnanya mulai memudar. Bendera yang hanya dikibarkannya setahun sekali, setiap tanggal tujuh belas Agustus. Ia mengingat kembali semua kejadian yang telah menimpanya. Mulai dari suaminya yang ditangkap polisi karena mencuri kambing tetangga, perlakuan seorang dokter di rumah sakit milik pemerintah yang sewenang-wenang, hingga permintaan putri bungsunya yang tak mampu Ia penuhi. Warna merah bendera itu seolah mengingatkannya akan darah orang-orang yang senasib dengannya, yang tumpah membanjiri negeri ini dari Poso hingga Papua. Ia tak tahan melihat warna merah itu. Cukup sudah. Tidak boleh lagi ada darah yang tumpah sia-sia, batinnya.

Dia lalu mencium bendera itu untuk terakhir kalinya. Warna merah itu kini tak lagi garang. Tapi hanya menjadi pecundang, seperti kelakuan pembesar di negeri yang kini sudah kehilangan wibawa sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Dan warna putihnya tak lagi suci. Karena kesucian bendera itu tak membekas sedikitpun di benak para petinggi negeri ini. Mereka yang tak pernah kenyang menjarah negeri.

Satu-persatu rentetan kisah kembali telintas di benaknya. Dimulai  ketika enam bulan yang lalu, suaminya diciduk petugas kepolisian, tepat ketika mereka sedang menyantap gulai kambing buatannya, untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-32.
“Maaf, suami anda kami tahan karena terbukti mencuri kambing Pak Haji Imron. Pak Haji telah melapor kemarin pagi. Dan tadi pagi, tiga orang teman suami anda sudah kami tahan.”

Pasrah. Hanya itu yang bisa Ia lakukan. Sejak suaminya di-PHK sebulan yang lalu, Danang-suaminya-lebih sering berkumpul dengan teman-teman lamanya, dari pagi hingga menjelang Maghrib. Kadang mereka hanya berjudi di pos ronda. Ia ingat, menjelang hari ulang tahunnya, Danang pernah berkata kepadanya,

“Mar, aku ingin makan gulai kambing buatanmu, sekalian kita merayakan hari ulang tahunmu lusa. Sudah lama aku ndak pernah makan gulai kambing buatanmu.”
“Uangnya dari mana, Mas? Kita ini orang susah. Bisa makan daging kambing jatah pembagian kurban setahun sekali saja sudah syukur.”
“Itu ndak usah kamu pikirkan. Kamu mau ndak?”
“Ya maulah. Tapi duitnya dari mana?”
“Sudah, kamu tenang saja. Ndak usah mikirin itu. Itu urusanku.”
“ Tapi, Mas…”
****
“Marni, suamimu divonis tiga tahun, tha?”
“ Iya, Mbak. Aku ndak ada kerja. Aku bingung bagaimana membiayai sekolahnya Dita dan Dito. Belum lagi buat makan dan bayar listrik. Aku..boleh pinjam uang lagi ndak, Mbak? ”
“Pinjam uang? Berapa?”
“Ehm..tiga ratus ribu saja. Itu juga kalau Mbak Narti ndak keberatan.”
“Buat apa lagi, Mar? kemarin sudah kupinjami lima ratus ribu tha?”
“Itu sudah habis buat beli beras dan mi instan. Yang ini buat biaya pengobatan Dito, Mbak.”
“Emang anakmu kenapa? ”
“Dia dirawat di klinik swasta dekat rumahku, Mbak. Tukang becak yang nganterin. Dia ditabrak lari.”
“Ya Allah..”
“Iya, Mbak. Namanya juga anak-anak. Dito nyebrang sembarangan waktu pulang sekolah. Katanya ditabrak motor, trus penabraknya langsung kabur.”
“Ampun, Gusti. Lukanya parah ndak?”
“ Tangannya patah. Dipasang pin atau apa gitu. Ndak ngerti juga aku. Tiga ratus ribu rupiah.”
“Bukannya bisa pake surat keterangan miskin?”
Ia  menghela nafas. Berat sekali.
Terlintas sejenak kejadian pahit di ruang direktur sebuah klinik swasta megah di dekat rumahnya itu, ketika Dokter Irwan yang berperawakan tambun itu menertawai keluguannya.
“Masak cuma tiga ratus ribu rupiah saja Ibu tidak punya uang? ”
“Maaf, Dok. Saya pikir biayanya gratis.”
Marni mengeluarkan surat keterangan miskin dari ketua RT nya. Dokter Irwan tertawa mengejek.
“Bu, maaf ya, klinik saya ini tidak menerima surat miskin, BPJS, atau apalah namanya. Ibu tahu, kemarin ada yang mengantarkan lelaki tua miskin tanpa identitas jelas, langsung kami tolak. Siapa yang mau menanggung biayanya? Pemerintah?”
Marni terdiam.
“Asal Ibu tahu saja, klinik saya ini adalah bagian dari industri kesehatan, Bu. Saya ulangi, industri. Ibu mengerti industri? “
Marni menggeleng.
“Industri adalah tempat mencari untung. Dan saya sebagai pemilik klinik ini mati-matian berjuang menghidupi perawat dan dokter yang bekerja di sini. Salah satunya dari uang para pasien yang dirawat di sini. Kenapa? Karena semakin banyak pasien yang sakit, semakin lama mereka menginap di sini, maka klinik kami semakin untung. Tapi kalau pasiennya seperti anak Ibu itu, otomatis pendapatan kami berkurang. Sementara biaya operasional yang kami keluarkan sangat besar. Ibu mengerti sekarang?”
“Saya pikir para dokter adalah manusia-manusia berhati mulia.”, ujar Marni terbata.
Dokter Irwan terbahak-bahak. Perutnya yang tambun berguncang. Di televisi, berita nasional menayangkan para dokter di seluruh Indonesia yang sedang berdemo menuntut pembebasan rekannya yang dipenjara karena diduga melakukan malpraktik.
“Coba Ibu bayangkan, saya ini kuliah delapan tahun loh. Kalau di jurusan sosial, saya ini sudah Strata 2. Orangtua saya habis ratusan juta rupiah buat membiayai kuliah saya sampai tamat, demi sebuah kebanggaan. Siapa yang tidak bangga punya anak yang menjadi dokter? Dan saya harus minjam uang di bank untuk biaya mendirikan klinik ini.”
”Tolonglah, Dok. Saya mohon…”
“Mmm..baiklah. saya ijinkan putra Ibu menginap semalam di sini. Pokoknya besok uangnya sudah harus ada. Saya tidak mau tahu.”
“Terima kasih, Dok.”
****
Marni duduk termenung di kasurnya. Sayup-sayup didengarnya suara kecil Dita sedang membaca ayat suci Al-Qur’an. Marni beranjak dari duduknya dan menghampiri kamar Dita.
“ Subhanallah! Anak Ibu sudah pintar mengaji. “
Dita tersenyum dan mengkhatamkan bacaannya. Ia menghampiri Marni.
 “Bu, Senin depan Dita ada praktek sholat di sekolah. Bu Guru bilang, masing-masing anak harus bawa mukena dan sajadah dari rumah. Tidak boleh pinjam sama teman. Untung Dita masih punya mukena lama, cuma sajadah saja yang tidak ada.“
“Nanti Ibu pinjamkan sama Bu Gino sebelah ya.”
“Dita mau yang baru, Bu. Warna merah ya?”
Duh, Gusti. Aku dapat duit dari mana? Batin Marni.
***
 “Mar..Marni, tunggu! “
Marni menoleh. Mbak Narti berlari kecil mendekatinya.
“Kamu dari mana, Mar?”
“Belanja, Mbak. Beli beras.”
“Eh, kamu mau ndak kerja sama aku?”
“Kerja di hotel?”
“Iya. Kebetulan bos ku lagi cari orang.”
“Buat apa, Mbak?”


“Ya buat kerja, tha.”
“Kerja apa, Mbak?”
“Udah, ndak usah banyak nanya. Kamu mau duit yang banyak, ndak? Biar bisa bayar hutang. Biar bisa beli beras. Biar bisa bawa anak-anakmu jalan-jalan ke mall. Mau tha?“
Marni mengangguk.
“Pokoknya habis Maghrib nanti kamu dandan yang cantik ya. Nanti aku jemput.”

Mbak Narti berlalu meninggalkan Marni. Marni kagum dengan Mbak Narti. Sejak bercerai dari suaminya, Mbak Narti kerja di hotel. Setiap habis maghrib, Mbak Narti sudah turun bekerja dan baru pulang menjelang Subuh. Kerja apa ya dia? Mungkin jadi cleaning server di sana. Tapi kok duitnya banyak amat ya? Batin Marni.
****
Marni lantas mengambil gunting di atas lemari pakaian dan mulai menggunting bendera itu. Ia melipat bagian yang berwarna putih, dan memasukkannya kembali ke dalam lemari. Lalu kain yang berwarna merah ia bawa ke luar kamar, menuju kamar Dita. Dita sedang bermain di surau bersama anak-anak tetangga. Diam-diam Marni memasukkan bagian bendera yang berwarna merah ke dalam tas Dita.

Dari kejauhan terdengar senandung adzan Mahgrib. Marni bergegas kembali ke kamarnya dan sibuk memilih pakaian untuk dikenakannya nanti. Ia tak mau mengecewakan Mbak Narti. Ia ingin tampil dengan pakaian terindah di hari pertamanya bekerja di hotel itu.
Pontianak, 5 Maret 2014

Pemakaman Muslim Gang Meliau, Makam Kerabat Kesultanan Pontianak

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Makam atau kuburan merupakan suatu bentuk identitas bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu. Dari makam, kita bisa mengetahui alur cerita , susur galur atau silsilah bagi yang bersangkutan ( almarhum ). Batu nisan yang ada di kuburan dapat melambangkan suatu bentuk peradaban dari masa ke masa.

Makam Muslim Kampung Melayu  Gang Meliau ( sekarang Jalan Meliau ) di Jalan Tanjungpura, Pontianak, konon merupakan salah satu makam tertua di Pontianak setelah Makam Kesultanan Batulayang.  Di Gang Meliau pun banyak terdapat makam anak cucu Sultan Abdurrahman Al-Qadri, pendiri Kota Pontianak, khususnya dari jalur putra beliau, Sultan Usman Al-Qadri.
sumber: pontianak heritage

Paman penulis, Ir. Abdussalam bin Alwi Mazwar Alhinduan, MBA, pada Ahad 8 Oktober 2000, bersama kakak beliau, RSA. Bambang Priyanto Alhinduan, telah melakukan pendataan langsung di lokasi makam dengan meneliti bukti-bukti otentik berupa catatan sejarah yang terukir pada batu nisan di pemakaman tersebut, seperti identitas dan bentuk batu nisan, dan tulisan kaligrafi yang menerangkan tarikh wafat atau meninggalnya seseorang.

Mereka meneliti makam-makam tua yang mempunyai tulisan yang bisa  dibaca secara jelas, karena banyak sekali makam-makam yang tidak terdapat nama di nisannya sehingga sangat menyulitkan bagi para sanak keluarga yang berziarah ke Pemakaman Muslim Gang Meliau. Data yang tertera pada nisan tersebut berupa kaligrafi (qhad) Arab-Melayu yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai bunyi aslinya. Berikut sebagian nama yang dimakamkan disana, yang penulis kutip dari makalah Ir. Abdussalam Alhinduan, MBA yang berjudul Selayang Pandang Makam Muslim Kampong Melayu Gang Meliau, sebagai berikut :

Pada Tarikh Sanah 1306 Pada 28 Bulan Rejab Hari Ahad Pukul 9, di Luas inilah waktunya SYARIF MUHAMMAD BIN SYARIF ALI ALHINDUAN kembali ke Rahmatullah ( 124 Tahun lalu ).

SYARIFAH MARYAM BINTI ALWI ASSEGAF (BERGELAR RATU SEBERANG) Wafat 24 Sawwal 1384 H (46 Tahun Lalu ). Beliau merupakan salah satu Permaisuri Sultan Muhammad Al-Qadri.

Pada Tarikh Sanah 1310 kepada 27 hari Bulan Shafar Hari Jumat Waktu jam Pukul 9 pagi di Luas inilah SYARIF AHMAD BIN PANGERAN TEMENGGUNG SYARIF ABUBAKAR ALQADRI  kembali ke Rahmatullahi Ta’ala daripada negeri yang fana ke negeri yang baqa. Innalillahi… ( 120 Tahun Lalu ).

Dengan Takdir Allah telah mangkat meninggalkan Negeri yang Fana ke Negeri yang Baqa Almarhumah SYARIFAH THALHAH ALQADRI SERI PADUKA YANG MAHA MULIA MAHA RATU BESAR KERAJAAN PONTIANAK pada jam Setengah 6 Pagi , Ahad, Jumadil Akhir Sanah1326.(104 Tahun Lalu). Beliau merupakan Istri Pertama Sultan Muhammad bin yusuf Al-Qadri, sultan Pontianak ke-6. Ayahnya bernama Hb. Saleh bin Muhammad Al-Qadri (bergelar Pangeran Jaya) cucu Sultan Usman bin Abdurrahman Al-Qadri.

Pada Hari selasa tanggal 3 Rabiul Awwal Sanah 1370 bersamaan  13 September 1950 jam 11.45, kembali ke Rahmatullahi Ta’ala SYARIF ABDURRAHMAN BIN MUHAMMAD ALHINDUAN (60 Tahun lalu). Habib Abdurrahman Al-Hinduan merupakan Guru Tareqat Qadariah Naqsabandiyah yang mempunyai murid tersebar di Pontianak, Kakap, Tanjung Saleh, Teluk Pakedai hingga sepok Laut. Beliau merupakan ipar dari Syarifah Thalhah, Permaisuri Pertama sultan Muhammad Al-Qadri, dan juga merupakan tabib (dokter) nya Sultan Muhammad Al-Qadri.

Selain mereka juga dimakamkan beberapa kerabat Kesultanan Pontianak lain seperti Sy. Alwi bin Muhammad Al-Qadri (bergelar Pangeran Jaya) mertua Hb. Abdurrahman Hinduan dari istri pertama beliau Sofia binti Alwi.  Syarifah Sofia merupakan sepupu Syarifah Thalhah Al-Qadri.

Di Pemakaman Gang meliau juga terdapat makam Hb. Ahmad bin Husein Al-Qadri (Tok Amad Ende) guru Habib Abdurrahman Hinduan yang berasal dari ende, NTT. Selain itu juga terdapat makam Syarif Ali bin Sultan Hamid I  Al-Qadri (gelar Pangeran Putra) yang nisannya bersebelahan dengan putra Hb. Abdurrahman Hinduan, yaitu Hb. Hamid Alhinduan.

Habib Hamid menikah dengan Maimunah binti Syarif Abubakar bin Pangeran Arya. Pangeran Putra merupakan kakek Maimunah dari pihak ibu. Tentu perlu diteliti lebih lanjut, kenapa banyak kerabat Kesultanan Pontianak yang dimakamkan di Gang Meliau, bukan di Batulayang? Apakah karena mereka yang dimakamkan disana mempunyai hubungan kekerabatan dengan Habib Abdurrahman Alhinduan?

KONDISI GANG MELIAU SAAT INI

sumber: pontianak heritage
Makam bersejarah Gang Meliau saat ini kondisinya sungguh memprihatinkan, terutama di musim hujan. Selain itu hampir semua nisan-nisan disana  tidak terdapat nama orang yang dimakamkan disana, terutama dalam huruf Latin. Seperti yang dialami sendiri oleh penulis ketika berziarah kesana beberapa waktu lalu bersama  seorang teman.

Letak Makam Gang Meliau yang di belakangnya terdapat rumah penduduk juga menyebabkan terkadang limbah rumah tangga merembet ke makam. Hal ini diperparah dengan adanya Tempat Pembunngan Sampah Umum yang terletak tepat di depan makam.

Mengingat begitu berharganya Pemakaman Muslim Gang Meliau sebagai salah satu warisan bersejarah Kota Pontianak, penulis sangat berharap kepada Pihak Pemerintah Kota Pontianak dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melaui Dinas Pariwisata, agar dapat memerhatikan Pemakaman Muslim gang meliau dan jika perlu menjadikannya Kawasan Wisata Religius Kota Pontianak seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya dalam menjaga kelestarian Kawasan Pemakaman Sunan Ampel, Surabaya. Semoga masyarakat Pontianak, khususnya generasi muda semakin mengenal Pemakaman Muslim Gang Meliau, Makam Kerabat Kesultanan Pontianak.

*) Telah dimuat di KOLOM ZIARAH MAJALAH ALKISAH NO.23/ 15-28 NOVEMBER 2010 

CERPEN: CERITERA DARI NEGERI REMAH-REMAH ROTI

$
0
0


Ceritera Dari Negeri Remah-Remah Roti
Vivi Al-Hinduan

Und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein
Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan.
( Friedrich Schiller 1723-96)


Aku bebas berkelana ke segenap pelosok negeri di bumi ini. Seperti udara, aku berhembus. Laksana burung, aku mengepak. Suatu ketika, Embun membisiku untuk pergi ke sebuah negeri tanpa malam. Negeri yang lahir dari nyanyian lara dan sastra yang menggigil. “Dahulu, negeri itu pernah punya malam yang panjang,” bisik Embun kepadaku, “tapi malam hanya menghadirkan kelam. Kelam yang dalam dan panjang, sedalam jeritan anak-anak perempuan yang dipaksa menyerahkan keperawanan mereka kepada ayah-ayah kandung mereka sendiri. Itu terjadi hampir setiap malam di seluruh penjuru negeri itu. Hingga akhirnya, demi memoles kembali citranya yang telah rusak di mata rakyat, pejabat tertinggi di negeri itu mengusir malam dari negeri mereka untuk selamanya.”
*****
Di negeri tanpa malam itu, siang terasa begitu gersang. Segersang suara penyanyi dangdut yang baru saja usai menyanyi di hadapan penonton. Lalu terdengar seorang pria berperut buncit sedang berorasi di tengah panggung. Beberapa orang berjubel di bawah panggung. Sebagian pemuda terlihat setengah mabuk, mungkin habis menenggak bir usai suguhan musik dangdut dengan iringan penari yang mampu membuat pikiranmu melayang. Sejenak melupakan tangan-tangan kemiskinan yang mencekik lehermu.
Si bapak berperut buncit itu berbicara lantang dengan pengeras suara, “Bapak dan Ibu sekalian, jangan lupa untuk memilih saya sebagai wakil anda. Saya berjanji akan lantang menyuarakan keinginan anda semua. Saya akan membangun waduk raksasa untuk mengairi sawah-sawah kalian. Itu janji saya jika anda memilih saya di pemilihan legislatif nanti. Jangan lupa mencoblos nama dan partai saya, ya.”
Lalu si bapak tadi memanggil dua orang pengawalnya, “Ayo, cepat! Bagikan duitnya. Mumpung tidak ada pengawas dan wartawan.”
Aku menyaksikan semua itu dengan tergagu. Begitu mudahnya mengobral janji di negeri ini. Lalu tiba-tiba, seseorang membisikkan sesuatu di telinga si bapak pengobral janji itu. Aku bisa mendengar bisikan itu, “Pak, desa mereka kan tidak punya sawah. Buat apa Bapak membangun waduk?” dengan tenang si bapak berkata, “Tenang saja, kalau perlu sawahnya saya bikinkan sekalian. Hahahaha…”
Dan aku pun berlalu dari tempat itu.
****
Tujuanku berikutnya ke tepi laut. Di mana para nelayan, bagian paling miskin dari penduduk negeri ini, sibuk mencari ikan di laut mereka. Dengan kapal yang sederhana, mereka harus bersaing dengan kapal-kapal berbendera asing yang dilengkapi peralatan canggih. Lalu aku mendengar suara dua bocah di tepi dermaga yang berteriak kagum memandang kapal-kapal berbendera asing itu.
“Lihat, Kei! Itu kapal Thailand, ya? Hebat sekali pukat raksasa mereka itu, ya? Sekali menebar pukat, bisa dapat ribuan ikan. Kapal kita mana ada yang bisa seperti itu. Kena badai saja karam. Payah!”
“Alah, itu belum seberapa. Itu, lihat! Yang besar dan megah itu kapal berbendera Jepang. Kamu tahu, Nai, di dalam kapal itu dilengkapi dengan pabrik pengolahan ikan. Setelah mereka menjarah ikan-ikan kita, mereka langsung memrosesnya di dalam kapal yang sama, dan menjualnya kembali dalam bentuk kalengan kepada rakyat kita. Hebat, kan?”
Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba kudengar Matahari berkata lirih, “Negeri ini ibarat sebuah roti manis yang dikerubungi semut-semut asing. Semut-semut itu menguras habis isi roti tersebut, nyaris tak bersisa. Kepada rakyat yang lapar hanya tersisa remah-remah roti. Itupun, terkadang, harus didapat dengan mencuri.”
****
Di sebuah gubuk kecil di pinggir rel kereta api, aku menuju. Aku melihat puluhan anak kecil duduk rapi di atas lantai, beralaskan tikar. Beberapa pemuda, lelaki dan perempuan, tampaknya sedang mengajar di depan. Anak-anak itu sibuk menggambar di buku gambar masing-masing. Lalu seorang pria mendekati seorang anak lelaki yang duduk di pojok kiri depan.
“Adi sedang menggambar apa?” tanya si pria.
“Mobil, Kak,” jawab si anak. Ia memperlihatkan gambar sebuah sedan berwarna biru tua.
“Oh, Adi kalau sudah besar pengin jadi pembalap ya, kayak Moreno Suprapto?”
Si anak menggeleng.
“Terus, apa dong? Oh, Kakak tahu. Pasti Adi pengin jadi pengusaha mobil ya?”
Si anak tetap menggeleng. Akhirnya ia berkata. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar, “Ayah Adi seorang buruh bangunan, Kak. Ayah nggak punya seragam. Adi pengin jadi supir taksi biar tiap hari bawa mobil sambil pake seragam yang bagus.”
Mendadak seisi ruang pengap itu senyap. Lalu suara pun melenyap. Aku bergegas keluar. Aku kembali mengembara di negeri yang berdebu ini. Tapi di sana-sini, yang kutemui hanya airmata yang bergelayut pada senja. Di desa-desa, kutemui para petani yang menangisi kedelainya dan berasnya dan jagungnya yang membusuk, karena pemerintahnya lebih menyukai segala sesuatu yang berasal dari luar negeri.
****
“Angin, kau sudah menyaksikan hampir semua sisi wajah negeri ini,” ucap Hujan. “Tapi sudahkah kau berkelana ke bagian negeri ini yang tertutup kabut asap? Pergi dan dengarlah jeritan rakyat negeri ini di balik pekatnya kabut asap yang menyelimuti mereka.”
Lalu aku berhembus ke sana. Aku melihat jutaan hektar lahan di sana tertutup kabut asap. Bukan. Itu bukan kehendak Tuhan. Tidak mungkin Tuhan tega mengirim bencana yang sama terus-menerus selama empat belas tahun. Aku berusaha menembus pekatnya kabut. Dan tibalah aku di sebuah rumah. Kulihat, puluhan orang berkumpul di rumah itu. Wajah mereka tidak sepenuhnya terlihat, hanya mata mereka yang menyalang. Tak ada airmata di sana. Barangkali sudah terlampau lelah mereka menangis. Di dalam rumah, aku menyaksikan seorang perempuan yang tak henti menangisi seorang bocah di hadapannya yang terbungkus kafan. Lalu kudengar, perempuan lain berbisik ke perempuan berjilbab biru di sampingnya, “Kasihan, ya? Baru tiga hari yang lalu ia melahirkan bayinya. Kini bayi itu sudah meninggal akibat tidak kuat menghidu asap hasil pembakaran lahan kelapa sawit.”
Si perempuan berjilbab biru menyahut, “Kemarin anakku pergi ke kantor pos. Dia mengirim surat buat presiden kita. Semoga beliau berkenan datang ke mari.”
“Suamiku mengajak kami naik bis ke kota lain,” kata perempuan berbaju putih di sampingnya. “Besok kami sekeluarga berangkat. Kami akan kembali jika bencana ini sudah mereda.”
Aku terbang. Aku tak ingin larut dalam kesedihan. Di awan, aku bertemu Elang. Ia  menyarankanku untuk tamasya ke bagian tengah negeri ini. “Kalau kau ingin melihat darah yang tumpah sia-sia dan jutaan nyawa yang tak berharga, pergilah ke sana,” ujarnya.
Dan aku menuju ke tanah itu. Di sana, aku menuju ke sebuah masjid yang dikepung orang-orang berseragam dan bersepatu lars. Mereka berjumlah lima orang, semua memakai penutup muka. Mereka berdiri mengitari di luar masjid, sedang mengarahkan senapan ke arah seorang pria yang sedang sholat. Baru saja pria itu selesai sholat, seorang di antara pria bertopeng berteriak, “Tembak saja dia!”
“Sabar. Kita dengarkan permintaan terakhirnya,” ujar temannya.
“Alah! Buat apa pakai permintaan terakhir segala? Kayak terpidana mati saja.”
“Suami saya bukan teroris!”, seorang wanita berlari ke arah masjid.
“Siapa lagi itu? Mengganggu saja.”
“Tembak saja sekalian, Dan.”
Si wanita duduk bersimpuh dan memegang kedua kaki lelaki yang dipanggil ‘Dan’ tadi. sepertinya dia pemimpinnya.
“Saya mohon. Tolong jangan tembak suami saya. Dia bukan teroris. Dia tidak pernah membunuh orang seumur hidupnya. Dia cuma seorang muslim biasa. Anak kami masih kecil. Saya mohon..”
Sebuah sepatu lars melayang ke perut si wanita yang membuncit. Ia terduduk. Setetes darah membasahi gamis hitamnya.
Tiba-tiba, pria itu berkata lantang, “Silahkan kalau kalian mau menembak saya, saya pasrah. Tapi saya punya satu saja permintaan terakhir sebelum menghadap Allah.”
“Ayo, cepat katakan!” bentak seorang bertubuh tambun.
“Kalian lihat di depan masjid ini ada tiang bendera? Saya ingin memberi penghormatan terakhir kepada bangsa ini sebelum..”
Dor! terdengar bunyi letusan mengenai dinding masjid tua itu. Beberapa keeping semennya berhamburan. Sebuah lubang besar menganga rakus.
“Hei, sabar! biarkan dia memberi penghormatan terakhirnya.”
Dengan diseret lima pria kekar itu, si pria dihempaskan di depan tiang bendera. Petang mengganas. Bumi meranggas. Ia berdiri tegak dan gagah. Tangannya berada di sisi kanan keningnya. Menghadap ke bendera negaranya yang berkibar, ia menyanyi pelan. Suaranya parau dan bergetar. Airmata menetes di pipinya.
Indonesia tanah airku/ tanah tumpah darahku/ di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku/ Indonesia…
Dor!
Dan darah pun tumpah di tanah itu.
*****
Di kafe sebuah hotel bintang lima di ibukota negeri itu, kudengar dua orang pria tengah berbincang. Aku mendekat. Aku berputar-putar di antara kepulan asap.
“Kekuasaan itu seperti candu, Bung. Begitu memabukkan hingga kita tak berani melepaskannya,” kata seorang pria setengah baya sambil menghisap cerutu impornya.Di hadapannya, seorang elaki yang dipanggil “Bung” sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Usianya kira-kira separuh usia si pria setengah baya.
“Nah, beres, Pak,” ujarnya, “fan pageFacebook Bapak, Twitter, Laman, semua lengkap.”
“Bagus.Nggak sia-sia saya bayar you mahal. Sekarang tinggal you aturlah. Promosikan saya sebaik mungkin, oke? Jangan lupa, citrakan saya sebagai calon wakil rakyat yang senang blusukan ke mana-mana, senang ketemu rakyat miskin. Kalau uangnya kurang, you tinggal telpon Budi.”
“Baik, Pak.”
Telepon si bapak setengah baya berdering. Sepertinya ada pesan masuk.Bapak setengah baya khusuk membaca pesannya.Akhirnya ia berkata, “Saya tinggal dulu,ya, Bung. Saya mau blusukan dulu. Biasa, pencitraan. Mumpung rakyat kita masih gampang tercengang. Hahahaha…”
Sayup-sayup terdengar alunan tembang lawas The Great Pretender yang dibawakan oleh grup The Platters   Yes, I am the great pretender/ just laughin’ and gay like a clown/ I seem to be what I’m not, you see/ I’m wearing my heart like a crown/ pretending that you’re still around/
*****
Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.1) Hanya sunyi dan hening yang terhidang di atas piring pada sebuah hari yang berkeringat: lengket dan masam, di negeri tanpa malam. Tapi bukan di tanah airku. Bukan di tanah airku!2)
Pontianak, 9 April 2014

1)      Dikutip dari penggalan puisi berjudul ‘Sajak Palsu’ karya Agus R. Sarjono
2)      Dikutip dari penggalan  puisi berjudul ‘Bukan untuk Kita’ karya Agus R. Sarjono

CERPEN: SEMESTA YANG MERINDU SENJA

$
0
0
Semesta Yang Merindu Senja
Vivi Al-Hinduan



Sial! Aku gagal mati kali ini. Tapi aku tak pernah menyesal. Setidaknya aku telah mencoba. Dan akan mencobanya lagi, lain hari. Aku terbangun dengan kedua tangan di borgol di tepi ranjang.

Semesta, bisa lihat kami? ’’
Aku mengangguk lemah. Hanya bayangan yang dapat kulihat. Samar.
Saya Dokter Amrul, dan ini Komisaris Besar Manurung. Kamu sudah seminggu di sini.”
Aku mencoba membuka mata. Pengaruh obat bius membuat mataku terasa berat sekali. Perlahan kulihat seorang lelaki berjubah putih tersenyum kepadaku. Di sampingnya, seorang lelaki tambun berseragam cokelat.
Beruntung sekali kamu masih hidup.”, ujar si lelaki berseragam cokelat.
Kamu menggigit lidahmu sendiri hingga nyaris putus, Nak. Kamu ingat?”
Aku kembali mengangguk. Buat apa lagi aku hidup? Aku telah kehilangan segalanya.
Usianya baru tujuh belas, tapi ia harus menjalani hidup setragis ini. Kasihan sekali.”, kudengar si lelaki tambun berseragam cokelat berbicara kepada lelaki yang mengaku sebagai dokter.
Untung kamu selamat, Nak. Kabar baiknya, besok sore kamu sudah bisa pulang.”, ujar si dokter kepadaku.
Pulang. Pulang ke mana? Ke Balai Bekuak? Mendadak semua bayangan itu berkelebat di otakku. Perlahan merangkai sebuah kisah. Tentang senja yang dulu hadir menemaniku, kala mentari hendak beranjak pergi. Senja berwarna jingga kemerahan yang selalu datang diiringi senandung adzan, dulu. Senja yang sama, di mana kisah ini bermula…

Balai Bekuak, Dua Tahun Silam


Raksasaitu menatapku dengan pandangan buas. Matanya yang lapar menjelajahi tubuhku dari atas sampai bawah. Aku terdiam kaku, seakan terlempar dari ruang waktu. Dia mendekatiku. Tangannya yang kasar menjelajahi tubuhku. Aku ingin berteriak, tapi tangannya mencekik leherku.
Awas kalau sampai ada yang tahu, kau akan kuusir dari rumah. Menggelandang di jalan, dan nasibmu akan lebih parah. Tak ada satupun yang akan peduli padamu, Nak.”

Lalu dia menyeretku ke dalam kamar. Dia menghempaskanku ke ranjang reot itu. Aku seperti sebuah layang-layang putus yang kalah bersaing dengan layang-layang lain yang lebih kuat. Tubuhku limbung diterbangkan angin. Aku goyah. Tubuhku digesek tak kenal ampun oleh benang dari layang-layang itu. Perih dan berdarah. Saat itu yang kuingat, senja sedang memerah di langit Khatulistiwa. Rombongan Ruai sedang beranjak pulang menuju sarang, membawa serta mimpi-mimpi indahku di kepakan sayap mereka . Lalu semua menjadi gelap.
****
Istri macam apa, kau? Selalu menceritakan kejelekan suami di sana-sini. Apa kamu tidak malu suamimu jadi bahan gosip orang sekampung?”
Biar saja. Biar semua orang tau kalau kamu selingkuh dengan janda itu.”
Hei, siapa yang selingkuh? Jangan sembarangan ya!”
Halah, pura-pura. Kalau untuk janda itu ada saja duitmu. Buat anak bini selalu ndak
ada, sudah habis lah. Nyesal aku kawin sama kamu.”
Emang cuma kamu saja yang nyesal? Aku lebih nyesal lagi. Kalau ndak mikir orangtuamu, sudah kucerai kau dari dulu.”
Ceraikan saja! Aku ndak takut!”
Udah setahun ini kamu selalu nolak tiap aku minta melayaniku. Macam-macam alasannya, takut hamil lah, udah ndak kuat lagi. Ah, dasar!”
Oh, jadi itu alasanmu selingkuh dengan janda itu?”
Aku ini laki-laki normal, Nung. Bisa mati aku didiamkan setahun. Kau kira aku patung apa?”
Aku menutup kedua telingaku dan memejamkan mataku. Pertengkaran itu baru reda menjelang adzan Subuh.
***
Sore itu rumah sepi. Hanya suara tivi yang memecah sunyi. Ibuku tertidur di depan tivi. Ketiga adikku sedang bermain bersama teman-teman mereka, seperti biasa. Jam setengah tiga sore, biasanya Bapak belum pulang dari kebun. Aku bersiap mandi di kolam belakang. Aku berjalan menuju dapur yang panjang dan gelap. Aku mandi sepuasnya di kolam kecil itu. Rasanya sudah lama aku tidak merasakan segarnya air. Aku ingin membasuh semua kotoran ditubuhku. Ketika membuka kembanku dan menggantinya dengan handuk, tiba-tiba, aku melihat mata itu menatapku dari jendela dapur yang terbuka. Mata Si Raksasa. Mata yang nyalang, siap menerkam. Seringainya membuat nyaliku rontok. Aku bergegas naik ke rumah, tapi dia menghalangiku di pintu dapur,
Semesta, aku sangat menginginkanmu.”
Tidak, aku mohon..”
Diam! “
Tangannya yang kasar menyibak handukku. Ia menyeretku ke pojok dapur.
***
Siapa yang menghamilimu, Semesta? Buruh-buruh sawit itu ya? Jawab! “, Ibu membentakku.
Aku mengangguk. Bukankah Si Raksasa itu juga salah satu dari mereka?
Plaaak..! Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
Sudah kubilang jangan pernah dekati mereka! Mereka itu kotor, najis seperti bapakmu!”
Ibu mengamuk seperti kesetanan. Ia menamparku bertubi-tubi.
Sudahlah Nung, cukup! Kita suruh saja dia menggugurkan kandungannya.”, ujar Bapak.
Tidaaak! Sampai kapanpun aku tidak akan menggugurkannya! “
Kalau begitu sebutkan namanya. Ibu akan memaksanya menikahimu.”, sahut Ibu.
Aku menyebut nama Si Raksasa. Dan Ibu kembali memukulku.
***
Tuhan, Kamu dimana? Aku belum selesai bercerita. Malam itu, Ibu membawaku ke rumah seorang dukun beranak. Aku dipaksa minum ramuan tradisional buatan si dukun. Aku menolak. Tapi si dukun itu memaksaku meminum ramuan itu. Akhirnya tertelan juga. Rasa panas membakar kerongkonganku. Aku muntah. Ibu membawaku pulang. Di tengah jalan, tak henti ia memarahiku.
Dasar anak tak tau diri! Bikin malu keluarga! Siapa yang mau tanggungjawab mengurus anakmu kelak? Tidak ada, Semesta! Jangan mimpi, kau!”
Aku, Bu. Biarlah aku yang akan mengasuh sendiri anakku.”
Omong kosong! Kau bisanya cuma bikin malu aku, Semesta! Sama saja kau dengan bapakmu itu!”
Sampai di rumah, aku kembali dipaksa Ibu meminum ramuan itu lagi.
****
Positif. Dokter di Rumah Sakit Agoes Jam, Ketapang, memberitahuku bahwa aku positif tertular Virus HIV dari Si Raksasa. Aku menderita AIDS. Dia adalah dokter kandungan yang mengkuretase rahimku. Ya. Aku keguguran.
Seminggu kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang ke Balai Bekuak, desaku yang jaraknya tiga ratus kilometer dari Kota Ketapang, dengan menempuh perjalanan darat kurang lebih delapan jam dengan sepeda motor. Di sini, listrik menyala hanya dua belas jam, dari jam enam sore sampai jam enam pagi. Selebihnya hanya sunyi.
***

Setelah hampir dua bulan mengurung diri di rumah, malam itu, ketika Ibu pergi melayat tetangga kami yang meninggal ditabrak truk tadi sore, Bapak memanggilku ke kamarnya. Ia minta dipijit.
Semesta, apakah kau merindukanku?”, tanya Bapak.
Jangan, Pak. Aku mohon..”
Bapak membelai lembut pipiku. Aku berlari keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Ia mengejarku ke dapur. Entah setan apa yang menggodaku, secara spontan aku meraih pisau dapur yang tergeletak di atas meja makan. Aku menusukkan pisau itu tepat ke dada Bapak berkali-kali sambil berteriak marah,
Ini untuk perbuatanmu yang telah merusak tubuhku!”
Aku menikamnya lima kali.
Ini untuk janin yang terpaksa kugugurkan!”
Aku menikamnya sepuluh kali.
Dan ini untuk penyakit terkutuk yang kau tularkan kepadaku!”
Aku menikamnya lima belas kali.
Adik-adikku berhamburan ke dapur. Mereka menjerit dan menangis. Bapak roboh ke lantai. Darah membasahi tangan dan bajuku. Si Raksasa itu sudah mati.

****
Aku sakit. Sejak mendekam di penjara ini, aku sudah dua kali dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara. Dokter yang memeriksaku mengatakan bahwa virus HIV telah menyebar di tubuhku. Waktuku mungkin tidak lama lagi. Tapi, bukankah kematian itu indah? Seindah senja tak pernah abadi. Aku tak sabar menjemputnya.

Tuhan, aku rindu Kamu, seperti secangkir kopi hangat yang merindukan gerimis pagi. Aku tak sabar ingin bertemu Engkau, sebentar lagi. Tunggu aku ya, Tuhan sayang. Kita akan segera bertemu di kala senja tiba, bermain bersama sekawanan Ruai di Balai Bekuak seperti dulu. Ya. Sebentar lagi.
Pontianak, 28 Februari 2014


CERPEN: SENJA DI KHATULISTIWA

$
0
0
Senja Di Khatulistiwa*)

Vivi Al-Hinduan



Aku adalah seorang lelaki. Lelaki yang gagal, tepatnya. Ya, gagal di semua bidang kehidupanku. Di usia 59 ini, aku ditinggal oleh anak-anakku. Kini aku terbaring lemah di ranjang setelah menjalani operasi by-pass bulan lalu. Aku menunggu kedatangan mereka dan anak-anak mereka, cucu-cucuku yang sangat kusayangi lebih dari apapun di dunia ini. Bulan lalu Ivan dan Mia beserta kedua anak mereka datang menjengukku di rumah sakit. Hanya sekali saja. Lalu Nina dan suaminya, Budi, juga menjengukku. Setelah itu tidak pernah lagi. Mereka tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Dosakah mereka?

Oh, andai hidup bisa kuputar kembali, aku akan berusaha menjadi ayah yang lebih baik bagi mereka. Selama ini aku terlalu keras mendidik  mereka, demi memuaskan egoku sendiri sebagai seorang ayah.  Dan akibatnya, anak-anakku tumbuh menjadi orang yang keras kepala dan suka membantahku. Salahkah aku?

Ivan, sulungku yang sangat kubanggakan dan kupaksa kuliah di Fakultas Kedokteran, ternyata harus tersiksa selama bertahun-tahun menjalani kuliahnya, terutama masa-masa co-ass yang melelahkan itu. Sebenarnya ia ingin masuk jurusan Teknik Informatika, tapi aku memaksanya menjadi dokter, dengan alasan bahwa di negeri ini profesi dokter sangat menjanjikan secara materi. Sesungguhnya itu hanyalah pelampiasan dendamku pada masa lalu. Dulu aku gagal menjadi dokter karena tak punya biaya. Ia hanyalah korban keegoisanku. Sekarang setelah ia menjadi dokter, jangankan membalas jasa, masih ingat sama orangtua saja sudah syukur. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Dan istrinya? Oh, istrinya yang juga dokter itu, menantu yang sangat aku banggakan, ternyata ….
Lelaki itu menerawang. Matanya menatap jendela kaca kamarnya yang kusam. Dari halaman depan, tampak istrinya yang hampir setua dirinya, sedang membeli sayuran dan berjalan masuk ke rumah. Rumah itu senyap. Betapa ia sangat merindukan suara cucu-cucunya. Matanya terpaku menatap foto keluarga di dinding kamar, beberapa meter di depan ranjangnya. Foto sewaktu ia masih menjadi Camat. satu-satunya jabatan tertinggi dalam karirnya, setelah diberhentikan enam bulan sebelum masa pensiunnya. Oh, betapa kejamnya permainan politik negeri ini.
Di foto itu tampak Ivan, putra sulungnya memakai toga dan jubah wisuda hitam. Hari itu ia berhasil memperoleh gelar S. Ked yang ditempuhnya dengan susah payah, sebelum  terpenjara kembali di pengapnya rumah sakit sebagai seorang co-assistant. Lalu kedua putrinya, Ludi dan Nina. Ludi, dimana dia sekarang? Pikirannya menyeretnya ke sebuah lorong waktu…
“ Kamu gila apa? Dikuliahin mahal-mahal di Akuntansi, eh malah mau jadi sutradara film dokumenter. Aku nggak ngerti jalan pikiranmu.”
“ Itu karena Papa yang nggak pernah mau belajar mengerti aku. Aku sudah turuti semua kemauan Papa, kuliah di jurusan sialan itu sampai kepalaku mau pecah. Sekarang aku sudah lulus. Biarkan aku hidup dengan caraku sendiri, Papa ! “
Ludi, putri bungsunya yang tomboi dan keras kepala itu sering membuatnya kesal. Anak itu selalu melawannya. Setiap hari selalu saja mencari masalah dengannya.
Kenapa anak itu begitu keras? Apa karena sifatnya terlalu mirip denganku? Lelaki itu membatin.
Putri keduanya, Nina. Seorang guru kesenian di sebuah SMA Negeri favorit di Pontianak, yang juga almamaternya sendiri. Ia cantik, cerdas, lulusan S1 Keguruan dengan predikat cum laude, berbakat di bidang lukis dan musik. Dan diatas semua itu, Nina adalah seorang PNS. Yah, putri yang sangat mereka sayangi. Dia mengikuti jejak ibunya, menjadi guru. Dan menjadi PNS, sesuai keinginan sang ayah. Paduan profesi yang mulia. Oh, tapi ada masalah, si pelukis itu. Siapa dia?
“ Assalammualaikum. Nina nya ada, Om?”
Lelaki itu menatap pemuda kerempeng dihadapannya. Kurus, tinggi, rambut gimbal, panjang, dan tak terurus. Begitu kumal. Ditambah dengan kumis dan sedikit jenggot di dagunya yang membuatnya tampak seperti seorang seniman, sebuah pekerjaan yang kurang kerjaan.
“ Oh,ada..baru pulang ngajar, mungkin lagi mandi. Ada perlu apa ya? “
“ Saya Budi, dari Sanggar Lukis Mandala. Kemarin Ibu Nina ada telpon saya, katanya lusa mau ngajak murid-muridnya melihat sanggar kami. Kebetulan ada pameran lukisan dan fotografi di Taman Budaya Kalbar. Saya bersedia menemani.”
“ Oh, silahkan masuk dulu, Mas. Sebentar, saya panggil dia.”

Sejak itu Budi sering kerumahnya. Dan putrinya juga sering pergi menghadiri pameran seni. Mulai dari Taman Budaya, Mega Mall, hingga hotel bintang tiga. Tapi kali ini dia sendiri, tidak bersama murid-muridnya. Oh, tidak. Dia tidak sendiri, tapi berdua dengan si pelukis itu.
Hingga di suatu senja yang cerah di langit Khatulistiwa….
“ Pa, Nina akan menikah dengan Budi.”
“ Apa? Kamu serius?”
“ Iya, Pa. Kami sudah saling mengenal tiga bulan ini. Nina nggak mau lama-lama pacaran, takut dosa.”
“Kamu tau kan Si Budi itu cuma pelukis yang kerjanya nggak jelas?”
“ Lha, kerjanya jelas, Pa. dia pelukis. Tenang aja, Nina sudah mempertimbangkan itu jauh-jauh hari.”
“ Termasuk menafkahi dia?”
“  Memang profesi seperti pelukis, penulis, dan pemusik kurang dihargai di negeri kita. Masyarakat kita terlalu mendewakan punya mantu dokter, karyawan bank, politikus, sampai anak pejabat.”


“ Kamu udah tau itu kan? Kenapa masih nekat? “
“ Karena kami ingin memulai semua dari nol. Sejak awal Nina memang ingin cari suami yang belum mapan.  Kami akan membangun rumah tangga bersama, menikmati  suka dan duka berdua.  Nina sadar, di awal pernikahan, kesulitan ekonomi pasti akan sangat terasa sekali. Ya, itulah hidup. Justru disitulah kesetiaan kami akan diuji.”
“ Tapi Nin, apa bisa dia menanggung kamu? Apalagi kalau kalian nanti punya anak. Kamu jangan terlalu idealis kenapa sih? Realistis sedikitlah.”, istriku menasehati.
“ Ma, Budi itu serius  dengan pekerjaannya. Kemarin dia barusan menjual lukisannya seharga sepuluh juta rupiah, yang beli seorang anggota dewan. Rezeki itu sudah diatur Allah, nggak mungkin ketukar. Kenapa mesti takut? Insya Allah dia sanggup menafkahi Nina. Yang penting dia bisa mengatur keuangan.”
Dadaku sesak mendengar perkataan Nina. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak ada sejarah di keluarga kami yang menikah dengan seorang seniman yang hidupnya tidak jelas. Mandi saja jarang.
“  Pokoknya Papa tidak setuju! Kalau kamu masih nekat ingin nikah sama laki-laki nggak karuan itu..silahkan keluar dari rumah ini.”
“ Baiklah, Nina akan pergi. Assalamualaikum ..”
Jantungku sakit. Sesak seperti akan meledak. Aku berusaha bernapas. Pandanganku kabur. Aku jatuh pingsan.


Aku adalah seorang lelaki. Lelaki yang gagal, tepatnya. Ya, gagal di semua bidang kehidupanku.
“ Pak, bisnis batu antik kita gagal lagi. Padahal pembeli sudah mau membayar sepuluh milyar. Maharnya satu milyar. Tapi  yang punya barang ndak mau jual.”
“Aah, sudah! Kamu pulang aja, saya capek. Kamu gimana sih, Jon? Aku sudah kasih uang transport dua juta untuk pergi cari pemilik barang antik, tapi gagal terus. Hitung-hitung uangku sudah hampir sepuluh juta habis nggak ada hasil.”
Hahaha, salah sendiri kenapa mau ditipu, bahlol ! dasar pecundang. Kemarin sudah gagal jadi Walikota. Sekarang mau jadi Caleg, tapi nggak punya duit. Payah!
“  Waduh, lupa. Aku mau nelpon Si Yanto dulu. Udah enam bulan dia nggak setor duit. Nggak ada berita lagi.”
“ Pak, kemaren saya ketemu Yanto. Dia beli motor baru, Jupiter Mix lagi. Istrinya pakai kalung emas, belum lagi gelang emas berderet di tangannya.wuiih, kayak nyonya besar aja. Padahal katanya pangkalan minyak Bapak rugi terus, kok bisa ya? Jangan-jangan Bapak ditipunya. Hati-hati, Pak.”
“ Alah, bilang saja kamu iri sama dia. “
“ Sumpah, saya jujur, Pak. Dia itu penipu besar! Semua orang udah tau, Bapak aja yang bego.”
“ Hah??! “
Aku mendengar suara merdu Ebiet G Ade mengalun lembut dari audio di ruang tamu. Istriku yang memutarnya. Oh, istriku yang setia. Betapa selama aku tak pernah menghargainya?  Bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak.
Sekarang aku tengah tengadah ke langit/ berjalan diatas bintang-bintang/ bersembunyi dari bayang-bayangku sendiri/ yang sengaja kutinggal diatas bukit….
Diluar hujan mulai turun membasahi Khatulistiwa.
Barangkali tangan-Mu tak kan lagi mengejarku/ untuk merenggut segenap hidupku/ aku yang bersembunyi dibawah kulitku sendiri/ kapan lagi akan mampu berdiri…
Oh, betapa jujurnya lagu itu. Lagu yang menceritakan seseorang yang berusaha lari dari kematiannya. Paradoks dengan judulnya, Hidup III. Ah, betapa selama ini aku sudah menipu diriku sendiri? Berpura-pura menjadi lelaki yang sukses, padahal mungkin sebaliknya.
Ingatannya menerobos ruang waktu. Menembus dinginnya hujan…
“ Wah, hebat Pak.  Yang positif bakal memilih Bapak sekitar empat ribu orang di kecamatan ini. Semua orang mengenal Bapak sebagai mantan Camat yang paling top. Mereka semua berharap Bapak dapat mewakili mereka di DPRD nanti.”
“ Oh, tentu. Dari kemarin juga orang-orang bilang begitu. Mereka optimis memilih saya. Banyak yang minta kalender dan kartu nama saya.”
Tak jauh dari situ…
“ Ah, ngomong jak. Siape nak mileh orang tue? Sekarang jamannye anak mude tampil.”
“ Ha-ah. Udah pension maseh jak selak nak maju. Kemaren gagal jadi Walikota, sekarang nak jadi Caleg pulak. Halah! “
Lagu Ebiet kembali mengalun merdu. Lelaki itu menggigil kedinginan. Bayang-bayang masa lalu berkelebat di ingatannya. Telinganya berdengung. Kepalanya berat. Ia terbaring pasrah menanti ajal.
Lihatlah kedua belah tanganku/ yang kini nampak mulai gemetaran/ sebab ada yang tak seimbang/ antara hasrat dan beban/ atau mungkin karena jiwaku yang kini mulai rapuh/ gampang ditiupkan angin…
“ Pa, minum dulu obatnya.”
Suara lembut istrinya memecah kesunyian. Lelaki itu memaksa bangkit dari pembaringan, tapi kepalanya berat. Ia terjatuh.
Apakah ini akhir perjalananku? Ah, betapa singkatnya hidup ini. Ternyata jarak antara hidup dan mati hanyalah sejauh antara azan dan iqamah, tak lebih. Bukankah ketika lahir dalam keadaan telanjang, kita di azankan ditelinga kanan, dan ketika meninggalkan dunia yang hina ini dengan berbungkus kafan, kita hanya dihargai dengan sholat?
Kini  terbayang kembali semua keping episode kehidupanku. Anak-anakku yang keras kepala dan selalu membantah. Bukankah itu cerminan diriku sendiri? Orang-orang dari kalangan bawah yang selalu menipuku habis-habisan. Apakah  karena aku telah salah bergaul?  Atau karena bisikan pikiran bawah sadarku yang mengatakan bahwa aku tak pantas bergaul dengan kalangan the haves?
Kegagalanku, bukankah itu juga karena alam bawah sadarku yang memvonis bahwa aku takkan pernah sukses? Bahwa seumur hidupku, jabatan tertinggi dalam karirku hanyalah menjadi Camat? Kenapa bukan Walikota atau anggota dewan? Kenapa semua itu baru kusadari kini, disaat tak ada waktu tersisa untuk menyesal?
Dadaku semakin sesak, seperti ada yang menindih. Kerongkonganku kering. Aku butuh air. Aku ingin berteriak, tapi seperti ada yang mengunci mulutku. Telingaku hampir pecah. Mataku seperti ditarik paksa keluar. Oh,tunggu dulu! Aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada istri dan anak-anakku, meminta maaf pada Ludi…
Hujan berhenti. Sederet pelangi menghiasi indahnya senja di langit Khatulistiwa. Dari ruang tamu sayup terdengar lembut suara merdu Ebiet, selembut akhir perjalanan hidup lelaki itu…
Tengoklah bilik dijantungku/ denyutnya tak rapi lagi/ seperti ingin segera berhenti/ kemudian sepi dan mati….

KETERANGAN :
 Ah, ngomong jak. Siape nak mileh orang tue? Sekarang jamannye anak mude tampil.
( Ah, ngomong saja. Siapa yang mau milih orang tua? Sekarang jamannya anak muda tampil )

Ha-ah. Udah pension maseh jak selak nak maju. Kemaren gagal jadi walikota, sekarang nak jadi caleg pulak. Halah!
( Iya. Sudah pensiun masih saja rakus mau maju. Kemarin gagal jadi Walikota, sekarang mau jadi Caleg pula. )
*) Telah dimuat di Majalah Noor Edisi Mei 2009
Keterangan : Cerpen ini merupakan cerpen pertama Vivi Al-Hinduan yang dimuat di media cetak

PULANG

$
0
0
Pulang
Vivi Al-Hinduan



Kadang, antara datang dan pulang, hanyalah soal perbedaan sudut pandang, seperti ketika kita memandang separuh air bening di dalam gelas yang hening. Apakah gelas itu separuh terisi atau separuh kosong? Apapun jawabannya, tidak ada yang benar-benar benar.

Pulang. Sebuah kata yang sangat kurindukan. Sepuluh tahun sudah aku merantau di Jakarta. Akhirnya, sekarang aku bisa pulang ke Pontianak. Mumpung tiket pesawat sudah murah. Atau barangkali daya beli masyarakat Indonesia yang meningkat, sehingga barang yang dulu dianggap mahal, sekarang bisa terjangkau.

Aku tiba di bandara Soekarno-Hatta yang megah. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku begitu cemas dan takut ketinggian. Namun disisi lain, aku juga tak sabaran. Berbagai perasaan berkecamuk dihatiku. Aku ingat pembicaraanku di telepon dengan ibuku-yang kupanggil Mamak-tadi malam.

Jadi besok sore kau sampai di Supadio ya?”, tanya Mamak.
Iya, Mak. Ardi jam tiga sore berangkat dari Jakarta.”, sahutku.
Nanti Mamak sewa oplet Bang Yanto ya? ”
Jangan, Mak. Ardi naik taksi saja.”
Janganlah! Masak anak Mamak yang sudah sepuluh tahun ndak balek kampongmau naik taksi? Mamak nyewa oplet biar Mamak, Bapak, Nenek, dan tiga keponakanmu bisa sekaligus ikut menjemput.”
Baiklah, Mak.”, aku tak kuasa membantah.
Besok pagi Mamak mau ke Pasar Flamboyan. Mamak mau belanja dan masak asam pedas ikan patin dan sayur paceri nenas kesukaanmu. Kami akan menyambut kedatanganmu, Nak. Anak Mamak yang sukses merantau di Jakarta.”
Sukses? Ach! Rasanya selama aku bekerja di sini, aku merasa lebih akrab dengan kata kerja berawalan ‘di’ daripada kata kerja yang berawalan ‘me’. Kata-kata seperti disuruh, diperintah, dicaci, diusir, dijambret, dipalak, seolah begitu akrab dengan keseharianku, dan sekaligus menunjukkan level pekerjaanku. Apakah seperti itu bisa disebut sukses?
Aku menyibak kerumunan manusia yang memadati Soekarno-Hatta. Orang-orang bergegas menuju tujuan mereka masing-masing. Berburu dengan waktu. Kerumunan manusia di depanku semakin bertambah sesak. Mengerucut di satu sudut. Aku mendekati sumber suara itu.
Maskapai penerbangan ini gimana, sih? Delaymulu! Mana Saya sudah ditunggu sama Pak Gubernur lagi.”
Maaf, Pak. Mohon ditunggu sebentar. Pesawat kami sedang mengalami kerusakan teknis.”
Halah! Saya nggak mau tahu! Saya minta ganti rugi! Sudah dua kali saya mengalami kejadian ini. Saya sudah rugi waktu, tahu!”, ujar si Bapak sambil menggebrak meja.
Aku berlalu meninggalkan mereka.
****
Ayuh, cepetan dihabisin atuh donatnya, Neng! Bentar lagi pesawat kita mau berangkat.”
Idih, Mami! Sabar atuh, Mi. Donatnya sampai belepotan nih. Si Mami gimana sih? Kan aku malu kalo di pesawat nanti mulutku belepotan donat.”
Anak itu terburu-buru menghabiskan donatnya, dan membuang kertas kecil pembungkus donat di ruang kecil di antara kursi yang ia dan ibunya duduki. Tiba-tiba anak itu berjalan ke arah dinding dan mengeluarkan ponsel pintarnya. Sambil tersenyum manis, ia memotret dirinya sendiri. Lalu ia kembali berpose dengan mulut dimoncongkan seperti bebek. Setelah itu, ia duduk kembali di dekat ibunya, tepat di depanku.
Idih! Kamu tehngapain lagi pake moto-moto segala? Potoin Mami dong sekali-sekali.”
Idih, Mami! Aku kan mau uploadfoto-fotoku ke Facebook. Mau aku pamerin ke teman-teman di sekolah.”
Cepetan atuh, Neng! Pesawat kita udah mo berangkat tuh. Ntar kita ditinggal lagi.”
Bentar dong, Mi. Aku lagi nulis tweetnih, ngasih tau ke followerku posisi aku sekarang. Followerku nambah loh, Mi.”
****

Penumpang yang terhormat, berhubung ada kendala teknis pada mesin pesawat, penerbangan dari Jakarta menuju Pontianak kami tunda untuk waktu yang belum dapat ditentukan, bunyi pengumuman dari pengeras suara. Para penumpang mulai gelisah. Aku melirik jam tanganku. Setengah lima sore. Gawat! Jam berapa aku sampai di Pontianak nanti? Jangan-jangan sayur paceri nenasnya sudah keburu basi. Aku segera menelepon adikku. Berkali-kali kutelepon, nomornya tidak aktif. Akhirnya aku mengirim pesan singkat ke ponselnya.
Suara keras seorang perempuan membuatku menoleh.
Iya, ini pesawatnya rusak! Sedang diperbaiki! Mama mungkin malam baru sampai ke Ponti! Bilang Papa, ya!”
Aku tersenyum. Suara si Ibu mengingatkanku dengan cerita bibiku yang tinggal di Entikong, perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia. Karena di sana sinyal ponsel sangat sulit dijangkau, terpaksa bibiku harus berteriak setiap berbicara di telepon seluler, agar suaranya terdengar jelas.
Aku duduk kembali di bangkuku. Di sampingku, duduk seorang pria setengah baya. Ia menyalakan rokok, menghisap rokoknya dengan santai, seolah lupa kalau ruangan itu ber-AC.
Mau ke Pontianak juga, Mas?”, Ia bertanya.
Aku mengangguk.
Kerja di mana?”, tanya si Bapak lagi.
Saya kerja di Jakarta. Di Priok.”, jawabku acuh.
Oh, buruh pelabuhan ya? Hebat dong bisa naik pesawat.”
Sok tahu! Darimana dia tahu kalau aku buruh?
Bapak kerja di mana?”, tanyaku.
Sintang. Perkebunan Sawit.”
Oh.”
Kembali sunyi. Si Bapak tenggelam dengan ponsel pintarnya. Tiba-tibanya ponselnya berdering. Ia mengangkatnya.
Iya, sayang. Pesawatnya mengalami kerusakan teknis, mungkin jam sembilan malam baru tiba di Supadio.”
Terdengar suara perempuan di seberang sana.
Nanti jemput aku sekitar jam delapan aja. Kita langsung ke hotel. Besok pagi baru aku ke Sintang.”

***
Aku mencari tempat duduk di dalam pesawat. Aku senang mendapat tempat di pojok dekat jendela. Aku ingin merebahkan diri sejenak di kursi empuk itu, setelah hampir tiga jam menunggu. Aku mengintip langit dari jendela. Bintang-bintang bertaburan menghias malam. Indah, meski tanpa kehadiran bulan. Didepanku, kudengar tiga orang ibu sedang berbincang dengan suara keras,
Eh, Jeng, kemaren aku baru pulang dari Paris loh.”, Ibu pertama membuka pembicaraan.
Saya barusan dari Bali, jenguk cucu yang baru lahir. Sekalian menghadiri peresmian butik putri saya di sana.”, ujar si Ibu ketiga, tanpa ditanya.
Aduh, ke Paris mulu nih Jeng Ratna. Ngapain aja? Ngeborong ya?”, tanya Ibu kedua.
Nggak kok, aku cuma ikut suami studi banding aja.”
Hah? Studi banding apaan, Jeng?” , Ibu ketiga nimbrung.
Studi membandingkan harga tas Hermes di Indonesia dengan di Paris.”
Mereka bertiga tertawa bahagia.

Sedang asik melihat dari jendela, suara pramugari mengumumkan agar penumpang segera mematikan ponselnya. Dua bangku disebelahku masih kosong. Aku memejamkan mata , berusaha keras menenangkan diri agar tidak takut ketinggian. Ketika pintu pesawat hampir ditutup, tiba-tiba dua orang penumpang bergegas masuk, setelah ribut sebentar dengan pramugari yang menjaga pintu. Seorang bapak setengah baya, dengan anak perempuan berumur kira-kira sembilan tahun, tergesa mendekati dua kursi kosong di sampingku. Si Bapak itu menghampiriku.
Maaf Mas, bisa tukeran tempat duduk nggak? Anak saya pengen duduk dekat jendela. Pengen lihat bintang dari dekat, katanya. Maklum, anak saya ini baru pertama kali naik pesawat.”

Pontianak, 13 Maret 2014

Kumpulan Puisi Karya Vivi Al-Hinduan

$
0
0

EntrepreneurKreatif.Com-SobatPreneur suka baca puisi? Sudah pernah baca puisi di bawah ini?


SEMESTA, JANGAN PULANG MALAM  INI




Semesta, dengarkan aku!
Jangan pulang malam ini
Sebelum ayahmu yang buas tertidur pulas
Sebelum azan subuh menggema  di lorong jiwamu yang kosong
Sebelum daun-daun berguguran  berkilauan disinari mentari

Semesta, aku mohon!
Tolong jangan pulang malam ini
Hingga tetes embun mampu menghapus tetes airmata mu,
Hingga tubuhmu yang ringkih tak lagi perih kala ditindih,
Hingga bilur-bilur duka di jiwamu yang kering mengering

Semesta, aku tak sanggup lagi
Mendengar jerit tertahan ditengah malam
Melihat tetes darah yang entah ke berapa ribu kalinya jatuh membasahi bumi
Membaca kisahmu di koran-koran pagi negeri ini

Semesta,
Jika kau tetap pulang malam ini
Menangislah yang merdu
Agar burung-burung surga  mendengarmu lirihmu
Dan membawamu terbang kesana
Jauuuh……
Dan tak pernah kembali


(BUKAN) PUISI CINTA




“ Berhentilah menulis puisi cinta yang melankolis!”, bentakmu.
Aku termangu. Bisu.
Kau kembali berkata,
“ Lihatlah sekelilingmu! Hutan-hutan menangis. Bumi menjerit. Aliran sungai tersumbat limbah. Tidakkah kau lihat disana? Ribuan janin dikubur massal di tumpukan sampah untuk sekedar menutupi dosa ibu-ibu mereka?
Lalu disana, dan disana,
Para wakil kita tertawa licik melihat rakyat yang nasibnya terbelit pelik.
Sementara kau asyik meneguk kopi luwak di café hotel-hotel  mewah
Simbol sebuah kemapanan quasi
Menebar kartu namamu kesana kemari
Berharap mendapat sepotong proyek ambisi
Dan malamnya, kau kembali menarikan jari-jarimu yang tak lentik itu
Mewujud sebuah puisi yang kinyis-kinyis
Aku mohon padamu, Kawan. Berhentilah menulis puisi cinta yang melankolis.”


REPUBLIK WARUNG KOPI




Republikku bernama Republik Warung Kopi
Disini, bisa kau dapatkan segala jenis kopi
Mulai dari Kopi Pancong sampai Kopi Pangku
Sedaaap….

Republikku bernama Republik Warung Kopi

Setiap pagi, kau akan melihat rombongan Bapak-bapak Melayu duduk mengobrol di warung-warung kopi milik Si Akuang, Si Asiong, Si A Hong, atau Baba Lang

Kadang mereka hanya memakai sarung, belum mandi dan tak sempat gosok gigi
Sambil menghirup kopi panas dan bermain catur
Ada yang asyik membaca koran sambil menunggu kopi tersaji
Mantaaap…

Apa yang ada dipikiran Bapak-bapak Melayu itu? Aku tak paham
Pun tak berani bertanya langsung
Tidakkah mereka ingin bergegas mandi dan berangkat kerja?
Mencari nafkah untuk keluarga?
Atau barangkali sedang latihan serius untuk pertandingan catur 17-an nanti?
Oh, mungkin mereka para pegusaha sekelas Ciputra atau Purdhi E Chandra
Yang berangkat kerja lepas Dhuha
Pikirku . Lugu.

Tak Melayu hilang di bumi
Tapi mereka tersesat disini
Di Republik Warung Kopi


MENEMUI : 3 SAHABAT LAMA

Sotong Pangkong, Keriang Bandong, Kopi Pancong
Apa kabarmu, sobat?
Jumpa lagi di Pontianak Kota Layak Anak (benarkah?)

Sotong Pangkong, Keriang Bandong, Kopi Pancong
Kudengar kalian masih bisa bertahan di kota ini
Dimana makanan-makanan franchise dari Amerika Serikat berebut menyerbu negeri
Tatkala Cappuccino menjadi primadona tuk lepas dahaga
Saat PS 3 berhasil mencuri tempat di hati anak-anak bangsa yang lupa budaya



SEMBARI MENUNGGU BERBUKA

Sembari menunggu berbuka
Kulihat senja berwarna Jingga
Kendaraan bermotor berebut memproduksi  polusi udara
Membuat bersin langit Khatulistiwa

Sembari menanti  adzan  Maghrib berkumandang
Kulihat kumbang-kumbang asyik mencumbu kembang
Seakan lupa sedang Ramadan
Ach!
(Pontianak, 10 Ramadan 1432 H/ 10 Agustus 2011)


NERAKA, SELAMAT  TINGGAL
Selamat tinggal, Neraka
Ijinkan aku menutup pintumu tuk sementara
Agarku leluasa bersama Sang Maha


MINGGU SORE DI ALUN KAPUAS PARK
Anak Layangan, pedagang  asongan, laki dan perempuan
Para pria melambai, hingga yang kekar menyeringai
Saat asyik menatap kumuhnya sungai
Tanpa sadar, isi dompetku tergadai

REMBULAN MERAH



Tidakkah kau lihat rembulan itu, Nak?
Warnanya merah beringas
Didalamnya bermukim monster yang ganas
Monster yang bermata nyalang dan garang
 Siap mengganyang.
 Aku melihatnya, Bunda
 Monster yang keluar dari rembulan merah
 Dia turun merayap, siap menyantap. Lahap melumat.

Tidakkah kau tahu monster apa itu, Nak?
 Itulah sang angkaramurka
Yang telah mencabik-cabik jati diri anak bangsa.
Aku tau, Bunda
 Monster itu bernama Pornografi
Yang datang kemari bersama globalisasi

Gimana komentar SobatPreneur setelah membaca Kumpulan Puisi Karya Vivi  Al-Hinduan?

Desain Interior Perpustakaan Sekolah

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Desain  interior  perpustakaan  sekolah hendaknya disesuaikan dengan kecenderungan  minat  pemustakanya. Misalnya untuk  perpustakaan SD/ MI dapat dibuat  suasana yang  diminati/disukai/nyaman  bagi anak-anak  usia 6-12 tahunan. Perpustakaan  sekolah  haruslah berfungsi   sebagai  pusat  belajar, sehingga penataan  ruang dan desain interior di sini bertujuan  agar siswa betah berlama-lama  di perpustakaan  dengan  gembira.

Penataan Ruangan

Menurut Darmono (2001) ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam penataan  ruangan interior perpustakaan, antara lain:

Aspek Fungsional

Desain interior penataan  ruang  harus mendukung  fungsi perpustakaan. Antar ruang hendaknya mempunyai hubungan fungsional, sehingga memudahkan/ melancarkan kegiatan pemustaka dan petugas perpustakaan.



Aspek Psikologis Pengguna

Aspek psikologis pemustaka (atau biasa disebut pengunjung perpustakaan) hendaknya diperhatikan. Penataan perabot yang serasi dan yang rapi memungkinkan pemustaka merasa nyaman berada di dalam perpustakaan. Namun untuk pemustaka usia SD/ MI yang notabene masih anak-anak memerlukan  kajian  lebih lanjut untuk membuat mereka nyaman. Buatlah pertanyaan  singkat pada anak-anak  mengenai  kenyamanan  yang  mereka inginkan, karena setiap anak itu unik.

Aspek Estetika

Keindahan  ruangan interior perlu mendapat perhatian, namun bukan  berarti menggunakan barang-barang (perabot) yang  mahal. Keserasian, kebersihan adalah faktor penting untuk menunjang keindahan.

Aspek Keamanan Bahan Pustaka

Desain interior ruang perpustakaan harus mengindahkan aspek keamanan bagi pemustaka. Letakkan koleksi (bahan pustaka) ditempat  yang  aman, baik dari  kerusakan  alamiah (misal dari air hujan, sinar matahari langsung, dll) atau pun aman dari  kemungkinan  perusakan/pencurian.

Ada pun untuk pembinaan gedung bagi Perpustakaan  yang  ruang tersendiri (blm menempati gedung tersendiri)  menurut Sutarno NS (2006) yang terpenting adalah bahwa semua proses kegiatan dapat berjalan  guna melaksanakan tugas dan fungsi perpustakaan. Sehingga untuk masing-masing ruang tersebut dapat mengikuti kondisi yang ada, dapat  juga menggabungkan  fungsi ruang tersebut.


Penataan  Koleksi  di  Rak

Ada beberapa  hal  yang perlu  diperhatikan  dalam  penataan  koleksi/buku di  rak, antara  lain:

Memudahkan untuk ditemukan kembali jika diperlukan

Mengikuti  aturan  tertentu (klasifikasi)

Disesuaikan dengan  jenis  koleksinya , misalkan dapat  dijangkau anak-anak (untuk koleksi anak), dan  untuk  koleksi  tertentu hanya  petugas  yang  dapat menjangkaunya (misalkan koleksi Audio Visual,  dll)

Penutup

Pada  prinsipnya, desain interior Perpustakaan Sekolah  dimaksudkan  agar  siswa dapat  nyaman  dan "ketagihan “ untuk  selalu  datang  ke perpustakaan  untuk  membaca, belajar atau  mencari  hiburan (melalui cerita fiksi). Dalam hal ini pihak sekolah baik  guru  pustakawan  maupun  kepala  sekolah dapat  berkreasi  sendiri  sesuai  dengan  kemampuan  sekolah. Itulah sekilas gambaran tentang Desain  interior  perpustakaan  sekolah.

sumber: pontianakpost.co.id 

Article 11

$
0
0
PEREMPUAN PUNYA CERITA



CERITA 1
Seorang perempuan meng-SMS pacarnya,
Perempuan: Yang, kamu dimana sekarang?
Pacarnya: aku lagi ngobrol bareng teman-teman di Twitter nih, sini dong, beib! Seru banget.
Perempuan : haduh,sori deh. Aku nggak bisa ninggalin Facebook ku nih.
Pacarnya : yawda deh..eh, ntar malem ketemuan yuk? Kangen.
Perempuan : Boleh. Dimana?
Pacarnya : Yahoo Messenger aja ya? Sekalian aku mo ngajakin kamu jalan2 ke blog baruku. Bisa?
Perempuan : siip! Mo dibawain apa ntar malem?
Pacarnya:  Mmm..gimana kalo sebungkus Flickr dan sekaleng Youtube?


CERITA 2

Seorang istri yang sedang menyusui bayinya merasa risih karena suaminya terus-terusan melihatnya sambil tersenyum genit.
“ Kenapa, Pa?”, tanya istrinya.
“ Mama, ASI-nya jangan dihabisin semua ya? Sisain buat Papa dong,dikiit aja.”
Dengan kesal istrinya menyahut,
“ Papa boleh minum kalo nanti ASI-nya Mama udah berubah jadi Coca-Cola.”

CERITA 3

Seorang perempuan aktivis parpol mendatangi praktek aborsi ilegal. Beberapa wartawan yang membuntutinya sejak tadi langsung berebut mewawancarainya.
“ Mo ngapain, Mbak?”
“ Men-diskualifikasikan kandungan saya.”
“Kenapa emang?”
“ saya barusan pecah kongsi sama pacar. “
“ Kok tega sih mo digugurin?”
“ Habisnya saya kesal. Masak dia walk-out begitu aja setelah menghamili saya. Karena kami nggak mencapai mufakat tentang rencana aborsi ini, terpaksa kita berdua pake suara terbanyak. Saya yang menang karena dibantu persetujuan dari janin di dalam kandungan saya.”

Sekian Episode #1 dari Cerita Pendek Namun Seksi

Berbagai Tempat Wisata di Brunei Darussalam yang Mengundang Decak Kagum

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-SobatPreneur, musim liburan sedikit lagi tiba nih! Udah siap belum guys dengan rencana liburan kamu? Hmm, jangan lupa untuk segera direncanakan, ya, guys, nanti bisa– bisa kehabisan tiket, loh. Mungkin kamu bingung, ya, guys, mau pergi ke mana untuk liburan ini, mau ke luar kota atau ke luar negeri? Hmm, nggak ada salahnya nih guys kalau kamu mencoba pengalaman baru dengan berjalan – jalan ke luar negeri.

Luar negerinya nggak perlu jauh–jauh, guys, cukup ke negeri tetangga aja biar hemat Mungkin sudah terlalu mainstream ya guys, kalau jalan–jalannya ke Singapura atau Malaysia, gimana kalau kamu mencoba untuk berjalan–jalan ke Brunei Darussalam, guys? Meskipun Brunei Darussalam masuk dalam kategori negara terkecil di dunia, tapi tempat wisata di sini juga tidak kalah menarik kok, guys.

Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien
Sumber :tempatberwisatamurah.com

Untuk menuju ke Brunei, kamu bisa memilih beberapa maskapai yang melayani penerbangan ke negara ini guys, seperti Air Asia, Garuda Indonesia, Malaysia Airlines, Singapore Airlines, Royal Brunei, dan masih banyak lagi. Tapi, jika kamu ingin terbang langsung ke Brunei (tanpa transit terlebih dulu), Royal Brunei bisa menjadi salah satu pilihan kamu, guys.

sumber: wikipedia

Royal Brunei sendiri merupakan maskapai nasional Brunei Darussalamguys, jika kamu akan menggunakan maskapai ini, kamu akan mendapatkan pengalaman terbang yang berbeda dengan maskapai pada umumnya. Karena pramugari di maskapai ini menggunakan baju yang tertutup rapi dan berjilbab. Selain itu juga, sebelum pesawat take off  kamu akan mendapati layar yang  memandu kamu untuk berdoa sebelum perjalanan. Hmm, bagus banget, ya, guys?


Sumber :catperku.com
Jika kamu ingin menggunakan maskapai ini dengan mendapatkan promo – promo tertentu, kamu bisa berlangganan newsletter guys. Dengan berlangganan, kamu bisa mendapatkan informasi mengenai promo Royal Brunei yang akan berlangsung. Atau kamu juga bisa cek di situs resmi mereka mengenai promo Royal Brunei yang sedang berlangsung.

Sambil menunggu promo dari maskapai, mungkin sebaiknya kamu merencanakan dulu, mengenai tempat– tempat yang akan kamu kunjugi di sini. Hmm, tempat apa ya yang bagus di sini?  Penasaran? Yuk langsung diliat aja,guys

1     Wisata Religi

Sebagai negara yang terkenal sebagai Negara Islam, maka tidak heran jika wisata religi yang ada di negeri ini adalah masjid. Beberapa masjid yang terkenal antara lain adalah Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien dan Masjid James 'Asr Hassanil Bolkiah.

Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien merupakan masjid yang dianggap sebagai land mark utama negara Brunei. So, jika kamu ke Brunei jangan lupa kesini ya guys, karena tempat ini sangat indah, terutama di malam hari. Karena masjid ini akan bercahaya ketika sedang gelap. Keren banget, ya? Seluruh kubah masjid ini berlapis emas, di mana jumlah kubahnya terdapat 28 buah. Hmm, wow banget, kan?
Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien
Sumber :tujuantraveller.blogspot.co.id

Eits, tunggu dulu, ternyata bukan cuma masjid ini aja loh guys yang berkubah emas, tapi Masjid Jame' Asr Hassanil Bolkiah juga memiliki 29 kubah yang seluruhnya dilapisi emas. Wow! Masjid ini juga merupakan masjid terbesar di Brunei guys, dan yang pasti masjid ini terbuka untuk umum.

sumber: youtube.com

2      Wisata Sejarah

Untuk wisata sejarah di Brunei, kamu bisa mendatangi beberapa tempat keren nih guys, seperti Royal Regalia Building, Billionth Barrel Monument, Museum Brunei, dan Kampung Ayer. Di Royal Regalia Building kamu dapat melihat berbagai koleksi kesultanan Brunei, seperti harta karun, mahkota, bahkan kereta emas. Terdapat pula gudang senjata yang dapat kamu lihat, tapi nggak boleh difoto, ya guys.


watsonbrunei.blogspot.com

Berbeda dengan Royal Regalia Building, Billionth Barrel Monument adalah monumen untuk memperingati satu miliar ton minyak yang telah diproduksi negara kaya ini. Monumen ini merupakan simbol besar bagi Kesultanan Brunei. Sedangkan untuk Museum Brunei menampilkan berbagai barang antik seperti meriam, belati, dan artefak kuno yang berasal dari kebudayaan Borneo.

3       Wisata Alam

Selain wisata religi dan wisata sejarah, kamu juga bisa nih guys berwisata alam di negeri ini. Wisata alam yang dapat kamu nikmati antara lain seperti, Taman Nasional Ulu Temburong, Sumbiling Eco Village, dan Safari Sungai.

Taman Nasional Ulu Temburong adalah taman nasional pertama yang ada di Brunei guys, yang paling menarik di sini adalah Canopy Walkaway.  Di mana kamu dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian 60 meter.  Selain menikmati pemandangan, kamu juga dapat berpetualang di sini guys. Hmm seru banget kan?

Pemandangan Taman NasionalUluTemburong
Sumber :desviafaradillah.blogspot.com


Meskipun taman nasional di negara ini hanya terdapat satu, tapi jangan khawatir guys. Karena kamu juga bisa menikmati kekayaan alam Brunei di Sumbiling Eco Village. Di mana terdapat pemukiman sederhana, beserta hutan hujan, dan keanekaragaman hayati yang indah.

Kamu juga bisa bersafari ria di sungai Brunei nih, dengan menggunakan perahu kecil kamu dapat menemukan bekantan (sejenis monyet) di tepi sungai, tepatnya di hutan bakau. Selain bekantan, kamu juga dapat menemukan buaya aneh di sungai ini. So, jaga tangan kamu untuk tidak menyetuh air, ya, guy.
Sungai Brunei Bridge
Sumber :pinterest.com

      Istana Nurul Iman

 
Sumber :wanderlustdj.blogspot.com
Istana ini merupakan kediaman resmi kesultanan Brunei guys. Istana ini terbuka untuk siapa saja ketika Hari Raya Idul Fitri selama tiga hari. Kamu mungkin akan berdecak kagum melihat istana ini, guys, karena kompleks istana seluas 200.000 meter ini dipenuhi dengan kubah emas. Kompleks istana ini disebut–sebut sebagai kompleks perumahan terbesar di dunia. Wow!

Gimana guys, banyak banget, kan, tempat wisata di Brunei yang membuat kamu tak ada habisnya berdecak kagum? So, tunggu apalagi guys, sempatkan diri kamu untuk berkunjung ke Berbagai Tempat Wisata di Brunei Darussalam yang Mengundang Decak Kagum. See you!



Maunya Lucu Malah Jadinya Garing.

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Maunya Lucu Malah Jadinya Garing. Itulah kesan saya terhadap film The Wedding & Bebek Betutu yang saya tonton beberapa hari lalu di layar kaca. Iya. Layar kaca alias via salah satu stasiun tivi. Bukan di layar lebar aka bioskop. Alasannya simpel. Tentu saja karena saya tidak mau membuang uang yang lumayan mahal untuk menonton film supergaring itu. Apalagi harga tiket di studio XXI Pontianak termasuk mahal jika dibandingkan di Jawa, misalnya. Barangkali karena saat ini doi cuma the one and only theater di Pontianak. Kapan dong nih mo nambah adek? #eh.

Bayangkan saja, di hari biasa, Senin-Kamis HTM Rp45.000. Hari Jum’at HTM Rp50.000 dan Sabtu-Minggu Rp 60.000. mending beli DVD bajakan aja, ya? Ups! Walhasil, saya menonton Film Bebek Betutu itu di  siang hari, saat iseng mencet tombol remote tivi. Tentu saja sambil mengetik artikel di rumah, yang niatnya kalau sempat ke luar mo mampir ke kafe yang ada wi-fi gratisan buat publish tulisan di blog ini. jadi, sepanjang siang sampe sore saya menonton film itu yang menurut saya asli garing banget. Genrenya nggak jelas, bo’. Ditulis sih genre: komedi; drama, tapi yah gitu deh. Mo komedi tapi nggak lucu. Drama romantis nggak juga. Horornya juga ‘nanggung’. Pokoknya asli deh bikin bête.

Film yang disutradarai Hilman Mutasi  dan penulis skenario Hilman Mutasi, S. Tomo, dan Tantri Arinta ini menampilkan aktor dan aktris yang buat saya lucunya ‘nanggung’. Ada Tora Sudiro, Aming, Edric Candra, Omesh, Sogi Indra Dhuaja, Ronald Surapradja, dan Indra Birowo. Sedang aktris utamanya Mieke Amalia, Tike dan TJ (baca:Tije). Serasa nonton X-travaganza ya? Karena kabarnya film ini memang jadi ajang reuni para pemeran X-travaganza dulu. Film ini juga diproduseri Mieke Amalia eks pemain X-travaganza yang juga istri Tora Sudiro.

Cerita mengambil setting di sebuah hotel super mewah di Bandung milik Mieke Amalia dan Ronald Surapradja sebagai Rama Sastranegara(orangtua Lana). Lana (diperankan oleh Adinda Tomas) ini pacarnya Dimas (diperankan Omesh) yang bentar lagi akan menikah. Kedua orangtua Lana menginginkan pesta sesuai adat Barat, sedang kedua orangtua Dimas (diperankan Indra Birowo dan TJ) kekeuh ingin memakai adat Jawa.  Mereka juga ingin mencicipi Bebek Betutu buatan chef hotel (Tora Sudiro). Yang membuat Tora dan Edric Candra pergi ke sebuah perkampungan di Jawa Barat untuk mencari Bebek Betutu asli. Mereka akhirnya tiba di sebuah gubuk milik seorang nenek berwajah seram (yang ternyata hantu).



Sementara itu, Omesh yang menginap di hotel milik calon mertuanya menjelang pernikahan, mengadakan bachelor party di malam sebelum pernikahan. Ia tidur dengan seorang sexy dancer dan ternyata direkam oleh karyawannya Aming yang berniat jahat menggagalkan pernikahan mereka. Singkat kata, pesta akhirnya berlangsung sesuai adat Barat yang memang diinginkan Lana dan kedua orangtuanya, lengkap dengan ‘adat’ lempar bunga oleh kedua mempelai kepada para hadirin.

Yang bisa saya simpulkan dari film ini

1.   Film ini adalah film komedi yang gagal. Saya-dan barangkali juga penonton lain-tidak tertawa sedikit pun sepanjang cerita. Beda sekali dengan film My Stupid Boss yang asli bikin ngakak. Film itu saya nonton di bioskop lho, dan saya tidak menyesal sama sekali.

2.   Tidak ada pesan moral sama sekali yang bisa diambil. Lagi-lagi jika dibandingkan dengan My stupid Boss yah emang jauh lah ya kualitasnya. Sekonyol-konyolnya My Stupid Boss, tetap ada pesan moral di akhir cerita.


3.   Promosi budaya (negatif) Barat secara berlebihan. Acara pernikahan dengan adat Barat yang (katanya) modern sampai mengalahkan adat Jawa, dan ada acara bachelor party segala yang menurutku sungguh luar biasa. Entah ada maksud tertentu apa sang sutradara atau penulis skenario menonjolkan budaya Barat  di dalam film. Mau menyindir kaum urban? Kok rasanya (lagi-lagi) nanggung, ya? Beda dengan Arisan-nya Nia Dinata yang cukup telat menyindir kelakuan kaum urban dan para sosialita ibukota. Film Arisan tidak bergenre komedi, tapi saya sangat terhibur bahkan tertawa melihat kekonyolan para sosialita itu.

4.    Mungkin satu-satunya 'pesan moral' yang bisa saya serap dari film berdurasi 110 menit ini adalah: ternyata memang tidak mudah membuat sebuah film komedia yang cerdas. Film yang membuat penonton terpingkal-pingkal tapi sekaligus dapat mengambil hikmah darinya, meski tersirat.


Tulisan ini memang sangat subjektif. Saya bukan seorang film maker mau pun penulis skenario film. Saya hanyalah seorang penonton yang merasa miris dan prihatin dengan mutu film Indonesia yang serba ‘tanggung’ sepeti film ini. Maunya Lucu Malah Jadinya Garing
Viewing all 390 articles
Browse latest View live