Quantcast
Channel: entrepreneur KREATIF
Viewing all 390 articles
Browse latest View live

Mari Berkunjung ke Museum Orangutan

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Mari Berkunjung ke Museum Orangutan

EntrepreneurKreatif.Com-Orangutan Museum beralamat di  Tamasya Puri Wisata Tour & Travel, Jalan R.E. Martadinata, No. 12, RT 004, RW 020. Kelurahan Sungai Jawi Luar. Kecamatan Pontianak Barat. Kalimantan Barat, Indonesia. Museum ini berdiri atas prakarsa Herfin Yulianto dalam rangka melestarikan hewan langka ini. museum Orangutan ini merupakan satu-satunya di dunia dan hanya terdapat di Kota Pontianak serta menjadi ciri khas Kota Pontianak.



Orangutan Museum buka  setiap hari, Senin sampai Minggu, mulai jam 13.00 wib sampai 17.00 wib. Pengunjung museum harus membuat janji untuk berkunjung ke Orangutan Museum,bisa  lewat telpon atau mengirim pesan via email di  orangutanmuseum@gmail.com. Pihak museum Orangutan tidak dapat melayani secara maksimal bagi para  tamu tanpa membuat pemesanan berkunjung dahulu.

Membeli Tiket Masuk ke Orangutan Museum berarti SobatPreneur  telah membantu mereka dalam pemgumpulan dana untuk membangun sebuah ruang museum yang lebih baik. Harga Tiket Sumbangan Rp 50.000/Orang (termasuk minuman ringan + bebas membawa kamera).  Phone : (+62561) 777889 atau  Mobile : (+62) 081256283499 – (+62) 0811576459. Bisa juga mengirim e-mail ke :  orangutanmuseum@gmail.com.

 Apa saja yang ada di Museum Orangutan ini?

Sampai kini, Orangutan Museum  telah memiliki 22 karya tentang Orangutan. Karya-karya ini adalah sumbangan dari para senimam dari berbagai negara. Karya-karya mereka dapat di akses atau dilihat pada website ini. Karya-karya ini adalah sumbangan dari 14 seniman berbakat, mereka adalah :

Herly Gaya (Jogjakarta), Pradono (Pontianak), Herfin Yulianto (Pontianak), Agus Maryadi (Kapuas Hulu), Bing Purwanto (Sanggau), Hidayat (Pontianak), Kirana Kejora (Jakarta), Indra Vijaya Ae’ (Pontianak), Ivo Trias J (Pontianak), Reza Pahlevi (Pontianak), Rudie Azbunt (Pontianak), Chandra (Pontianak), Suparman (Pontianak) and Sugeng Hendratno (Pontianak).





Tujuh

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Tujuh. Judul buku yang sangat singkat. Sesuai Judulnya, Buku ini terdiri dari 7 BAB yang membahas cara meraih sukses dalam hidup yang mana beberapa diantaranya sudah saya terapkan dan saya rasakan manfaatnya di dalam hidup saya. Hal yang paling menarik bagi saya adalah soal manajemen waktu. Orang yang sukses adalah orang yang tahu memanaj waktu. Kita diberikan modal yang sama oleh Tuhan, 24 jam sehari. Tapi mengapa ada yang sukses dan ada yang gagal? Temukan jawabannya dalam buku ini.Selain itu, Buku 7 juga membahas tips praktis dan mudah diterapkan oleh siapa saja yang ingin sukses diusia muda. Selamat Membaca 


Belajar Mencintai Kambing

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-BelajarMencintai Kambing. Terlepas dari betapa kecewanya saya membaca buku antologi cerpen berjudul Belajar mencintai Kambing karya Mahfud Ikhwan, Pemenang I Sayembara Novel Dewan kesenian Jakarta lewat novelnya Kambing dan Hujan, saya sangat menyukai lauk yang ada kambingnya. 
foto: Vivi Al-Hinduan

Bagi SobatPreneur yang berdarah Arab, tentu tidak asing lagi dengan kambing. Bisa dibilang, setiap ada acara besar seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, Pesta Pernikahan, hingga Haul dan Maulidan di kalangan keturunan Arab di Indonesia tidak terlepas dari (lauk) kambing. Memang sangat lezat sekali lauk kambing ini. setiap Hari raya tiba, saya tak ketinggalan menyantap kari kambing yang selalu tersedia di rumah Tante. Kadang, saya meratah daging kambing saja tanpa nasi/ lontong.


Tapi Nasi Kebuli dengan kuah kambing dan Roti Cane kuah Kambing tetap favorit saya. Baru-baru ini, saya juga suka makan nasi goring kambing di depan gang rumah nenek saya. Hanya Rp18.000 seporsi. Rasanya? Jangan ditanya. Secara nasi goreng adalah makanan favorit saya. Saya paling suka makan nasi goring dengan ‘toping’ apa pun, telor mata sapi, sosis, seafood, ayam, daging, dan-apalgi-kambing. Lapar, deh.


Bagi SobatPreneur yang masih takut makan daging kambing karena kolesterolnya tinggi, bisa dengan menambahkan jeruk nipis atau jeruk sambal untuk mengurangi lemak kambing. Yuk, Belajar Mencintai Kambing lewat berbagai kuliner khas Timur Tengah yang aduhai lezatnya itu. Selamat makan.

Digital Diary Itu bernama Blog

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-DigitalDiary Itu Bernama Blog. Sejak tahun 2013, saya bermimpi suatu hari kelak bisa punya sebuah diary digital canggih tempat mencurahkan segala kegalauan dan kebaperan yang ada. Jiahaha!

Tulisan ini (rencananya) akan menjadi subjudul pertama dalam buku personal literature   Diari versi digital impian saya tadi. Digital Diary sendiri merupakan proyek pribadiku. Saya sudah menulis-kembali-diari secara teratur dan sistematis sejak 1 Januari 2013 hingga sekarang sudah menghabiskan enam buah buku tulis dan pena yang tak terhitung jumlahnya.



Sebenarnya, saya nggak pengin jadi penulis. Impianku adalah menjadi seorang jurnalis alias wartawan. Serius. Tapi lagi-lagi karena kondisiku waktu itu yang belum bisa mengendarai motor (kalo naik motor sih gampang, tinggal naik aja, kan?) terpaksa saya mengurungkan niat menjadi jurnalis. Waktu itu, media aka portal online belum menjamur seperti saat ini. Paling cuma detik.com. sementara  di media-media mainstream, kita harus ngantor, kadang sampai tengah malam.

Karena belum bisa mengendarai motor, tepaksa saya ngangkot (di Pontianak istilahnya ngoplet). Kalo cuma pulang-pergi dari rumah ke kantor sih nggak masalah naik oplet, tapi kalo harus meliput ke lapangan, kan ngggak mungkin harus naik oplet? Yang pasti duit bakalan cepat habis, dan ketinggalan berita.  Akhirnya kuputuskan untuk mengurungkan niat menjadi jurnalis. Saya  akhirnya memilih menjadi penulis (fiksi) di mana bisa kerja dari rumah.

Waktu itu, di rumah ada personal computer, tapi belum punya koneksi internet (alhamdulilah sekarang sudah punya modem dan kafe wi-fi bertaburan di Pontianak). Jadilah saya mem-betah-kan diri menulis di PC. Setelah selesai menulis beberapa cerpen, saya jalan kaki ke warnet di dekat rumah. Ada dua buah warnet tak jauh dari rumahku. Jadi, kalau warnet yang satu tutup, tinggal pergi ke warnet satunya lagi. Begitu seterusnya. Modalnya cuma flashdisc  yang menyimpan cerpen-cerpen yang siap kirim. Itu kulakukan selama bertahun-tahun, dan sudah menghasilkan dua buah buku nonfiksi tahun 2011 dan 2012 silam. Terima kasih, warnet.

Jadinya, selama 10 tahun terakhir, saya lebih dikenal sebagai seorang penulis (fiksi) dibanding jurnalis. Baru pada Mei 2015 saya resmi diminta menjadi jurnalis di sebuah portal online milik seorang teman, setelah saya mahir mengendarai motor dan resmi punya SIM C.  Apakah harus turun ke lapangan tiap hari? Ternyata tidak sama sekali. Sebulan pertama, setiap bangun tidur saya langsung menyalakan laptop, mencolokkan modem ke laptop, dan mulai meng-googling-ria. Tugasku mengedit berita-berita dari berbagai sumber di media/ portal online lainnya yang seabrek jumlahnya, untuk kemudian dipublish di media online milik temanku itu. Kadang seharian kerja, mandi cuma sekali sehari. Dan sangat jarang ke luar rumah.

Saya jadi mikir, seandainya 10 tahun silam keadaan sudah seperti ini, mungkin saya nggak akan pernah jadi penulis, tapi langsung start sebagai online jurnalist. Tapi semua sudah takdir Tuhan. Seperti kata pepatah, manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Dan orang lain yang seenaknya mengomentari hidup kita di Facebook, Twitter, dan Instagram mereka.

Menjadi Blogger

Ternyata jalan hidup saya tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah menjadi penulis, jurnalis (sempat magang juga sebagai jurnalis di sebuah media besar di bawah sebuah universitas negeri terbesar di Pontianak), akhirnya saya-kembali-serius menekuni dunia blogging yang sempat saya tinggalkan dua tahun lamanya.  Dan saya juga telah menemukan sebuah diari digital dalam versi lain yang lebih simpel. Ternyata Digital Diary Itu Bernama Blog


CERPEN: IN THE NAME OF JOMBLO

$
0
0
In theName of Jomblo
Vivi Al-Hinduan



Di sebuahkost-kostan, terdengarsuaracemprengsedangberdendang.

Do! Doakanakuwisuda/ Re! Relakanakusarjana/ Mi! Misalkanakufrustasi/ Fa! Fastikankaumenyemangati/ So! Soalrevisisudahbiasa/ La! Lama-lama kelarjuga/ Si! Siapasih yang nggakmauwisuda? Do! Doadandukunganmujanganputus, ya?
Dan terdengarlahgedorankencangdarikamarsebelah, disertaiteriakanmarah,
Woy! Ngigau ya?Inibaru jam tigasubuh, tau!Lagian, emangkamupunyapacar?”

Kenalkan, namaku Vicky. Muhammad Fikri, lengkapnya. Aku seorangjomles, tepatnya, jomblo dan sekaligus jobless. Setiap pagi, kerjakucuma menuang segelas kopi instan panas, lalu duduk di depan notebooktuaku sambil main gamesKodok Zuma. Ngenes banget, ya? Tapi itu dulu. Sekarang? Tetap. Aku kuliah angkatan semester banyak, sekarang lagi skripsi. Puyeng. Kuliah nggak kelar-kelar. Kerja juga nggak ada. Pacar? Apalagi. Jones total deh.
*****
Vic, nanti malam ada pementasan teaterdi auditorium. Mia akan bacain puisi. Dia bilang, puisi itu adalah jawaban waktu kamu ‘nembak’ dia minggu lalu.”
Hah? Jawabannya lewat puisi, Jon?”
Yo’i bro, tadi Mia pesan, kamu harus datang nanti malam. Aku temanin deh.”
Oke.”

Malamnya…
Aku dan Jonas tak sabar menanti momen yang satu ini. Perlahan, muncullah sosok seorang gadis berjilbab hitam di atas panggung. Manis sekali. Pakaiannya sopan, dengan jilbab lebar menutupi dada, dan rok panjang yang lebar. Dengan tenang, ia membuka gulungan kertas di tangannya, dan membaca dengan suara lantang.
Untuk seseorang yang ada di sini malam ini, puisi ini saya persembahkan.”
Aku langsung dilanda tsunami ge-er. Bagaimana tidak, dari sekian ribu mahasiswa di universitasku, akulah yang terpilih menjadi pacar si jilbaber cantik berkacamata minus itu. Mia mulai membaca puisinya yang ia persembahkan untukku. Hanya untukku.
Mia membaca puisinya, Atas nama jomblo, aku bersumpah. Aku tak mau menjadi seperti hape touchscreen. Setelah puas disentuh, diraba, dielus, dicium, giliran rusaksedikit, langsung kau jual murah. Atas nama jomblo, aku bersumpah, maafkan aku yang belum siap menyelipkanmu dalam lembaran hidupku.”
Serentak, aku dan Jonas saling berpandangan dan berkata, “Anjiirr!”
*****
Kadang hidup ini enggak semulus pahanya Nikita Willy. Dan kesempatan yang ada tidak seluas jidatnya Christina Ricci.Itu pesan yang selalu kuingat dari Mbah Suweng, seorang kakek jomblo tetangga sebelah kost ku. Mbah Suweng yang berumur akhir enam puluhan itu selalu memanggilku dan teman-teman se-kostku dengan sebutan Kisanak, mungkin ia keseringan baca serial Wiro Sableng.Mbah Suweng punya masa lalu yang kelam. Mantan copet, jago nyantet, sampai suka ngepet pernah ia lakoni.
Woles aja, Kisanak.Mbah aja udah umur segini masih perjaka tulen. Mahal loh harganya.”
Masak sih ndak ada satu cewekpun yang naksir Mbah? Mbah kan mantan pejuang. Patriotik banget.”
Mbah terdiam sesaat, sebelum melanjutkan,
Hmm..dulu ada seorang perawat, namanya Leha, alias Levita Hasibuan. Cantik kayak Lulu Tobing. Mbah demen.”
Terus, Mbah?”
Yah, gitu deh. Dia ternyata sudah punya tunangan. Tentara. Kalah saing dong si Mbah, Kisanak.”
Yah, nasib.”
Tapi tahun lalu waktu si Mbah ketemu si Leha, dia bilang suaminya yang tentara itu sudah meninggal lima tahun silam.”
Wah, boleh tuh Mbah.”
Boleh apa?”
Balik lagi sama Leha.”
Ndak mau ah. Terakhir waktu si Mbah ketemu, dia udah kayak cabe-cabean keriput.”
........”
*****
Sebenarnyaakupernahsekali pacaran, waktu semester tiga. Teman-temankubilang, sayangkalauketampanansistemik yang kumilikiinisia-sia. Makamerekasepakat mengenalkankudenganseorangcewek yang ngekosttakjauhdarikost-kostan kami. NamanyaRuri. Kecantikannyaholistik. Malamitu, denganniatpedekatekekostnya, akumeminjamvespa butut Supardi, temankostku, yang jugatemansatukampusRuri.
Carisiapa, Mas?”
Ruriada?”
Pacarnya, ya?”
Bukan. Cuma teman, kok.”
Boong. Pasti pacarnya.”
Idih, kepo banget. Sotoy lagi.
Oke, bentar, ya?”
Lima menit kemudian, dari lantai atas, turun seorang cewek berkulit coklat sehat, dengan muka semulus motor bututku yang baru dicat ulang. Ruri memakai daster tipis. Busyet dah! Benar-benar holistik. Kayak habis operasi plastik. Aku langsung pasang senyum tiga jari dua senti ala para sales person.
Kamu pasti Vicky ya, yang temannya Pardi?”
Yup.Bener banget.”
Duduk di luar, yuk.”
Oke.”
Kami duduk di teraskostnya. Tiba-tiba smartphone Ruri berbunyi. Sepertinya sebuah pesan masuk ke smartphonenya.
Ih,sebeldeh! Dasariseng! Ruri paling sebelkalo anak-anak suka ‘gigibiru’ gambar-gambar porno kayak gini.”
Gigi biru?Maksudnya?
Iya. Bluetooth, tau!”ujarRurisambilmenghapus gambar kiriman itu.Ia kembali melanjutkan,
Kami di Sastra Indonesia itu diwajibkan oleh dosen untuk berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar setiap hari di kampus. Kami sebisa mungkin mengartikan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.”
Oo..”akubengong.
Malam-malamberikutnya, sejak kami resmi pacaran, aku mulai sering ngapelin Ruri di kostnya. Dan malam itu adalah malam ulang tahunku dan tepat sebulan kita jadian. Aku pengen banget dapat hadiah istimewa dari pacarku. Aku duduk dengan sabar di kursi depan kost Ruri.Kostnya sepi. Semua temannya pada keluar dengan pacar mereka masing-masing.Tak lama, Ruri turun dari kamarnya dan menghampiriku.Malam itu dia kelihatan seksi sekali, dengan baju birunya yang tipis dan celana pendeknya. Tiba-tiba, pikiran nakal berkelebat di otakku. Mumpung sepi, batinku.
Beib, met ultahya.”
Hadiahnya mana?”
Mau hadiah apa?”
Cium aku dong.”
Ruri mengecup pipiku.Terasa lengket dan basah. Seperti waktu aku dicium lumba-lumba di Dufan waktu aku kecil dulu.
Yah, masak cuma pipi? Bibir dong.”
Ih, nggak mau ah.”
Ayo dong, Yang. Nggak ada yang liat, kok. Nyante aja.”
Ruri ragu sejenak.
Kalo nggak mau kita putus aja, deh.”
Ih, kok kamu gitu sih, beib? Tega banget.”
Makanya, cepetan.Ntar mereka keburu pulang.”
Dan bibir kami saling berdekatan, siap berpagut. Tiba-tiba terciumlah bau amis yang aneh dari bibir pacarku. Spontan, aku menarik bibirku menjauhi bibirnya.
Kenapa, beib?”
Eeng, kamu habis makan apa sih? Kok baunya aneh?”
Oh, sori. Barusan aku habis makan sambal goreng belut. Aku beli di kantin yang baru buka itu loh. Enak banget. Kamu mau? Masih ada separuh di kamarku.”
Kamu kok...cantik-cantik hobinya makan belut?”
Baru tau ya?Udah lama kok.Ibuku di kampungsukamasakbelutgorengkesukaanku.Kadangdibikinkerupuk.”
Dan seketikaperutkumual.Jadi, lengketdanbasah di pipikuinibekassibelutitu?
Sori, akupulangduluya.Perutku mulasnih.”
Besoknya, seharian nafsu makanku hilang. Dan bauamisbekassambalgorengbelut itutidakhilang-hilang.
***
Busyet tuh dosen! Pake rok ‘setengah tiang’, sob!”
Waduh, aku mau dong jadi tisu WC nya.Sumpit dah!”
Eh, sekarang jadi rajin ke kampus lagi ya, Bang? Mentang-mentangadadosenseksi.Cakep lagi.”
Akuterpaksa, nih. Kalaubisakubuang, udah kubuang mata kuliah ini. Masak aku ngulang sampe tiga kali?”
Masak sih, Bang? AbangngulangMetodologiPenelitiansampetiga kali?”
Bukan ngulang, sih. Pendalaman materi.”
Yaelah..ngeles lagi.”
Kok sampe ngulang, Bang? Tiga kali lagi?”
Soalnya yangpertamaakudikasih E sama Pak Umam gara-gara ngetawain kaos kakinya yang bedawarna. Tahundepannyaakungulanglagisama Pak Umam, dikasih D.Sekarangterakhir kali akungulang. Dikasih C akuterimadeh, daripadanggakbisaskripsi.”
Tenangaja, Bang.Pak Umamsekaranglagilanjut S3 di Jerman. IbuIke yang cakepini yang gantiindiasekarang.”
Dengar-dengar sih masih jomblo.”
Masak sih?”
Iya, Bang, pacarin aja sekalian. Siapa tau bisa dapat A.”
*****
Malamnya di kamarku
Sob, tadi aku chat sama teman di Facebook. Dia juga sering komentar di blogku. Dia tertarik menerbitkan tulisan-tulisanku di blog ke dalam buku,” kataku.
Wah, cakep lu. Keren! Mo bikin teenlitya, Vic?”tanya Jonas.
Bukan teenlit. Kalo kisah nyata namanya pelit, personal literature.”
Tulisan tentang apa, Vic?” Dewa nimbrung.
Tentang kesialanku selama ini. Kuliah nggak kelar-kelar. Harus ngulang Metodologi Penelitian sampe tiga kali. Terancam drop out. Dan sampe sekarang masih jomblo.”
Keren tuh, Vic. Kapan mau diterbitkan?”tanya Dede.
Belum tau. Aku aja lagi pusing mikirin nama penaku. Masak Muhammad Fikri? Biasa banget. Ada saran nggak?”
Tiba-tiba, Mbah Suweng, yang sedari tadi cuma diam sambil ngemut kacang, menyahut,”Gini aja, Kisanak. Kisanak kan jomblo permanen sekaligus jobless. Si Mbah saranin Kisanak pake nama pena Vicky the Jomless. Gimana?”
Trus judul pelit yang keren apa ya? Saran dong, sob.”
The Journey of Jomblo aja, Vic,”saran Dedi.
Yah, kayak backpacker jomblo aja. Nggak asik banget.”
Jomblo kepincut suster ngesot,” saran Ivan.
Emangnya aku mo bikin cerita horor kacangan?”
Kisanak, Si Mbah kasih saran boleh?”
Boleh, Mbah. Boleh banget.”
Gimana kalo judulnya In the Name of Jombloaja. Piye to?”
Kami semua setuju. Dan malam itu, aku mulai menulis sampe subuh. Pada halaman pertama aku menulis kalimat: Buat semua cewek yang pernah nge-kost di hatiku, maupun yang cuma numpang lewat, personalliteratureperdanaku ini kupersembahkan.

Enam bulan kemudian...
Suasana toko buku terbesar di kotaku itu begitu semarak. Dan akulah pusat dari semua kesemarakan itu. Hari ini aku dan penerbitku melaunching pelit perdanaku, In the Name ofJomblo. Beberapa pembeli berbaris rapi, rata-rata ABG cewek. Mereka mengantri untuk mendapatkan tanda tanganku. Aku merasa seperti seorang sarjana yang akhirnya diwisuda juga. Untuk menambah kemeriahan acara, aku menyuruh Mbah Suweng dan Jonas membeli snack untuk pengganti makan siang kami.Maklum, royaltinya belum cair.
Setelah acara usai, aku menghampiri teman-teman yang sudah menunggu di kafe. Aku memesan cappuccino kesukaanku.
Snacknya mana, Mbah?”
Mbah Suweng melempar sebungkus snack ke atas meja.
Aduh, Kisanak. Gigi si Mbah hampir copot gara-gara snack sialan itu.”
Iya,Vic. Nyesel banget belinya. Habis kita buru-buru sih, main sambar aja,” kata Jonas.
Jangan dimakan, Vic. Rasanya aneh,” sahut Dedi
Penasaran, aku melihat bungkus snack itu. Tertera tulisan dengan huruf besar SNACK BELUT GORENG dengan merek yang sangat kukenal: GIGI BIRU.
Pontianak, 2 April 2014


CERPEN: REMBULAN MERAH JINGGA

$
0
0
Rembulan Merah Jingga
Vivi Al-Hinduan
Jingga duduk menatap rembulan yang temaram dari jendela kamarnya. Sesekali ia melirik buku tulis di meja belajarnya. Ia bosan dan benci sekali mengerjakan PR Matematika itu. Memangnya kalo PR Matematika ini dapat nilai 100, kelak aku bisa sekaya Bob Sadino apa? batin Jingga. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, kembali menatap Sang Rembulan. Rembulan itu tertutup kabut tipis. Warnanya merah, lebih merah dari darah. Siluet makhluk raksasa mengerikan bergerak-gerak di dalamnya, seperti ingin berontak. Tiba-tiba makhluk itu melambaikan tangan padanya, memanggilnya. Jingga menutup tirai jendela. Ia berlari keluar kamar, menghampiri ibunya yang tengah asyik menonton sinetron.
Ma, ada makhluk aneh di dalam rembulan merah.”
Aduh, kamu jangan suka ngayal yang enggak-enggak deh. Tidur, gih! Mama mau nonton jadi keganggu nih. Mana sinetronnya lagi seru banget.”
Tapi, Ma..”
Udah, Jingga. Tidur sana! besok kamu harus sekolah.”
Yaah, sekolah lagi. Aku bosan!”
Jingga!”
Kenapa sih harus sekolah? Kenapa Mama selalu memaksaku jadi juara kelas? Mama tahu nggak, Bill Gate, Ted Turner, Bob Sadino, hingga perancang busana Tex Sevario asal Indonesia yang merancang busana untuk Lady Gaga, semuanya sekolahnya tidak selesai. Mereka bukan juara kelas. Tapi mereka semua kaya raya. Setidaknya jauh lebih kaya dari kita.”
Jingga, cukup! Masuk ke kamarmu sekarang juga!”
Jingga berlari ke kamarnya dengan kesal dan galau. Ia mengintip dari balik tirai jendela. Makhluk raksasa aneh tak berjenis kelamin itu telah berhasil keluar dari rembulan merah. Ia merayap turun ke bumi. Tangannya yang panjang dan besar menyentuh atap-atap rumah penduduk. Tiba-tiba makhluk itu membelah diri menjadi jutaan makhluk-makhluk kecil. Mereka masuk ke rumah-rumah penduduk. Jingga menutup tirai jendela dan mematikan lampu. Ia menggigil ketakutan.
***
Jingga berkali-kali mengucek matanya. Rasanya seperti mimpi. Makhluk aneh tak berjenis kelamin itu muncul di layar televisi saat jeda iklan, ketika Jingga dan Mbak Yun, pembantunya, sedang asyik menonton acara infotainment selebritis tanah air.
Mbak Yun? ”
Iya, Non?”
Mbak Yun liat nggak itu di tivi?”
Liat apa, Non?”
Makhluk rembulan merah.”
Hah? Non Jingga ngigau ya? Nggak ada apa-apa tuh, cuma iklan doang.”
Acara infotainment berlanjut kembali. Dilayar televisi 29 inci itu muncul makhluk-makhluk rembulan merah, ramai sekali. Mereka menyamar sebagai selebritis yang sedang berduka, selebritis yang sedang bahagia. Selebritis banyak uang, selebritis banyak hutang. Selebritis hobi menikah, selebritis hobi berpisah… dan menikah lagi. Jingga merasa kepalanya pusing. Ia berlari ke kamarnya. Mbak Yun tertawa melihat aksi makhluk rembulan merah di televisi.
Jingga mengunci pintu kamarnya. Ia menghidupkan laptop. Dilayar muncul makhluk-makhluk rembulan merah. Mereka tertawa-tawa gembira. Jingga membuka gamesdi laptopnya. Semua games berisi makhluk-makhluk rembulan merah. Mereka menjadi tokoh utama semua gamesdi laptopnya. Jingga baru saja hendak mematikan gamesketika makhluk itu menyapanya,
Jingga, ayo masuk kesini! Bermainlah bersama kami.”
Kau berbicara denganku?”
Iya, Jingga. Ayo sini! Kami datang untuk menghibur anak-anak yang kesepian sepertimu.”
Bagaimana caranya aku bisa masuk ke dalam sana?”
Masuklah ke dalam laptopmu.”
Jingga menurutinya. Ia masuk ke dalam laptopnya.
Wow, menakjubkan! Aku ingin bermain sepuasnya di sini.”, Jingga berseru girang.
Bermainlah sepuasnya, Jingga. Kapanpun kau inginkan.”, kata makhluk itu.
Jingga berlari sepuasnya di dunia barunya itu. Dunia yang sangat menyenangkan. Di mana tak ada PR yang harus ia kerjakan. Di mana ia mendapat banyak teman baru, para makhluk rembulan merah yang siap menemaninya bermain atau sekedar mendengarkan curahan hatinya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orangtuanya. Jingga berjanji akan sering-sering bermain di dunia barunya itu.
***
Berita tentang makhluk rembulan merah yang turun ke bumi untuk menghibur anak-anak yang kesepian, tersebar ke seantero negeri. Mereka muncul di televisi, di games, di laptop, di situs-situs internet, bahkan dilayar ponsel, tablet, dan Blackberry anak-anak di kota. Mereka bernyanyi, menari, bermain bersama anak-anak yang orangtua mereka tidak pernah punya waktu sedetikpun untuk bermain bersama anak-anak mereka.
Dalam sekejap, makhluk-makhluk rembulan merah telah menjadi sahabat baik sekaligus pengasuh anak-anak di kota. Anak-anak itu sangat bahagia bersama makhluk-makhluk rembulan merah. Bahkan mereka jauh lebih bahagia bersama makhluk itu dibanding ketika mereka berada di dekat orangtua mereka sendiri.



Hari ini Hari Minggu, berita tentang makhluk rembulan merah dimuat di koran. Jingga membawa koran itu ke ruang kerja Papa.
Papa?”
Hmm?”
Papa udah baca belum berita tentang makhluk jadi-jadian yang keluar dari rembulan merah? Mereka muncul di tivi, di video games,di situs internet, di handphone, di tablet, dan di Blackberry. Mereka menghibur anak-anak yang kesepian sepertiku.”
Jingga, kamu liat nggak kalo Papa lagi sibuk? Tolong jangan ganggu Papa!”
Jingga terdiam.
Udah, pergi sana! Papa mau kerja.”
Jingga berlari ke kamarnya. Ia menghidupkan laptop dan masuk ke dalam games. Ia bermain sepuasnya bersama makhluk-makhluk rembulan merah.
***
Negara gempar. Orangtua panik. Sekolah-sekolah heboh. Beberapa anak dikabarkan hilang, diculik makhluk-makhluk rembulan merah. Semua koran memuat berita itu. Beberapa tokoh masyarakat asyik berdebat di televisi.
Ini bencana nasional. Anak-anak yang kita harapkan dapat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan negeri ini telah diculik makhluk rembulan merah. Sebentar lagi kita akan mengalami lost generation.”, kata seorang pengamat sosial yang titelnya berderet-deret, lebih panjang dari namanya.
Di masjid-masjid dan surau-suraupun berita penculikan itu dibahas. Seorang khatib berkoar-koar memberi khotbah pada shalat Jum’at.
Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok. Apa jadinya pemimpin kita esok hari, jika pemuda kita hari ini telah jauh dari ajaran Islam? Dan anak-anak kita telah larut dalam bujuk rayu makhluk rembulan merah. Kini mereka hilang. Raib. Ini akibat kesalahan kita para orang tua.”
Emang gue pikirin? Gue kawin aja belom, bodo amat. kata seorang jamaah di dalam hati.
Para jamaah sholat Jum’at yang lain sibuk memencet tombol ponsel pintarmereka, mengirim dan membaca SMS. Ada juga yang asik ber-BBM ria. Yang lain sibuk melihat gambar-gambar yang menggoda dari makhluk-makhluk rembulan merah yang saling menggoda satu sama lain di layar tablet mereka.
Meskipun gempar karena sebagian besar murid-murid telah raib, namun sekolah-sekolah di seluruh pelosok negeri tetap berjalan seperti biasa. Para guru tak pernah berhenti menjejalkan teori-teori ke otak kiri para siswa mereka setiap hari, tak pernah sedikitpun terlintas dalam benak mereka bahwa teori-teori itu tak berguna sama sekali bagi masa depan mereka kelak. Sementara anak-anak itu telah larut dalam bujuk rayu makhluk-makhluk rembulan merah karena mereka tidak tahu mau jadi apa mereka kelak, dan sekolah tidak pernah mau tau tentang itu, pun orangtua mereka.
***
Di langit, rembulan merah semakin membara. Anak-anak manusia telah terperangkap di dalam rembulan merah. Mereka berteriak, menangis, marah, menjerit-jerit, dan memohon kepada para makhluk jadi-jadian itu agar sudi melepaskan mereka dari rembulan merah. Mereka ingin kembali ke bumi. Mereka ingin melanjutkan hidup. Mereka ingin meraih masa depan yang semakin suram dan tak menentu. Mereka ingin menghidupkan kembali mimpi-mimpi indah yang telah lama redup dari diri mereka.
Diantara anak-anak itu, tampaklah Jingga yang tak henti menangis. Wajahnya pias. Ia tak berhenti memohon agar kedua orangtuanya membebaskannya dari sekapan para makhluk rembulan merah. Agar mereka sudi meluangkan waktu untuknya barang sekejap. Namun mereka tak mendengarnya. Mereka bahkan tak menyadari kalau Jingga telah diculik makhluk rembulan merah. Mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Tangis anak-anak yang terperangkap dalam rembulan merah telah mewujud tetes-tetes darah yang perlahan menetes dari rembulan merah. Tetesan darah itu tak henti menggenangi bumi, laksana tetesan darah yang menetes dari rahim ibu pertiwi yang merana menyaksikan nasib anak-anak negeri.
***
Setahun kemudian, seorang ibu bersama putranya duduk menatap rembulan merah yang berselimut kabut tipis dari beranda rumah mereka, di malam yang kelam.
Tidakkah kau lihat rembulan itu, Nak? Warnanya merah beringas. Di dalamnya bermukim monster yang ganas. Monster yang bermata nyalang dan garang, siap mengganyang.”
Aku melihatnya, Bunda. Monster yang keluar dari rembulan merah. Dia turun merayap, siap menyantap. Lahap melumat.”
Tidakkah kau tahu monster apa itu, Nak? Itulah sang angkara murka. Yang telah mencabik-cabik jati diri anak bangsa.”
Aku tahu, Bunda. Monster itu bernama Jingga.”


Pontianak, 23 Januari 2012

CERPEN : SANG PROFESOR

$
0
0
Sang  Profesor*)
Vivi Al-Hinduan
*)Telah dimuat di Majalah Noor Edisi November 2010


Hari Sabtu ini berbeda dengan sabtu-sabtu sebelumnya. Hari ini suasana Universitas Tanah Air sangat meriah. UTA, demikian masyarakat meyebut nama universitas negeri favorit di Pontianak itu, akan mengadakan acara wisuda. Sekitar  1.500 wisudawan beserta ribuan orangtua dan kerabat mereka telah memenuhi auditorium  lantai  1 dan 2 sejak pagi. Bahkan beberapa kerabat mereka yang tidak kebagian tempat di dalam auditorium duduk diluar, menyaksikan acara dari dua buah layar proyektor besar.
Wisuda kali ini juga berbeda dari wisuda-wisuda sebelumnya. Tepat sebulan lalu, Prof. Naya Syailendra dilantik menjadi rektor UTA. Wanita yang berusia 45 tahun itu merupakan rektor sekaligus guru besar wanita pertama dan termuda dalam sejarah UTA.  Bahkan atas prestasinya itu, Prof. Syailendra mendapat penghargaan dari MURI.


Sebelum acara puncak berupa prosesi wisuda, sang rektor dipersilahkan naik ke podium untuk memberi kata sambutan,
“ Adik-adik sekalian, sebentar lagi kalian akan berganti status dari mahasiswa menjadi sarjana. Dan dalam beberapa detik kemudian, sebagian besar dari kalian akan berganti status lagi dari sarjana menjadi pengangguran. Dan saya takut, status terakhir itu agak lama kalian sandang.  Adik-adik sekalian, saya mewakili pihak universitas, memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian dan orangtua kalian yang susah-payah menguliahkan kalian disini. Bahkan mereka ada yang sampai menjual sawah, tanah, bahkan berhutang di bank dan rentenir demi biaya kuliah kalian. Tapi apa yang telah kami berikan pada kalian? Selembar ijazah S1. Ya, hanya itu. Bukankah itu yang kalian inginkan?”


Sunyi merayapi ruangan. Mereka menunggu sang profesor melanjutkan pidatonya.
“ Hmm…tolong sampaikan pesan saya buat adik-adik kalian yang saat ini sedang duduk di bangku kelas 3 SMA. Jika ingin menjadi seorang sarjana teknik, pertanian, sastra, ekonomi, dan hukum, silahkan datang kemari. Kami akan memberimu selembar ijazah. Pajanglah ijazah itu diruang tamu kalian,bilang pada semua tetangga kalau anak Bapak dan Ibu telah lulus cumlaude dari UTA. Mmm, bukankah itu prestasi yang sangat membanggakan? Cumlaude dengan IPK 3,85. Tanpa peduli kalau nilai itu mereka peroleh dengan menyontek, menyogok dosen pengampu mata kuliah tersebut, atau belajar mati-matian menghapal diktat tebal berbahasa asing yang sama sekali tak berguna di kehidupan nyata mu kelak. Who cares? Siapa yang peduli dengan proses? Bukankah tujuan akhir kalian kuliah hanya demi selembar ijazah S1 ? apa ilmu yang didapat seorang sarjana pertanian yang lulus cumlaude? Kok saya lebih banyak melihat mereka di bank dibanding di sawah? Bahkan mungkin seorang mahasiswa ekonomi selama kuliah tidak pernah melihat wujud asli selembar saham, apalagi masuk ke bursa efek atau perusahaan pialang. Kalau begitu, apa yang bisa kita harapkan dari manusia-manusia teori itu? Nol besar! “
Kembali sunyi. Para guru besar dideretan depan saling berbisik. Sang Profesor kembali melanjutkan,


“ Saya salut melihat bisnis penulisan skripsi yang sangat marak dikampus kita. Skripsi yang mestinya harus kalian buat sendiri ternyata berisi pemikiran orang lain. Bahkan saya mendengar selentingan, ada beberapa dosen disini yang punya side jobmembuatkan skripsi mahasiswanya. Luar biasa! Siapa yang harus disalahkan? Universitas hanya akan memberimu selembar ijazah, Nak. Bukan ilmu. Kalau ingin ilmu tempatnya bukan disini, tapi diluar sana. Selamat berjuang!”


Sang Profesor turun dari podium dan berjalan menuju tempat duduknya. Auditorium sunyi senyap dan tegang, dalam ketegangan yang dapat memutuskan sehelai kawat. Tiba-tiba, dari deretan wisudawan paling belakang terdengar tepukan tangan yang terdengar lantang di ruangan besar itu. Lalu beberapa tepukan tangan terdengar di sisi kiri ruangan, bagian tengah barisan, dan lantai dua. Dan seperti kanker ganas, tepukan meriah menyebar dan terdengar  bagai gemuruh diseluruh auditorium, bahkan sampai diluar auditorium UTA. Sang Profesor menghentikan langkahnya. Sejenak pikirannya melayang ke masa silam. Beberapa wajah para Guru Besar memerah. Menahan marah atau malu, entahlah.
************


Beberapa wartawan media cetak dan televisi memenuhi ruangan rektorat kampus UTA. Hari itu adalah hari yang paling bersejarah bagi UTA. Seorang Guru Besar wanita yang baru berusia 45 tahun akan dilantik menjadi rektor. Prof. Dr. Ir. Naya Syailendra, M. Eng, lulusan summa cumlaude dari Jerman itu akan dilantik menjadi rektor sekaligus menerima penghargaan dari MURI sebagai rektor wanita termuda pertama di Indonesia. Seorang wartawan dari stasiun televisi nasional sedang melakukan wawancara ekslusif bersama sang rektor,

“ Prof. Syailendra, selamat atas pelantikan anda sebagai rektor sekaligus mendapat perhargaan dari MURI atas prestasi anda. Sangat menginspirasi generasi muda kita.”

“ Terima kasih.”
“ Bisa cerita sedikit tentang masa kecil anda?”

“ Masa kecilku sangat bahagia. Saya lahir di desa, anak pertama dari enam bersaudara yang semuanya perempuan. Ayah saya seorang lulusan sekolah teknik setingkat SMP. Beliau sangat mencintai kami dan selalu mendorong kami untuk meraih mimpi, seliar atau sesederhana apapun impian kami. Ayah sangat senang mengutak-atik vespanya dan barang-barang elektronik dirumah. Impiannya adalah menjadi seorang insinyur dan meraih gelar seperti yang saya sandang saat ini.”
“ dan ibu anda?”
“ Oh, ibu adalah anugerah terindah bagi kami. Beliau seorang wanita yang sangat lembut, penuh kasih terhadap anaknya. Saya sangat beruntung menjadi anaknya.”
“ Prof, setelah semua yang anda peroleh hingga saat ini, adakah impian anda yang belum terwujud?”
“ Mmm, sebenarnya semua yang saya peroleh saat ini adalah impian ayah saya yang terwujud melalui saya. Saya sebagai putri sulungnya sangat ia harapkan dapat mewujudkan impiannya, karena ia tidak mungkin mengharap orang lain untuk mewujudkan itu, selain putrinya sendiri.”
“ Lalu impian anda sendiri apa?”
“ Sederhana. Kalau saja waktu bisa kuputar kembali, saya tidak ingin sekolah setinggi ini. Saya ingin bertualang ke kutub utara bersama adikku yang nomor tiga, Natasya. Jujur, saya iri dengan Tasya yang berhasil mewujudkan mimpinya. Ia senang dengan aktivitas outdoorsejak kecil, dan hobinya adalah bertualang. Sekarang ia tinggal di Belanda dan menikah dengan pria warga Belanda. Bekerja di LSM yang peduli terhadap pelestarian lingkungan. Bahkan adik saya yang nomor empat, Nasywa pun berhasil mewujudkan mimpinya yang sederhana, menjadi ibu rumah tangga. So simple, right?”

“ Lalu kapan anda akan mewujudkan mimpi anda, Profesor?”
“ Entahlah. Yang pasti bukan saat ini.”
“ Oke, terima kasih Prof. Syailendra.”
“ Sama-sama.”

***********
Naya tersenyum miris melihat foto hitam putih yang dipajang di dinding kamarnya. Seorang pria setengah baya tersenyum memamerkan vespa antiknya yang telah di modifikasi. Diatas jok vespa, terdapat sebuah karton bertuliskan Prof. Dr. Ir. Nakula Syailendra. Tepat disampingnya, sertifikat dari MURI terbingkai indah dengan pigura berwarna emas. Ayah, aku sudah berhasil mewujudkan mimpimu, bahkan lebih dari yang kau bayangkan. Kau benar, menjadi sarjana itu lebih daripada sekedar mendapat selembar ijazah S1, dan aku sudah membuktikannya. Semoga kau tenang di alam sana…

Naya menghempaskan tubuh ke sofa. Sejenak pikirannya melayang ke masa silam, kelas 1 SMP di sebuah pedesaan di Kalbar…

“ Anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan lima fungsi lain buku tulis selain untuk ditulisi?” Tanya Bu Guru.

“ Untuk menyembunyikan bakwan dari kantin, Bu.” Sahut Agus yang disambut tawa riuh seisi kelas. Bu Guru tersenyum.

“ Ada lagi yang bisa menyebutkan? Rino Saputra?”

Rino, pemuda kurus berkacamata tebal tersentak.

“ Untuk menulis puisi cinta, Bu.”

Seisi kelas tertawa.

“ Itu sama juga artinya ditulisi, Rino. Ngomong-ngomong, buat siapa puisi itu kamu tulis, Naya Syailendra?”

Naya yang tengah asyik membaca komik tersentak kaget. Semua mata tertuju padanya. Dengan tergugup Naya menjawab,

“ Selain untuk ditulisi, buku juga berguna untuk menepuk lalat, dipakai untuk menyembunyikan foto dan surat cinta, kalau digulung bisa dijadikan teropong, kalau sudah bosan tinggal dibakar, dan juga untuk menampar orang…”


Plaak! Plaak!

Tamparan keras mendarat di kedua pipinya. Naya merasa kepalanya pusing. Setetes
darah kental mengalir dari bibirnya.

“ Anak bodoh! Sudah berapa kali aku bilang, kau harus selalu dapat nilai sepuluh setiap pelajaran. Apa kau tau, berapa banyak yang sudah kami korbankan untuk sekolahmu?”

Naya terdiam. Lelaki dihadapannya menghisap rokok dan kembali meneguk sebotol arak.

“ Nay, kemarin Mr. Lim datang kesini membawa Nola ke Singapura.”

“ Apa? Maksud Ibu, Nola diju..”

“ Ya. Kita terpaksa harus menjual adikmu demi sekolahmu, Nay. Apa kamu pernah memikirkan itu?”

Naya lemas. Setelah Nola, siapa lagi yang harus dikorbankan?demi aku?

Naya tersadar dari lamunannya. Ia menuju ke dapur dan mengambil obat tidur dari dalam lemari es. Ach! Kenapa bayangan itu selalu menghantuiku? Naya duduk dikursi makan, kepalanya terasa berat. Bayangan masa kecil berkelebat di ingatannya.

“ Dasar kalian anak perempuan tidak berguna! Tidak ada satupun yang bisa diharapkan menjadi penerusku.” Nakula meneguk kembali araknya.

Bayangan itu berganti..

“ Nay,sini! Aku ingin menunjukkan rumah pohon yang kubuat dibelakang sana. Ayo, ikut aku!” Natasya menarik tangan Naya.

“ Ssst,,pelan-pelan. Kalau Ibu tahu kita tidak tidur siang, dia akan memukul kita lagi dengan rotan itu.”

Naya seperti mendengar suara dari masa lalunya…

“ Suatu saat nanti aku akan lari dari sini. Pergi jauh, jauuuh sekali…Kau mau ikut aku kan, Nay?” bisik Nola suatu malam ketika mereka berdua tidak diberi makan malam itu dan dikunci di WC.

Tidaaaak..! cukup! Aku sudah tidak tahan lagi.

Tapi bayangan itu kembali menghantuinya.

“ Ibu, apa yang Ibu lakukan? Apa salah mereka?”

“ Aku hanya mengajari mereka disiplin. Mereka tidak memberi Nanda susu, malah asyik bermain petak umpat. Dasar anak nakal.” Sahut sang ibu sambil menyalakan rokok nya.

“ Tapi Bu, mereka masih terlalu kecil..”

“ Diam kau! Jangan coba-coba mengajariku.”

Naya melihat kondisi Nasywa dan Nuna, adik keempat dan kelima yang berumur 6 dan5 tahun. Mereka menangis. Bilur-bilur biru lebam menghiasi kedua paha mungil mereka.

Naya menangis tersedu. Apakah hanya karena lupa memberi Nanda susu, mereka harus menerima semua ini?kenapa aku harus terlahir dari orangtua seperti mereka? Kenapa Tuhan begitu tak adil pada kami? Apa salah kami?

“ Naya, kamu anak yang cerdas. Ibu yakin suatu saat nanti kamu pasti berhasil meraih semua cita-citamu, Nak. Jangan pernah menyesali keadaanmu. Kita memang tak bisa menentukan arah angin, tapi kita dapat merubah layar kita, kan?” ujar Bu Guru sambil mengusap lembut rambut Naya. Naya melihat rapornya. Ia kembali mendapat juara pertama pada kenaikan kelas kali ini.

“ Naya, selamat ya. Kamu dapat beasiswa ke ITB.”

“ Selamat ya, Nay, jadi mahasiswa PMDK..”

Teman-teman SMA menyalaminya. Naya hanya tersenyum tipis.

Dimalam sebelum keberangkatannya ke Bandung, semua keluarga mengerumuninya. Sambil terbatuk, Nakula berpesan pada Naya,

“ Kuliah lah yang benar. Aku yakin, kau akan menjadi seorang insinyur. Dan kuharap, kau selalu mengingat ini. Menjadi seorang sarjana itu lebih dari sekedar mendapat selembar ijazah S1. kau mengerti?”

Naya mengangguk.

“ Nay, jangan lupa. Jelajahilah dunia sepuasnya. Ceritakan padaku segala keindahan alam yang kau lihat disana. Kirimi aku surat, ya.” Ujar Natasya.

Malam itu, Naya duduk diranjangnya. Airmata mengalir di pipinya.
“ Nay, jangan nangis. Insya Allah aku baik-baik saja disana.”

Minggu depan Natasya akan berangkat ke Malaysia, bekerja sebagai TKW. Dan entah kapan bisa kembali ke Indonesia.
“ Nay, aku mungkin tidak akan pernah meraih mimpiku berkeliling dunia. Tapi aku tidak sedih, karena kuyakin kakak ku yang cerdas ini pasti akan membantuku mewujudkannya. Benar kan, Nay?”

Naya tak kuasa menahan tangisnya. Ia memeluk adiknya erat-erat dan tak ingin melepaskannya.

Malam itu, sebelum memejamkan mata, Naya bersumpah bahwa ia pasti akan membuktikan pada ayahnya, bahwa ia mampu meraih lebih dari apa yang di impikan Nakula selama ini. Dan Naya pun terlelap.



Dilema Kemajuan Teknologi Informasi: When Mr.Sarung Met Ms.Daster

$
0
0

Facebook is our voice. Twitter is our friend. Google is our brain.  Website is our home. YouTube is our mother, because from ‘her’, we are born to be a star…
-nama pengarang kalimat di atas masih dalam penyelidikan-

EntrepreneurKreatif.Com-Hari gini sulit dibayangkan kita bisa hidup tanpa kehadiran internet. Tulisan di atas-diakui atau tidak-merupakan bagian keseharian hidup kita. Orang semakin tidak butuh kantor dan jam kerja yang mengikat ala 9 to 5 (kalo di Pontianak biasanya 8 to 5), karena dengan internet, kita dapat berkantor di mana saja, termasuk di media sosial. Mungkin ke depan, orang tidak lagi mengenal istilah pindah rumah yang ribetnya Naudzubillah itu, tapi berganti dengan acara pindah (domain) website/ blog atau pindah akun medsos. Wuis, keren, ya, SobatPreneur?


Beberapa waktu lalu, Harian Pontianak Post memuat berita tentang trend warkop-preneur alias para pekerja profesional dan pengusaha yang menjadikan warung kopi sebagai kantornya. Di warkop yang tersebar di daerah China town Pontianak seperti Gajahmada dan Tanjungpura itulah, mereka berkantor, bertemu klien, bertransaksi, menghitung uang, menawarkan batu antik, dan kegiatan lainnya, sambil minum kopi dan memesan nasi bungkus atau nasi Padang yang berjualan di dekat warkop tersebut, untuk mengganjal perut. Tak heran bila Walikota Pontianak menjadikan kawasan Gajahmada dan Tanjungpura sebagai wisata coffee street, terutama di malam hari.

Kemajuan teknologi internet juga membawa para pria untuk kembali ke rumah, menjadi bapak rumah tangga sejati. Salah satu contohnya adalah seorang editor film terkenal, Cesa David Luckmansyah yang sehari-hari bekerja di rumah mengedit film. Cesa terkenal dan menyabet piala FFI (Piala Citra) berkat hasil editannya di film Sang Penari. Selain itu, film hasil editannya yang lain adalah Negeri 5 Menara, Tanda Tanya (?), Hysteria, dll. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun tivi di acara Jendela Rumah, ia mengungkapkan betapa rumahnya mempunyai arti yang sangat penting.

“Saya dapat berperan sebagai pemimpin tim di lantai atas, yang memimpin dan mengarahkan tim saya, turun ke bawah, saya menjadi pemimpin bagi istri dan anak saya. So simple,” ujarnya kala diwawancarai untuk acara tersebut. Cesa  juga mengatakan, “Kalo lagi stres atau letih mengedit film di lantai atas, saya turun ke bawah. Nonton film (dari DVD).”

Karena alasan kesibukan dan waktu yang semakin terkorupsi, orang tidak lagi sempat menghabiskan waktu berduaan bersama orang-orang terdekat, bahkan untuk sekedar mojok di bioskop yang gelap. Film animasi made in Hollywood berjudul i-Robots  telah meramalkan itu. Saya membayangkan, nanti barangkali ada pernikahan via Skype, di mana pengantin pria (misalnya) seorang New Yorker asal Condet, Indonesia, berada di Amerika Serikat sambil pake sarung dan kaos putih polos, sedang  pengantin wanitanya asal Desa Sepok Laut, Indonesia, yang lagi asyik nunggang induk buaya, tentu saja memakai daster. Wali nikahnya didatangkan langsung dari Arab Saudi sana. Tentu saja dengan biaya super irit, karena via Skype. Yihaa..!!

Dan jika itu terjadi, saya akan membuat vlog berjudul  DilemaKemajuan Teknologi Informasi: When Mr.Sarung Met Ms.Daster

Wahai Penulis, Apa yang Kau Cari?

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Saya miris sekali ketika membaca sebuah cerpen dan/ atau antologi cerpen  karya seorang penulis perempuan Indonesia yang levelnya sudah nasional. Dalam setiap cerpennya, tidak pernah jauh dari urusan Selangkangan (untuk selanjutnya disingkat dengan Selang). Kata-kata seperti  Vagina, Penis, Payudara, tidak pernah jauh dari karya-karyanya. Sebuah cerpennya berjudul AIR yang pernah dimuat di Harian Kompas, isinya adalah semua jenis air yang berhubungan erat dengan Selang, Termasuk air seni dan air ketuban. Dan saya pernah hampir muntah dalam arti yang sebenarnya (sumpah, saya nggak bohong) setelah selesai membaca cerpennya yang berjudul Menyusu Ayah yang termuat dalam salah satu buku antologi cerpennya.

Kalau pornografi yang bertaburan di sekujur cerpen karyanya itu hanya sekedar tambahan/ sisipan yang jika kita sensor tidak akan merubah tema utama cerita, itu nggak masalah. Seperti dalam Saman misalnya, di mana 10 halaman terakhir penuh berisi cerita cabul, jika tidak ingin membacanya, tinggal kita sobek. Selesai. Dan tidak memengaruhi tema utama cerita. Tapi apa jadinya kalau pornografi itu adalah tema utama cerita? Apa yang mau disensor? Hilang dong ceritanya?



Saya kadang nggak habis pikir, apa yang dia baca-kalau memang dia banyak membaca, sampai menghasilkan tulisan stensilan seperti itu? Karena biasanya apa yang kita produksi tidak jauh-jauh dengan yang kita konsumsi. Sebagai penulis, membaca itu pekerjaan mutlak. Tulislah sebuah cerita yang dapat membuat pembaca Anda menemukan sesuatu yang baru. Syukur kalau ada pesan moralnya. Kalau tidak, minimal mereka terhibur dan wawasannya bertambah. Saya sangat terhibur ketika membaca novel maupun tulisan non fiksi karya Seno Gumira Ajidarma. Ada sesuatu yang baru, yang saya temukan dengan membaca tulisan-tulisan SGA yang lucu tapi kritis. Homo Jakartaensis adalah salah satu tulisan non fiksi Popular karya SGA yang menurut saya kritis tapi kocak. Helvy Tiara Rosabahkan harus membaca sekitar 5-6 buku berbeda jenis seperti Politik, Sastra, Psikologi, Agama, dan sebagainya, sebelum menulis cerita-cerita fiksinya, baik cerpen maupun novel.

Sadarilah wahai teman-teman penulis, bahwa cerita yang kita tulis dapat merubah arah sebuah bangsa. Apa jadinya sebuah bangsa jika rakyatnya keseringan membaca cerita-cerita stensilan yang tidak jauh-jauh dari urusan Selang? Efeknya memang tidak terasa dalam jangka pendek. Tapi ketika cerita itu menyebar, apalagi sampai difilmkan, dampaknya akan sangat membekas. Apakah kita tidak merasa berdosa telah memproduksi cerita-cerita tidak bermutu yang sangat berpotensi merusak moral pembacanya? Dan lebih dari itu, mencerminkan kualitas penulisnya? Apa kita tidak malu di cap oleh pembaca sebagai penulis cerpen stensilan?

Buya HAMKA pernah melontarkan kalimat yang sangat terkenal sekaligus kontroversial pada jamannya: jika hidup hanya sekedar hidup, Babi di hutan juga hidup. Jika kerja hanya sekedar kerja, kera juga kerja. Jika anda tidak ingin disamakan dengan dua makhluk diatas, jadilah penulis yang tidak sekedar menulis. Hasilkanlah sebuah cerita yang tidak sekedar cerita (kosong). Bagi kita semua (termasuk saya, terutama) baik kita menulis di media cetak sebagai jurnalis, menulis fiksi, maupun di blog, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri sebelum mengetikkan jari di keyboard dengan pertanyaan sederhana ini: Wahai Penulis, Apa yang Kau Cari?


Aku dan Sepatu

$
0
0

                  Aku mengenang kembali deretan sepatu yang tersusun rapi. Sebagian besar berupa sepatu olahraga. Ada 50 pasang yang terdiri dari merek-merek terkenal. Adidas, Puma, Nike, Reebok, yang beberapa di antaranya merupakan limited editionyang kubeli sewaktu mengikuti Olimpiade di luar negeri, dan sewaktu pelesiran ke Eropa. Masa jayaku 20 tahun silam.

       Aku merasakan jantungku berdetak kencang. Selalu seperti itu. Meski pun sudah 10 tahun berlangsung. Debarannya masih sama seperti dulu. Sebentar lagi peluru akan ditembakkan ke udara, tanda pertandingan segera dimulai. Aku melirik samping kiriku, seorang pelari jarak pendek alias sprinterdari Belgia. Rambutnya pirang dan sekujur tubuhnya dipenuhi bintik merah seperti orang terkena demam berdarah. Di samping kananku seorang sprinter dari Vietnam. Aku harus membawa medali emas bagi Indonesia di Olimpiade kali ini. Dorr! Sebuah tembakan melesat merobek  udara. Aku berlari secepat angin.


         Medali emas ke-5 itu kukaitkan di paku dinding ruang tamu. Tak terhitung banyaknya medali perak dan perunggu yang sudah kuperoleh selama sepuluh tahun berkarir sebagai atlet sprinter internasional. Kalau di Bulutangkis, prestasiku dapat disejajarkan dengan Taufik Hidayat. Aku adalah pahlawan bangsa yang berjuang  mati-matian mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia.

           Tapi saat ini, di tempat ini, aku tak lebih dari seorang pecundang tengik. Kini aku berbaring di lantai semen yang dingin dengan hanya beralas  kain sarung tipis, berhimpitan seperti ikan pepes bersama lima lelaki berbadan besar dan bertato. Tidur di ruang  pengap  tanpa ventilasi dan berbau pesing menyengat ini. Nasib.
“Burhan, ada tamu cari kamu. Cepat keluar!” bentak lelaki berperut buncit itu.
       Mataku mencari sosok itu ke sana ke mari di ruang bezuk ini, tapi tak ada satu pun yang kukenal. Aku menghampiri petugas.
 “ Siapa yang mencariku?”
“Tadi ada seorang wanita datang. Dia membawa ini.”
Petugas itu menyerahkan bungkusan plastik yang isinya sudah bisa kutebak. Sebuah buku.
Siapa yang iseng mengirimiku buku-buku bisnis ini?

        Ini sudah ketiga kalinya sosok misterius itu mengirimiku buku yang dikarang seorang ahli Kebebasan Finansial. Buat apa aku membaca itu? Aku sudah bangkrut. Bahkan sekarang  membeli waktu pun aku tak mampu. Aku terperangkap di ruang kematian ini.

Aku membawa buku itu ke selku. Sepanjang perjalanan, aku berpikir keras dan mati-matian mencoba mengingat, siapa di antara teman-teman wanita yang dekat denganku yang senang membaca buku? Rasa-rasanya tidak ada…tunggu, aku ingat!

***
 “Sylvia Vivi Wilhelmina,” gadis di hadapanku tersenyum.
“Burhanuddin. Panggil aja Burhan.”
Dia menghisap rokok dan menghembuskan asapnya lewat hidung.
“Badanmu bagus sekali, Brur Hans.”
“Maaf, namaku Burhan, bukan Brur Hans.”
“Haha, aku tau. Namamu mengingatkanku pada almarhum abangku, Hans.”
“Maksudnya?”
“Iya, namanya Hans. Brur dalam bahasa Belanda artinya abang.”
“Oh, oke.” 
“Dia satu-satunya saudaraku. Dia meninggal setahun lalu karena overdosis narkoba.”
Aku menghela napas. Kasihan sekali.
“Sering ke bar ini, Hans?”
“Baru pertama kali. Aku ke sini sama teman,” aku menunjuk Yudi yang tengah main billiard di pojok sana.
“Kamu sendiri?” tanyaku.
“ Aku penyanyi jazz di sini.”
“Senang jazz?” tanyaku. Pertanyaan retorik.
“Pastinya. Sebentar lagi aku tampil. Mau request lagu apa?”
“Hmm, aku tidak terlalu suka jazz. Bikin ngantuk.”
 “Trus, sukanya apa?”
“Dangdut.”

***
 “Dapat kiriman lagi ya, dari pacarmu?”
“Pasti buku lagi.”
“Han, lo pacaran sama kutu buku, ya? Salah pilih, lo.”
“Muahahaha…”
            Aku merobek bungkusan hitam tipis itu. Sebuah buku tebal berwarna putih yang masih berbungkus plastik tipis transparan terlihat jelas. Di covernya ada tulisan mencolok dari tinta merah : The Cashflow Quadrant. Nama penulisnya sama dengan dua buku sebelumnya, Robert Kiyosaki. Apakah Sylvi yang mengirimiku buku-buku ini? Apakah ia masih sudi mengingatku? Ach!

“ Kenapa kau bisa berada di tempat ini, Han?”
            Pertanyaan itu berasal dari Bowok. Seorang pria seusiaku yang berewokan dan sekujur tubuhnya dipenuhi tato. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai, menambah kesan angker dirinya.
“Aku berada di sini karena alasan yang sama denganmu, Wok.”
Aku memperhatikan kamar pengap ini. Tempat terkutuk ini tak pernah sedikit pun terlintas di pikiranku. Bahkan dalam mimpi terliarku sekali pun.

***
           Aku menjual satu-persatu medali emasku di pasar gelap. Aku kehabisan duit. Sylvi  terus-terusan mengomel dari tadi karena susu bubuk bayi kami sudah habis. Sejak memutuskan untuk ‘gantung sepatu’ setahun lalu karena desakan usia, aku  beralih profesi sebagai pelatih. Ternyata, penghasilan sebagai seorang pelatih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku dengan seorang istri dan dua anak balita kami, belum lagi ditambah gaya hidup istriku yang mewah. Dia masih saja mengira aku adalah seorang atlet nasional yang hidup berlimpah uang. Ia tidak mau menerima kenyataan bahwa masa-masa indah itu telah lama berakhir. Dan sekarang aku harus mencari kerja sampingan di usia 40 tahun. Adakah kantor yang mau menerimaku?
 Hingga suatu hari…
“Mau kerja, Han? Aku punya kerjaan bagus buat kau.”
“Kerja apa, Bang?”
“Kerjanya ringan. Cuma ngantar paket.Tapi gajinya tiga kali lipat dari gajimu sebagai pelatih.”
Bang Joni menjelaskan apa yang harus kulakukan. Semula aku ragu, namun desakan ekonomi memaksaku untuk mengambilnya, dengan segala resiko yang harus kuhadapi.

“Jadi kau ketangkap basah aparat yang menyamar jadi pembeli narkoba?” tanya Paul.
“Iya. Dan Joni sudah kabur ke luar negeri. Sial!”
“Han. Jangan jadi atlet. Mati-matian kau membela bangsa, apa yang kau dapat, Bung?” tannya Roy.
“Apa yang kudapat? Banyak. Selama masa jayaku, aku sering liburan ke luar negeri dengan Sylvi, yang akhirnya kusunting menjadi istriku. Kami mendapat apa saja yang kami inginkan. Bulan madu ke Paris, belanja habis-habisan di Roma dan Singapura, serta berlibur ke kampung halaman Omanya Sylvi di Delf, Belanda.”
“Han, kamu ndak pernah nabung buat masa depanmu, selain foya-foya?” tanya Ibenk.
“Waktu itu aku tidak memikirkannya.”


Ingatanku melayang ke masa 15 tahun silam, di sebuah rumah elit di kawasan Menteng.
“Han, kamu tidak terpikir untuk berbisnis?”
“Halah, kok mikirin bisnis sih? Hidup untuk dinikmati.”
Yuke menghisap hashis yang dibelinya di Turki.
“Atau menginvestasikan uangmu di saham misalnya? Pokoknya biar duitmu muter, nggak habis begitu aja.”
“Aku nggak mau mikirin bisnis. Aku nggak berbakat sama sekali.”
“Ini bukan soal bakat, Bung. Ini suatu keterampilan yang bisa dipelajari siapa pun.”
“Kamu kebanyakan baca buku, ya?”
          Aku menatap deretan buku-buku tebal yang memenuhi lemari buku raksasa milik Yuke, wanita blasteran Jawa-Jerman yang cantik itu.
 “Kerjaanmu itu sangat mengandalkan fisik, Han. Setauku, semua kerjaan yang mengandalkan fisik itu dibatasi faktor usia, betul tidak?”
Aku mengangguk.
“Han, apa kamu pernah  berpikir mau makan apa setelah pensiun dari atlet?”
Aku  terdiam. Yuke benar. Sedikit pun tidak pernah terlintas di benakku mengenai masa depanku.
“Han, liat aku! Aku  menulis novel dan buku-buku motivasi yang laris manis. Dan semua itu mendatangkan royalti buatku. Aku bisa hidup setahun penuh tanpa harus bekerja sama sekali. Hebatkan?”
“Kok bisa?”
“Aku dapat  duit  dari hasil cetak  ulang buku-bukuku. Ya, royalty  itu yang menghidupiku.”
“Oh, jadi sekarang kamu menyuruhku jadi penulis? Kamu gila, ya?”
“Aku menyuruhmu mulai memikirkan bisnis, karena aku tau kamu  nggak mungkin bisa jadi penulis sepertiku. Baca buku aja nggak pernah.”
“Bisnis apa? Aku tuh nggak berbakat, sayang.”
“Hei, dengar, persetan dengan bakat! Mulailah dari hobimu.”         
“Kamu ngelantur, ya?”
“Atau mungkin Sylvi bisa membuka butik di rumahmu. Diakan hobi belanja.”
“Hahaha..Yuke, dia itu bisanya hanya ngabisin duitku.  Taunya belanja saja, tapi nggak bisa ngasilin duit.”
Yuke menatap mataku dalam-dalam.
“Kalau begitu, mungkin kamu sudah salah pilih istri.”
Aku menghela napas, “Ya, mungkin kamu benar.”

 *) telah di muat di Harian Pontianak Post, Minggu 9 Januari 2011 


Kisah Seorang Operator Telepon

$
0
0
Kisah Seorang Operator Telepon
Vivi Al-Hinduan

Azan Isya berkumandang di kejauhan. Cecep Gorbachev memacu motor bututnya membelah malam. Sudah tiga tahun ia bekerja di tempat itu. Melakukan hal yang sama dari waktu ke waktu. Sungguh membosankan. Lama-lama aku bisa terjebak kedalam nadaism, batinnya. Melakukan rutinitas sehari-hari bernama kerja yang membosankan, nothing special, nothing remarkable, nothing loved. Semua serba biasa-biasa saja. Terlalu biasa-biasa saja. Tak heran banyak pekerja di seluruh dunia yang menderita stres di usia muda, usia produktif mereka.




Sebenarnya Cecep sudah jenuh  bekerja sebagai operator yang khusus menerima dan mendengar curahan hati dari para pelanggan jaringan telepon itu, yang tersebar di seluruh Indonesia. Ia sengaja memilih shift malam, mulai dari jam 19.30 sampai jam 5 subuh. Pagi hingga sore hari, Cecep bekerja sebagai tenaga honorer Tata Usaha di SD tempat bapaknya mengajar.
Ia banting tulang setiap hari agar mampu membeli sebuah motor besar impiannya untuk menggantikan motor bututnya ini. Namun, gaji yang ia terima setiap bulan dari dua pekerjaan itu belumlah cukup untuk ditabung guna membeli  motor baru impiannya itu.
Cecep memasuki halaman kantornya yang sunyi. Seorang satpam berjaga di pos depan. Kejutan apa lagi yang bakal kudapat malam ini? Batin Cecep. Kadang ia iri dengan kehidupan yang dijalani orang-orang yang meneleponnya di tengah malam itu, untuk mencurahkan isi hati mereka. Kehidupan mereka begitu penuh warna, seperti pelangi yang takkan pernah mampu diraihnya.
Seperti malam Jum’at lalu, ketika ia mengangkat sebuah telepon dari seorang pria yang mengaku bernama Sinyo, tepat jam sebelas malam.
“Selamat malam, dengan Cecep Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?” Cecep mencoba seramah mungkin.
Suara serak menakutkan di seberang sana membuat Cecep terlompat dari kursinya.
“Maaf, dengan mas siapa ya?” tanya Cecep gemetar.
“Panggil saja Sinyo.”
“Oke, Mas Sinyo, ada yang mau dicurhatin?”
“Saya baru saja melihat seorang pembunuh, beberapa jam yang lalu.”
Jantung Cecep seperti ingin lepas.
“Kenapa nggak dilaporin ke polisi, Mas?”
“Saya mau cerita dulu sama situ.”
“Oke deh kalo begitu, silahkan cerita.”
“Saya melihat sebuah sedan hitam berhenti di dekat tempat sampah. Saya kebetulan lagi mengais tempat sampah itu.”
“Apa yang anda cari di sana?”
“Harga diri saya yang hilang.”
“Oke, lanjut.”
“Saya melihat seorang pria muda turun dari sedan itu, membawa lima kantong plastik hitam kecil berisi potongan tubuh istrinya. Ia membuang kantong plastik pertama di tempat sampah itu, lalu pergi ke sungai yang tak jauh dari tempat sampah itu untuk membuang kantong plastik kedua.”
Sinyo melanjutkan,”setelah itu ia mengendarai sedannya berlalu dari hadapanku.”
“Anda hafal nomor plat kendaraannya?”
“Iya.”
“Kalau begitu, setelah ini saya sarankan anda segera lapor polisi dan menyebutkan plat nomor kendaraan si pembunuh itu.”
“Apakah ada perlindungan terhadap keselamatan saya selaku saksi pelapor? Jangan-jangan setelah melaporkannya, malah nyawa saya terancam.”
“Tenang saja, Mas. Katanya ada sebuah lembaga negara yang siap menjamin keselamatan saksi pelapor. Katanya sih...”
Sesaat cecep ragu. Apa benar lembaga negara itu bisa menjamin keselamatan nyawa seorang saksi pelapor, seperti iklan layanan masyarakat yang ditontonnya di tivi? Karena dari berita di tivi dan koran yang ditonton dan dibacanya setiap pagi di kantor ini, seorang pelapor kasus korupsi yang begitu menggurita di negeri ini malah ujung-ujungnya dipenjarakan. Nasib.
“Tapi saya tetap nggak bisa, Mas,” kata Sinyo.
“Loh, kenapa?”
“Karena sayalah pembunuh itu.”
***
Cecep masuk ke sebuah ruangan yang sangat dikenalnya selama tiga tahun bekerja di kantor itu, ruang operator telepon. Dengan perasaan lelah dan jemu yang teramat sangat, ia masuk keruangan itu dan duduk di kursinya. Oh, poor room. There is no time. No end. No today. No yesterday. No tomorrow. Only forever and forever without end1).
Setengah jam duduk di situ, belum ada juga yang menelpon. Cecep keluar dari ruang operator menuju pantry. Ia menemukan sebungkus kopi instan. Ia menyeduh kopi instan untuk menghangatkan malamnya yang panjang.
Ach, betapa hidup sekarang ini menjadi serba instan, batin Cecep sambil mengaduk kopi. Banyak penyanyi di negeri ini yang mendadak ngetop lewat jalur instan, mampukah mereka bertahan menghadapi kerasnya persaingan dunia hiburan tanah air? karena pada akhirnya kualitas juga yang menentukan. Belum lagi cinta instan, politisi instan..haduh, puyeng! Padahal barang-barang instan itu tercipta dari hasil penelitian bertahun-tahun di laboratorium, yang tentu saja prosesnya tidak instan.
Cecep berjalan kembali ke ruang operator. Cecep duduk di kursinya tepat ketika telepon berdering.
“Selamat malam, dengan Cecep Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?”
Hening.
“Hallo, selamat malam, dengan siapa di sana?”
Tiba-tiba terdengar suara tangis seorang wanita di seberang sana. Bulu kuduk Cecep merinding? Apakah Kuntilanak yang baru saja menelponnya?
“Selamat malam, Kang Cecep,” sahut suara sedih wanita di ujung sana.
“Malam, Mbak. Kok nangis?”
“Saya baru saja diputusin sama pacar saya.”
“Maaf, dengan mbak siapa nih?”
“Devina di Garut.”
“Jangan nangis dong, Mbak Vina. Putus cintakan bukan akhir cerita.”
“Cinta adalah kenangan, terkadang di atas segalanya. Cinta adalah kenangan, goresan dua hati yang kasmaran… 2)” Devina bernyanyi pelan.
“Wah, bagus banget suaranya Mbak Vina. Mbak penyanyi ya?”
“Bukan, Kang. Saya mahasiswi.”
“Pernah kepikiran buat jadi penyanyi profesional?’
“Nggak ah, saya malu.”
“Kenapa harus malu?”
“Suaraku jelek begini.”
“Nggak ah, bagus kok. Saya bayangin pasti orangnya cantik.”
“Tapi mantan pacar saya selalu menghina suara saya.”
“Tapi Anda sendiri yakin nggak kalau suara Anda merdu?”
“Iya sih, tapi orang-orang terdekatku nggak ada yang memuji suara saya. Cuma Kang Cecep aja nih. Kang Cecep bohongin saya kan?”
“Nggak, saya jujur kok. Kalau kamu terus-terusan mendengar perkataan negatif mereka, lama-lama kamu bisa mematikan potensi kamu sendiri loh. Siapa yang rugi, coba?”
“Terus saya mesti gimana, Kang?”
“Coba ikut lomba nyanyi yang diadakan di Garut. Kalau menang, berarti Anda memang berbakat jadi penyanyi. Mau kan mencoba?”
“Kang Cecep ah. Ngomongnya sebentar pake Anda, sebentar pake kamu. Gimana, sih?”
“Eh..biasalah, Neng. Kakang mah galau dengerin suara Neng Vina yang serak-serak seksoy ini.”
“Ih, si akang mah suka gitu. Kalau kalah gimana, Kang?”
“Yah nggak apa-apa juga. Setidaknya Anda sudah berani mencoba. Iya kan?”
“Makasih ya, Kang Cecep.”
“Sama-sama, Neng Vina.”
 Telepon diputus.
Cecep melihat jam dinding di ruangan itu. Jam satu dini hari. Ia menghabiskan sisa kopinya untuk melawan kantuk. Telepon kembali berdering. Siapa lagi sih ini?
“Selamat malam, dengan Cecep Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?”
“Malam Kang, saya mau bunuh diri sebentar lagi. Ada saran nggak, cara terbaik buat bunuh diri pake apa ya?”
“Haduh, jangan dong. Kenapa Anda sampai nekat mau bunuh diri? Anda di mana sekarang?”
“Saya lagi di telepon umum dekat rumah. Saya nggak tahan, Kang. Hidup makin susah. Mau beli cabe aja saya nggak mampu, apalagi yang lain. Udah seminggu kami nggak makan.”
“Iya, tapi jangan pesimis gitu dong, Bu. Dengan Ibu siapa ini?”
“Sudahlah, nggak penting situ tau nama saya. Saya cuma rakyat kecil. Suami saya sudah setahun di penjara karena mencuri kambing tetangga. Ketiga anak saya barusan saya bunuh, tuh. Saya nggak tahan melihat mereka menderita. Sebentar lagi saya akan menyusul mereka.”
“…. “
Telepon diputus.
Betapa tak berartinya nyawa rakyat kecil di negeri ini, batin Cecep.
***
Azan subuh terdengar di kejauhan. Cecep senang karena tugasnya berakhir juga hari ini. Besok hari Minggu, ia akan tidur siang sepuasnya di rumah. Baru saja Cecep hendak meninggalkan ruangan, telepon berdering. Dengan malas Cecep mengangkatnya.
“Selamat pagi, dengan Cecep Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?”
“Pagi, Mas Cecep. Saya Pak Babeh di Jakarta. Mau curhat boleh?”
“Silahkan, Pak Babeh.”
“Anu Mas, aku lagi sedih banget loh.”
“Kenapa, Pak?”
“Anu, soale udah tujuh tahun saya bekerja tapi gaji saya nggak naik-naik juga. Sedih saya.”
Sama dong, kata Cecep dalam hati. Gajiku juga statis, kecil lagi.
“Emangnya gaji Bapak berapa? Cukupkan buat makan sehari-hari?”
“Yah, lumayanlah. Gaji saya sebulan itu cuma sekitar... enam puluh dua juta rupiah saja.”
“Hah?!”

1) Puisi karya Ivan Albright berjudul ‘Poor Room’.
2) Lagu berjudul Semua Jadi Satu; dipopulerkan oleh Dian Pramana Putra dan Malida.




Gadis di Kafetaria

$
0
0
Gadis di Kafetaria

Aku memasuki kafeteria di pusat kota itu. Hatiku hampa. Tanpa siapa. Tanpa cinta. Kafé  masih lengang, belum banyak pengunjung yang datang. Aku memesan lemon teauntuk menyegarkan tenggorokanku yang kering. Jantungku berdegup kencang. Apa ya  kira-kira yang akan dilakukan Pak Margono padaku? Apakah ia akan mengancamku atau justru menyogokku dan memohon agar aku rujuk kembali dengan putri tunggalnya yang telah kutalak satu itu? Ach!

Minumanku tiba. Seorang gadis berkulit putih dan berkaos biru langit memasuki kafeteria dan duduk berjarak dua meja di hadapanku. Sendiri saja. Tunggu siapa?

Aku tak habis pikir, kenapa Tyas, istriku yang sangat kucintai, tega melakukan ini padaku? Apakah permintaanku kelewat batas? Rasanya tidak. Aku hanya ingin punya anak laki-laki, setelah Tyas memberiku tiga orang putri. Bukannya aku tidak mencintai ketiga bidadari kecilku yang lucu dan menggemaskan itu. Aku hanya ingin memiliki seorang putra yang kelak akan meneruskan nama besar  klan Suryadinata.

Suara ponselku berbunyi, ada pesan masuk. Ah, paling-paling Tyas, pikirku. Atau mungkin Nyonya Margono  yang suka mencampuri urusan rumah tangga putrinya itu. Aku memmerhatikan gadis yang duduk di hadapanku, terpisah jarak dua meja dariku. Ia baru saja selesai menelpon-atau ditelepon-seseorang. Mungkin seorang pria yang akan bertemu dengannya sebentar lagi di kafé ini.

Tak sengaja mata kami beradu pandang. Ia tersenyum padaku, malu-malu mau. Pikiranku mulai melayang tak karuan, aku berdoa semoga kali ini semesta menolongku. Semoga ayah mertuaku tidak bisa datang karena encoknya kumat dan semoga siapa pun yang akan ditemui gadis itu di kafé ini membatalkan janjinya.



Sesaat ragu menyergapku, apakah Tyas akan cemburu? Aku ingat perkataan Tyas yang sangat menyakitkan itu, yang menjadi awal pertengkaran kami.

“Nggak bisa, Mas. Aku nggak mau punya anak lagi, capek. Lagian, aku udah lama pake alat kontrasepsi ini.”
“Kan bisa dilepas, toh?”
“Pokoknya aku nggak mau melahirkan lagi. Sakit, tau!”

Brengsek! Semua ini pasti gara-gara alat kontrasepsi itu. Kontrasepsi yang selalu menimbulkan kontrapersepsi. Setidaknya aku sudah melakukan semua sesuai ajaran Islam, kataku menghibur diri. Mulai dari menasehatinya secara baik-baik, tapi ia keras kepala. Lalu kucoba pisah ranjang dengannya, dengan harapan ia akan berubah. Eh, ternyata ia malah mengadukan masaalah itu ke orangtuanya, yang akhirnya memaksaku untuk menjatuhkan talak satu padanya.
Tiba-tiba aku teringat, ada pesan masuk masuk di ponselku. Aku membukanya. Setengah tak percaya aku membaca sms itu. Dari Pak Margono, ayah Tyas.

Di, papa nggak bisa datang malam ini, ada janji ketemu sama rekan bisnis di hotel. Besok malam saja kamu ke rumah, ya? Udah lama kita nggak makan malam bareng.  Papa tunggu besok malam ba’da Isya.

Thanks God.Akhirnya si tua itu membatalkan janjinya. Aku menatap gadis di hadapanku. Gadis lucu, gadis lugu, baju biru. Ia tersenyum menggoda. Aku memberanikan diri menghampirinya. Lembut kusapa dia tersipu, dan tertunduk malu. Ataukah hanya pura-pura begitu? Ah, bodoh amat. Toh ia hanyalah sosok asing yang tak sengaja kutemui di kafé ini. Mungkin besok aku sudah menghapus bayangnya dari ingatanku, untuk selamanya.
“Didi,” kataku memperkenalkan diri.
“Karina. Silahkan duduk.”
“Karina nungguin siapa?”
“Teman.”
“Teman istimewa nampaknya?”
Karina tertawa,”Kalau kamu?”
“Sendirian saja, sekedar melepas lelah.”

Pelayan kafé mengantarkan pesanan  Karina. Cappuccino dengan es krim vanila di atasnya. Sangat menggoda.
“Aku suka itu.”
“Maaf?”
“Itu. Cincin kawinmu.”
“Oh, aku lupa menanggalkannya.”
“Hahaha...curang.”
“Tidak. Aku baru saja menceraikan istriku tiga hari yang lalu.”
“Kenapa?”
Aku menceritakan semuanya.
“Aku pernah hampir menikah,” kata Karina,”tapi batal.”
“Oh ya?  Kenapa rupanya?”
Karina menghirup cappuccinonya,
“Aku seorang pianis, dulu. Setiap akhir pekan aku tampil di sebuah hotel bintang lima di selatan Jakarta.”
Karina melanjutkan,”Di situ aku kenal dengan seorang pria beristri yang tidak bahagia dengan istrinya. Ia ingin menjadikanku istri keduanya.”
“Dan kau menerimanya?”
“Tentu saja.”
Aku terdiam.
“Kenapa, Di? Kau menganggap tindakanku tidak bermoral?”
“Tidak, tentu saja tidak.’”
 “Masih adakah moral di negeri ini? Berapa harganya? Biar kubeli.”
Aku tertawa.
“Sekarang ini orang yang berpoligami dicaci maki, tapi yang terang-terangan berzina atas nama selingkuh malah dibiarkan. Ach, negeri yang aneh.”
“Lalu kenapa kau batal menikah dengannya?” tanyaku penasaran.
Karina menghela napas, “Ia lebih memilih bersama Ratih.”
“Istrinya?”
“Karyawan baru di hotel itu.”
“Wow!”
“Kenapa wow?”
“Kau dicampakkan begitu saja karena seorang karyawan baru?”
“Hidup itu kejam, ya?”
“Apakah mantan pacarmu menikahi gadis itu?”
“Tidak. Ia meninggalkannya begitu saja setelah puas  merenggut semua keluguan si gadis bodoh itu.”
“Gadis itu telah mendapat karma yang sepadan.”
Karina menerawang, ”Gadis desa yang malang. Kehidupan kota telah melumatnya. Tak bersisa.”
Sebuah pesan masuk ke ponsel Karina.
“Aku harus pergi sekarang. Sudah ditunggu di depan.”
“Senang kenalan denganmu.”
“Besok malam datanglah ke café ini, jam setengah delapan.”
“Tapi aku sudah janji dengan ayah mertuaku untuk makan malam dirumahnya,” aku mulai bimbang,
”Mantan ayah mertuaku,” aku segera meralat.
“Kau akan mendapat kejutan yang jauh lebih menyenangkan jika memilih datang ke kafé ini.”
“Dan apakah yang akan kudapatkan itu?”
“Kau akan melihat Karina bernyanyi sambil bermain piano.”
“Oh ya?”
“Aku janji  takkan mengecewakanmu,” Karina tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata.
***
Aku duduk di kafé ini. Tak sabar menyaksikan penampilan Karina.  Aku sengaja mematikan ponsel agar Pak Margono tak bisa menghubungiku. Emangnya dia siapa? Toh dia hanyalah mantan mertuaku yang selalu saja mencampuri urusan rumah tangga aku dan Tyas. Bahkan dia memaksa putriku yang masih SD untuk belajar bahasa Belanda. Buat apa, coba?
Zondag, Maandag, Dinsdag, Woensdag.”
“Apa artinya, sayang?” tanya Bu Margono.
“Minggu, Senin, Selasa, Rabu.”
“Pintaarrr...” kedua mertuaku bertepuk tangan.
Aku merasa muak dan bergegas menuju kamar, ketika putri sulungku itu bertanya,
“Papi?”
“Ya, sayang?”
Mijn naam is Miesje, wat is Uw naam?”**)
Aku masuk ke dalam kamar dan menghempas pintu. Dari luar terdengar tawa keras Pak Margono yang penuh kemenangaan.
Tepuk tangan para pengunjung kafé membuyarkan lamunanku. Di panggung, seorang wanita cantik bekulit putih bersih duduk di depan piano. Tapi ia bukanlah Karina. Ke mana Karina? Apakah ia sakit?
Penyanyi itu bicara melalui mikrofon kecil yang diletakkan di atas piano,

“Selamat malam semua, saya Karina. Malam ini saya ingin membawakan sebuah tembang lawas berjudul  AGreat Pretender. Untuk mengenang seorang teman lama, Ratih. Ia bunuh diri tepat setahun silam di kafe ini.”

Jari-jari lentik Karina mulai menari di atas tuts piano. Lampu-lampu di atas kepala pengunjung dipadamkan. Aku merasa napasku sesak.

*) Terinspirasi dari lirik lagu Dian Pramana Putra, dengan judul yang sama.
**) Nama saya Meisje, siapa nama anda?
Dalam bahasa Belanda, meisje juga berarti anak perempuan.








Santa Monica

$
0
0
Santa Monica

Vivi Al-Hinduan


Cyber Café “Santa Monica”, Bekasi



Warnet 24 jam yang sempit itu dipenuhi oleh para lelaki muda yang rata-rata para mahasiswa dan pekerja kelas menengah yang berwajah lelah. Jam sudah menunjukkan angka 22.10 wib. Aroma kopi dan asap rokok tercium di seantero warnet yang bersebelahan dengan warung kopi itu. Di ujung sana, terlihat seorang pria berseragam satpam yang tengah serius bermain Poker di Facebook. Di sudut kiri, seorang mahasiswa sedang asyik menonton video porno sambil sesekali mengerang halus, “ Aarrgghh…!”

Seorang lelaki dengan baret hitam ala Pak Tino Sidin yang menempati bilik nomor lima, sedang asyik berbincang di sebuah media sosial. Kadang ia tertawa sendiri, kadang berseru “ WOW” dengan keras, kadang seperti sedang berpikir keras. Ia tak memedulikan lirikan tajam orang-orang di bilik-bilik warnet yang hanya disekat dengan triplek itu.

Tangannya berpindah-pindah memainkan tetikus itu. Asyik meng-klik laman Facebook, Twitter, dan membuka Instagram. Kadang juga asyik mengunggah video klip nya sendiri ke YouTube. Kali ini ia membuka akun Twitternya @JamesArgo.
@LadyFrancisca menulis komentar di akun Twitter miliknya.
Mau dong liat videoklipmu @JamesArgo? Sudah di unggah ke YouTube?
Sudah, balas @JamesArgo singkat.

Di ujung sana, @LadyFrancisca tak sabar membuka alamat link di YouTube yang diberikan oleh @JamesArgo padanya.

Tampak di video klip itu, seorang lelaki kurus berkulit putih dan berhidung mancung, menyanyi ceria ditemani gitar akustiknya.
There’s a cafe in Santa Monica
Stay a pretty lady Francisca
Anytime and any day, seems like heaven’s always there
Meet me in the Santa Monica

 Hope you will find yourself some satisfaction and pleasure
I know you will find someone in your dream,
Someone you really love, someone your heart can’t resist*)...
****
Di sebuah perumahan padat penduduk di Bekasi
“Mas, susu formula nya sudah habis nih.”
“Sudah, ganti aja dengah teh tawar.”
“Mas ini gimana sih? Bisa mencret anak kita dikasih teh tawar. Mas nggak cari kerja ya? kerjaannya nulis lagu mulu. Trus nyanyi-nyanyi sendiri. Trus direkam sendiri. Kurang kerjaan amat. Nggak ngasilin duit, tau!”
“Kamu tuh kenapa, sih? Gangguin orang aja.”
“Lihat tuh suaminya Mbak Rika. Sudah beli motor baru loh kemaren. Langganan tivi berbayar pula. Kita kapan bisa kayak gitu?”
“Sudah, biarin aja. Kenapa sih sibuk ngurusin orang?”
“Kamu tuh cuek banget sih jadi orang? Aku nyesel banget kawin sama seniman kayak kamu, tau!”
“Loh, kemaren siapa juga yang minta dikawinin? Sudah kubilang kalo aku tipe orang yang nggak mudah untuk menjalin komitmen. Sulit ngikutin ekspektasi orang lain. I am the worst kind of guy to be around.”
“Halah!”
Istrinya berlalu pergi dengan muka seperti daster kusut.
****
Di sebuah rumah mewah di Selatan Jakarta
“Papa mau kemana lagi, sih?”
“Ke luar kota, Ma. Ada masalah di kantor cabang Pontianak yang harus aku beresin.”
“Kapan pulang?”
Next week. Aku pergi dulu ya, sayang.”

Sepeninggal suaminya, Mira merenung sendiri dikamarnya yang luas seperti kamar di hotel-hotel bintang lima. Kamar itu begitu lengang karena hanya diisi dua orang. Sudah hampir tiga tahun mereka menikah, belum juga dikaruniai anak. Ia dan suaminya sudah melakukan segala cara, mulai berobat ke rumah sakit tercanggih di Singapura, hingga ke pengobatan alternatif cara Timur di Jakarta. Semua nihil.

Mira sudah jengah mendengar sindiran ibu mertua dan ipar-iparnya setiap kali ada acara keluarga. Selalu menanyakan soal anak yang tak kunjung tiba. Ditambah  lagi sikap Willy, suaminya, yang mulai dingin setahun belakangan ini.

Mira duduk di depan meja jati di sudut kamarnya, membuka laptop dan berselancar di media sosial untuk membunuh sepi. Satu-satunya cara baginya melupakan dunia realita barang sekejap.
****
“Aduh, sori deh, bro, kita lagi nggak butuh supir nih. Kalo salesmanlu mau?”
“Enggak deh. Makasih, Wan.”
“Sori ya, friend. Kalo gue yang punya perusahaan sih lain cerita, sob.”
Tapi Ilham sudah berlalu pergi.
****
@LadyFrancisca: Jadi kamu lulusan Jurusan Musik dari IKJ ya @JamesArgo? Wuih, keyen euy!
@JamesArgo: Yup. Hope one day I can be a great musician.
@LadyFrancisca: kamu kerja apa sekarang @JamesArgo?
@JamesArgo: nggak tetap. Kadang juga perform di kafe-kafe bareng band ku. Mo ngasih aku kerjaan @LadyFrancisca?
@LadyFrancisca: jadi tukang kebun di rumahku, mau? Sambil nyanyiin aku lagu #SantaMonica
@JamesArgo: nanti suami kamu cemburu lagi.
@LadyFrancisca: dia nggak peduli sama aku #PengenCerai.
@JamesArgo: ketemuan yuk?
@LadyFrancisca: kamu di mana sekarang?
@JamesArgo: warnet Santa Monica, dekat rumahku.
@LadyFrancisca: ah, jauh amat. Males.
****
“Aku udah nggak tahan lagi, Mas. Anak kita udah mau dua, tapi kamu nggak berubah.”
“Aku sudah berusaha, Ran. Cari kerja sana-sini. Tapi belum dapat. Sabar ya?”
“Sabar??! Kontrakan kita udah dua bulan nunggak. Aku mesti ngutang sana-sini buat ngelunasinnya. Kalo sampe bulan ketiga kita nggak bayar, kita bakal diusir.”
Ilham terdiam. Ingin rasanya ia berlari meninggalkan dunia realita yang kejam. Saat ini, ia hanya ingin bersama dengan @LadyFrancisca. Berdua, di Santa Monica…

Untuk : James Argo Mulawarman
*) Lagu berjudul Santa Monica karya James Argo the Greenrocker.



Cordoba FM

$
0
0
Cordoba FM
Vivi Al-Hinduan


Jangan pernah memikirkan seseorang yang sama sekali tidak pernah memikirkanmu. Barangkali nasehat itu tepat ditujukan bagi seorang Dania Alhambra, pelajar kelas 3 sebuah SMA di Pontianak, yang merupakan pendengar setia radio ‘udara’ Cordoba FM. Dania senang mendengar program everlasting love setiap malam Minggu dan Jazz in Town setiap sabtu sore. Kedua program itu dibawakan oleh Daniel Prasetya, penyiar favoritnya yang punya nama gaul Dan Humingbird. Saking ngefansnya, Dania mengajak teman sebangkunya, Dita, pergi ke Cordoba FM sepulang sekolah demi menemui Dan yang sedang membawakan acara favoritnya di Sabtu sore, Jazz in Town. Suara merdu penyanyi Tulus terdengar sayup-sayup dari depan pintu studio. Mereka mengintip dari balik pintu kaca tembus pandang, tepat di depan studio tempat Dan sedang siaran.



“Ih, lawar e abang itu? Tengoklah, Dit. Alamak!”
“Kau ni, kemarok’an benar gak. Balek jak lah, malu!”
“Jahat Dita nih. Aku pengen kenalan dengan Bang Dan Humingbird be,”
“Kau ni, macam orang tue jak suke dengar jazz. Bikin ngantok jak,”
“Alamak! Matenye tak mampu, Dit. Matenye stun! Ih, die natap aku, Dit,”
“Kau nih kemasok’an ke ape? Baek-baek, Nia,”
Mereka ribut tepat di depan pintu studio. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Dan sang penyiar keluar dari studio. Kini wajah Dan tepat berada di hadapan mereka. Nafas Dania terasa berhenti berdetak.
***
Sejak kejadian di Cordoba FM tempo hari, Dania semakin sering berkhayal. Ia juga berusaha keras mencari tahu semua alamat akun media sosial  milik penyiar idolanya itu, dan mengajukan pertemanan atau mem-follow akun milik Dan. Nyaris tak ada waktu tersisa selain memikirkan Dan. Dania melacak data diri Dan. Ternyata usia Daniel Prasetya terpaut  empat tahun di atas Dania. Daniel mahasiswa semester akhir di Jurusan Komunikasi Universitas Tanjungpura. Ia berasal dari Desa Sembada, di salah satu Kabupaten paling ujung di Kalbar. Dan nge-kost di daerah Tanjung Sari, sekitar Untan.
“Status Facebook die masih single loh. Dan ndak ade cewek yang komen mesra di statusnye,” kata Dania berseri-seri.
“Ih, jadi-jadilah, Nia. Nanti kau jadi gile bayang,” Dita tertawa mengejek.
“Dania, maen Pokemon yok,” ajak Rani, teman sekelasnya.
“Ih, malas. Macam tak ade kerje laen jak kitak nih,”
 “Daripade sibok mikirkan penyiar radio tuh, mending maen Pokemon,” sahut Dita.
“Aok,” sahut teman-temannya serentak.
Bel tanda pelajaran berakhir telah berbunyi. Alih-alih pulang, Dania langsung menuju daerah Tanjung Sari. Dania bertanya pada pemilik kost tentang keberadaan Daniel. Pemilik kost mengatakan bahwa Daniel sedang pulang kampung ke desanya.
“Saya belum tahu kapan dia balik lagi ke sini,” kata si bapak kost.
Dania pulang dengan langkah lunglai.
***
Tiga bulan kemudian…
Dania menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur. Hari ini nilai ulangan harian untuk pelajaran Akuntansi mendapat angka 3, terburuk sepanjang hidupnya. Sementara, Ujian Nasional semakin dekat. Dengan kesal, Dania memasang headset dan mendengar Radio Cordoba FM kesukaannya. Ia tersentak kaget mendengar suara khas yang telah lama dirindukannya. Dan Humingbird.
Yah, kalau mau telpon atau SMS, tanya-tanya, kirim salam, ato mo request lagu langsung aja ya di nomor biasa..
Tak menunggu lama, Dania langsung mengetik keypadponselnya dan menunggu jawaban di seberang sana.
Ya, sudah ada telepon masuk. Dari siapa di mana ni?
Dania ragu sejenak, sebelum akhirnya menjawab
Ini Rani, Bang. Bang Dan ke mana aja lama ndak siaran?
Oh, Abang pulang kampung kemaren. Agak lamaan dikit. Tapi sekarang sudah siaran lagi.
Ape buat Bang, di kampong?
Mulai kepo.
Tadak ngape-ngape. Rindu jak dengan Emak kamek. Oh ye, mo request lagu ape ni, Rani?
Lagunye ngikot jak. Salamnye buat Bang Dan Humingbird. Salam sayaaang banget. Rani rindu dengar suare Abang.
Alamak! Janganlah nak sayang-sayangan di radio ni.
Ngape pulak, Bang? Sombong Abang, nih.
Senyap  sejenak.

Bukan gitu, Dek. Abang udah nikah, Dek. Barusan kemaren pas di kampong.
Hah??!
Tak nyaman be kalo istri abang dengar.
Dania terperanjat mendengar informasi itu. Amarahnya meledak seketika.
Abang nih tak ngundang Dania. Jahat! Selama ini Dania sibok mikerkan Abang, takot Abang kenape-kenape. Sampe ulangan harian Akuntansi kemaren dapat 3 gegare tak sempat belajar.

Lho?? Ini Dania apa Rani? Dania yang pernah ke studio itu, ya?

Dania setengah mati berusaha menahan tangis. Ia langsung memutuskan sambungan telepon. Dania menyadari, betapa bodohnya ia selama tiga bulan terakhir ini, selalu sibuk memikirkan seseorang yang sama sekali tidak pernah memikirkannya barang sedetik pun.
***




Nyonya Sosialita

$
0
0
Nyonya Sosialita

Vivi Al-Hinduan


Zus (baca: Ses) Nadia ‘Nance’ Arifin sedang sumbringah. Tangannya tak henti menimang-nimang sebuah kamera DLSR merek terkenal, hadiah dari suami tercinta, Ir. Zainal Arifin, pemilik beberapa perusahaan kelapa sawit dan pertambangan di Kalimantan. Sang Nyonya berulang tahun ke-43. Di ultahnya kali ini, Zus Nance ingin membuat sebuah resolusi baru yang tentu saja berbeda dari resolusi-resolusi di hari ulang tahunnya yang sebelumnya.




Kali ini, si nyonya tidak ingin membuat resolusi-resolusi kecil seperti: ke Paris buat hunting tas Hermes model terbaru edisi sangat terbatas; liburan ke Milan bareng putri semata wayangnya, Intan Camelia Arifin; atau sekadar jalan-jalan ke Singapura bareng teman-teman sosialitanya, sekedar berfoto narsis di depan patung ‘Singa Muntah’ alias Merlion dan menikmati kemegahan San Marina Bay yang terletak persis di depan Merlion.

Tidak. Kini si nyonya berniat akan menyalonkan diri sebagai Gubernur Kalimantan Barat, daerah kelahirannya. Tapi ada dua hal yang masih meragukannya; 1) dia belum punya perahu politik alias belum ada partai politik yang berminat ‘meminang’nya. 2) siapa yang bersedia menjadi wakilnya?

Zus Nadia ‘Nance’ Arifin sedang gundah. Batas akhir pendaftaran bakal calon gubernur Kalbar ke KPUD tinggal tiga bulan lagi. Apakah ia akan maju sebagai calon independen? Si Nyonya curhat ke teman-teman sosialitanya ketika sedang mengadakan pengajian di Hotel Aston Pontianak.

“Jeng Asti setuju nggak kalo saya maju?” tanya ZusNance sambil berbisik. Nggak enak kedengaran sama Bu Ustadzah yang sedang ceramah di depan.
“Sudah pasti dong, Zus. Kapan lagi Kalbar dipimpin seorang sosialita cerdas seperti ZusNance,” Jeng Asti juga berbisik lembut. Nyaris tak terdengar.
“Aduh, Jeng Asti bisa aja,” Zus Nance tersipu malu.
“Beneran, loh. Sudah saatnya perempuan Kalbar dicerdaskan, terutama dalam cara berpakaian dan melek merek,” Jeng Asti berkata penuh semangat ’45.
“Siapa ya kira-kira yang cocok buat mendampingi saya maju?”
“Saya cocok kok, hehehe…”
“Jeng Asti ini. Saya serius, loh. Batas waktu pendaftaran tinggal tiga bulan lagi.”
“Dengar-dengar belum ada satu pun partai yang mendukung ZusNan, ya?”
“Itu dia masalahnya. Pusing!”
“Kenapa nggak mengajukan diri sebagai calon independen saja, Zus Nan?
“Emangnya bisa?”
“Bisa, dong. Kan syaratnya cuma ngumpulin KTP sama tanda tangan doang.”
“Iya, ya. daripada duit saya habis buat nyogok tuh petinggi-petinggi partai, mending buat nyogok rakyat sekalian. Hitung-hitung membantu kesejahteraan mereka. Sip lah.”
*ting*
Acara pengajian pun berakhir.
****
Mami di mana sih? PING!!!
Sebuah BBM masuk ke BB  Bellagionya Zus Nance. Dari Intan, putri tunggalnya yang baru kuliah semester satu di salah satu perguruan tinggi swasta kelas atas di Jakarta. Intan mengambil jurusan Ekonomi, demi meneruskan mimpi ibunya yang tidak tercapai karena keburu menikah. Zus Nance tidak menghiraukan lampu kedap-kedip di BB nya yang terselip di dalam tas buatan Prancis berlabel Salvatore Ferragamo seharga Rp 15 Juta. Itu  salah satu tas eksklusif dengan edisi sangat terbatas.
Mami ke sini dong! Intan butuh Mami! PING!!!
            Zus Nance dan teman-temannya sedang asyik menikmati alunan musik Jazz lembut di sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Mereka sedang liburan ke  Jakarta dalam rangka menghadiri undangan seorang sosialita elit Ibukota.
“Jeng-Jeng. Kita mau mendata secara resmi semua sosialita di seluruh Indonesia. Agar tidak ada kelakuan negatif dari para sosialita KW  yang sering dialamatkan ke kita, seperti arisan brondong itu loh. Sampai disorot tivi segala. Bikin malu,” ujar Bu Tike, ketua perkumpulan arisan ‘Sosialita Anti-Selulit’ di Selatan Jakarta. Ia  menepuk-nepuk tas Cartier merah bata miliknya. Sebuah tas edisi terbatas keluaran Prancis yang harganya lebih dari Rp 25 juta.
“Iya, Bu Tik. Padahal kita kan nggak pernah tuh ngadain arisan brondongkayak gitu. Palingan kita hobinya arisan tas Hermes. Benar nggak ibu-ibu?” ujar Bu Ratna, seorang sosialita Jakarta yang punya butik penyewaan tas branded di daerah Kemang.
“Makanya semua sosialita dari seluruh Indonesia harus terdaftar secara resmi,” tegas Bu Tike, seorang sosialita kelas atas yang punya networking mulai dari selebritis terkenal hingga ke para istri menteri di negeri ini.
Bu Tike melanjutkan, “Saya juga punya berita bahagia loh. Salah satu anggota kita dari Pontianak,  ZusNance Arifin, akan segera maju sebagai kandidat Gubernur Kalbar.”
“Waduh! Selamat ya, Zus Nan,” Bu Ratna yang pertama kali menyalami sambil memperlihatkan jam tangan Cartier nya yang bertabur berlian. Jam mewah yang penunjuk waktunya bergambar Jaguar bertabur batu permata biru tua itu harganya Rp 99 Juta.
Selanjutnya bertaburanlah ucapan selamat untuk Zus Nance, yang keluar dari bibir-bibir mahal berpoles gincu impor. Zus Nance begitu senang hingga tak mendengar BB nya berdering nyaring.
****
“Papi di mana, nih?”  Zus Nance menelpon suaminya.
“Aku lagi di Balikpapan. Kamu sudah pulang ke Pontianak?”
“Belum, Pi. Intan masuk rumah sakit.”
“Apa??  Tifusnya kambuh lagi?”
“Papi ke sini deh sekarang. Intan keguguran!”
“Hah?! Masya Allah, Intan, ”  si Papi pingsan.

Di Rumah Sakit…
“Sayang, ini Papi, Nak,” Pak Arifin menangis sambil mencium putrinya.
“ Intan, Papi baru nyampe tadi dari Balikpapan. Tadi Intan pingsan lama banget, sampai Mami khawatir,”  Zus Nance mengelus lembut lengan putrinya yang terpasang jarum infus.
“Oh, Mami khawatir ya sama Intan?” tanya Intan sedih.
“Tentu dong Mami cemas. Mami kan sayang banget sama Intan.”
“Masak sih? Bukannya  Mami lebih sayang dengan tas Hermes Mami itu?”
“Intan, tolong bilang Papi. Siapa laki-laki brengsek yang sudah menghamilimu itu. Bilang Papi!”
“Sudahlah, Pi. Nggak ada gunanya. Janinnya juga sudah keluar kan?”  Intan mulai terisak.
“Papi akan bunuh dia!”
“Papi mau tau siapa dia? Dia seniorku di kampus, putranya Tante Dewi Gumilang yang tinggal di Kebayoran. Kenal kan? Atau perlu Intan kenalkan dengan Papi?”
Pak Arifin terdiam kaku. Lidahnya kelu.
“Siapa Dewi, Pi? Siapa?”  Zus Nance mulai kalap.
“Itu selingkuhannya Papi, Mi. Intan sengaja melakukan ini dengan putranya. Intan kesal dengan Papi yang sudah menghianati kita.”
“Namanya Rino, ya?” bibir Pak Arifin bergetar.
“Iya. Tuh Papi tau,” jawab Intan cuek.
“Intan… dia kakak tiri kamu. Dia anak Papi.”
Nyonya Sosialita pingsan.
****
Jumpa pers digelar di sebuah hotel berbintang di Pontianak. Temanya singkat: Nyonya Nadia Arifin resmi mengundurkan diri sebagai kandidat Gubernur Kalimantan Barat.

“Ada hal yang jauh lebih penting yang harus saya utamakan dibanding memaksakan diri menjadi orang nomor satu di Propinsi Kalbar. Yaitu menjadi seorang ibu bagi putriku. Saya juga resmi mengundurkan diri sebagai seorang sosialita Kalbar, perwakilan Nasional. ”

Nyonya Sosialita menutup acara jumpa pers sore itu diiringi tepuk tangan dan kilatan lampu kamera para wartawan. Dengan lunglai mereka bertiga menuju sebuah kafe di pojok kanan hotel.
“Mami, Papi, maafin Intan ya. Intan khilaf. Intan benar-benar bodoh.”
“Sudahlah, Nak. Semua ini ada hikmahnya,” sahut Si Nyonya.
“Mulai sekarang Papi berjanji akan lebih memmerhatikan kalian. Terutama Intan.”
“Papi, kita umroh yuk bulan depan,” ajak ZusNance.
“Umroh?”
“Iya, Pi. Intan juga ikut. Kapan lagi kita bisa nyuci dosa bareng,” kata Intan.
“Mami, maafin Papi ya.  Selama ini Papi…” suara Pak Arifin bergetar menahan tangis.
“Sudahlah, Mami maafin. Mami juga kurang memmerhatikan Papi selama ini. Mami terlalu sibuk dengan acara-acara sosialita yang tidak berguna sama sekali itu.”
Adzan Maghrib bergema dari masjid di depan hotel.
“Sudah Maghrib nih, kita sholat yuk,” ajak Pak Arifin.
“Hayuk. Tapi habis itu kita fine dinning ya di restoran hotel,” ajak Zus Nance.
“Beres. Apa sih yang nggak buat Mami?”
****
Tiga bulan kemudian….
“Haduh, heran deh wartawan-wartawan itu. Sebel!” ZusNance mengomel di Minggu pagi.
“Kenapa lagi sih, Mi?” tanya Intan yang sibuk memilih-milih jilbab untuk dipakai pengajian siang nanti.
“Coba lihat nih beritanya. Mami sudah tobat juga masih aja digosipin.”


ZusNance melempar dengan kesal sebuah koran lokal ke atas meja. Headline koran itu memuat sebuah berita dengan judul mencolok, Sosialita Nadia Arifin kini punya hobi baru : Umroh Bareng Keluarga.

Mbok Yam, Perempuan Pasar Senggol

$
0
0
Mbok Yam, Perempuan Pasar Senggol
Vivi Al-Hinduan

Tak sukar menebak berapa umur Mbok Yam.  Dari kerut di wajahnya, jemari tangan yang keriput, kita dapat menduga perempuan itu berusia sekitar enam  puluh. Setiap subuh, ia sudah berangkat ke Flamboyan untuk memborong sayur-mayur, dan  paginya dijual kembali di Pasar Senggol, sebuah pasar tradisional di tepian Kapuas, yang tak jauh dari Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman.


Dari kerutan di wajahnya pula, kita seolah dapat membaca perjalanan hidup janda dua anak itu, yang tak semulus Jembatan Tol Kapuas. Terutama sebulan terakhir, sejak menantunya dijebloskan ke penjara. Mbok Yam masih ingat betul kejadian nahas itu. Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari, saat Mbok Yam seperti biasa bangun dan mengambil wudhu untuk sholat Tahajud.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ribut, teriakan aparat, dan suara letusan peluru berdesing merobek gendang telinga. Disusul  gedoran kencang di pintu. Mbok Yam bergegas mengintip dari balik gorden lusuhnya, tiga orang petugas bersenjata lengkap memaksanya membuka pintu.

Pintu terbuka, mereka bergegas masuk tanpa permisi. Seorang pria separuh baya yang tadi tidak terlihat di jendela, menghampiri Mbok Yam yang gemetar. Ia menanyakan keberadaan Mang Udin, menantu Mbok Yam. Spontan, Mbok Yam menunjuk Poskamling di dekat Sungai Kapuas, tempat biasa Mang Udin sering mabok dan melinting ganja bersama beberapa warga di kampung yang sangat terkenal di Pontianak sebagai kampung narkoba itu. Mbok Yam hanya bisa menangis bersama Nong, putri sulungnya, ketika aparat memborgol Mang Udin melewati depan rumah perempuan tua itu. Sebenarnya sudah ribuan kali Mbok Yam mengingatkan menantunya itu, tapi Mang Udin tak pernah menggubris.

Mbok Yam sedih bukan karena memikirkan nasib putrinya setelah Mang Udin ditahan. Toh selama ini menantunya itu cuma pengangguran yang lebih sering mabok dan berjudi di Poskamling, sambil sesekali mencari nafkah dengan melinting ganja dan menjadi bandar narkoba.

Bukan itu. Mbok Yam sedih karena di rumah itu hanya Mang Udin satu-satunya orang yang bisa mengendarai motor bututnya dan setia mengantar Mbok Yam ke Pasar Flamboyan setiap subuh untuk membeli sayur. Cucunya masih usia SD, dan Nong tentu tidak bisa mengendarai motor.

Sedang putra bungsu Mbok Yam, Jarkasi, telah lama merantau ke Malaysia sebagai TKI ilegal. Sejak kematian suaminya setahun silam tanpa meninggalkan warisan apapun, kecuali rumah semi permanen di Beting, Jarkasih yang hanya lulusan SMP itu nekat mengadu nasib di Malaysia demi membiayai keluarga. Ia bekerja di perkebunan sawit milik seorang cukong.

Setahun sekali, setiap akhir Ramadan, putra bungsunya pulang ke Beting membawa uang dan makanan dari Malaysia. Tahun lalu, Jarkasi pulang membawa kabar gembira.
“Aku ingin menikah dengan gadis Malaysia, Mak.”
“Gadis Malaysia atau TKW?”, tanya Mbok Yam.
“Gadis asli Malaysia, Mak. Dia membuka kedai di dekat basecamp kami di Kuching.”
“Ya, sudah. Kalau memang sama-sama cinta, menikah saja. Daripada zina.”
“Tapi, Mak..”
“Kenapa?”
“Aku malu,” ujar Jarkasi sambil menunduk.

Mbok Yam sudah paham maksud anaknya tanpa perlu dijelaskan. Jarkasi pasti malu jika calon besannya tahu di mana ia tinggal. Mbok Yam juga tak mengerti, kenapa kampung yang dulu terkenal sebagai kampong religius dan menjadi pusat dakwah para habaib di Pontianak ini, kini telah dikotori tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Entah darimana mereka dating, Mbok Yam tak mengerti.
****
Subuh itu Mbok Yam dibonceng tetangga menuju Pasar Flamboyan. Ia berjalan pelan melewati para pedagang. Kini tubuhnya renta dan sudah tidak kuat lagi menapaki beceknya Flamboyan. Di tambah mata yang rabun, apalagi di subuh hari yang masih gelap.

Usai dari Flamboyan, Mbok Yam segera menuju Pasar Senggol. Bagi perempuan seperti dirinya, Pasar Senggol bukan sebagai tempat transaksi belaka. Tapi pasar tua itu juga menjadi saksi bisu pertemuan Mbok Yam pertama kali dengan Bang Amat, almarhum suaminya yang merupakan pengemudi sepit yang selalu parkir di bawah gertak Pasar Senggol.

Kini Pasar Senggol telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup Mbok Yam, dengan segala peristiwa yang telah ia alami. Mbok Yam tersenyum menatap pasar itu. Di sanalah ia siap menggelar hidupnya. Beberapa sepit mulai melaju yang membuat gertak Pasar Senggol bergetar. Para pedagang dan pembeli mulai berdatangan ke Pasar Senggol.

Transaksi bisnis mulai berlangsung. Mbok Yam dengan senyum terbaiknya setia menyapa para pembeli. Senyum yang membantunya  menghapus duka di hatinya. Senyum yang selama ini telah menguatkannya untuk mengarungi kerasnya hidup.

Pontianak, 18 Oktober 2015
(Telah dimuat dalam antologi cerpen 'Langit Bumi Arwana' tahun 2015





Februari Merah Jambu

$
0
0
Februari Merah Jambu
Vivi Al-Hinduan


Besok  adalah Hari Valentine. Hari Kasih Sayang sedunia, begitu kata ibu-ibu muda di komplekku, sebuah komplek yang lumayan elit di kotaku.


“Wajib dirayain loh, Jeng. Cuma setahun sekali,” kata Jeng Astri, tetanggaku.
“Iya, Jeng. Besok malam kita ngerayainnya di rumah saya. Jeng Fat ajak suaminya dong. Kita bikin barbeque party di taman belakang rumahku,” kata Jeng Tyas.
“Nggak di hotel aja?”  Jeng Astri antusias menyarankan.
“Waduh, lagi bokek nih, Jeng. Dirumah aja ya? makanannya pake katering kok, tenang aja.”
Dress code nya apa ya yang bagus?” tanya Bu Broto.
“Yang pasti pink. Trus romantic dress. Ehm..polkadot juga lucu ya?” Mbak Ratna mengusulkan.
“Wah, aku mau pakai tas Hermes pink yang bulan lalu kubeli di Singapura. Trus gaun pinkZara, sepatunya Prada aja ah.” mata Jeng Astri berbinar cerah.
“Eh, saya dibelikan suami saya kalung berlian Swarovsky loh,” kata Mbak Dewi.
“Wah, hebat dong.”
“Iya, aku juga punya kok Swarovsky.”
“Wah, kalo gitu gitu dress code nya Swarovsky party aja ya? seru bo’. Blink-blink.”
Aku hanya terdiam menyaksikan kehebohan ibu-ibu muda di komplekku menyambut Valentine.
“Jeng Fat pernah nggak  ngerayain Valentine?” tanya Mbak Dewi.
Aku ingat, waktu masih SD, aku dan teman-teman sekelas saling bertukar kado setiap tanggal 14 Februari. Untuk merayakan Valentine, kata teman-temanku. Tamat SD, aku masuk ke sebuah pesantren putri di Bangil selama tujuh tahun. Setelah tamat, aku dinikahkan dengan sepupuku sendiri yang merupakan lulusan UIN di Surabaya. Ia membuka usaha restoran Timur Tengah yang laris manis di kotaku dan bahkan banyak permintaan dari pengusaha muda di daerah lain agar ia segera mewaralabakan restoran Timur Tengahnya itu.
“Eh, aku pengen banget beli baju rancangan Dolce& Gabbana, yang warna hitam itu loh. Biar kayak Bianca Balti,” kata Jeng Astri sambil tertawa genit.
“Aku pengen beli sepatu Miu-Miu, kalo bisa punya koleksi pakaian Chanel minimal satu buah. Terus tambah koleksi Hermes satu lagi. Oh, aku pengen punya baju rancangan Tex Saverio. Itu loh, Jeng, Alexander Mc Queen-nya Indonesia.” Mbak Dewi berkata dengan penuh antusias. Matanya tak lepas menatap model-model cantik berwajah bule di sebuah stasiun tivi khusus fashion yang  memperagakan busana khusus menyambut Valentine. Sepertinya seluruh dunia benar-benar antusias menyambut Valentine.
Aku bingung, benarkah apa yang dikatakan Jeng Astri, bahwa semua orang di seluruh dunia serentak merayakan Valentine setiap tanggal 14 Februari? Kalau memang benar, mengapa setiap tanggal 14 Februari  masih saja banyak darah yang tumpah dan nyawa orang-orang lemah yang tak berdosa melayang begitu saja di Gaza, Palestina? Tidak sedetik pun para tentara Israel itu menghentikan sejenak agresi militernya ke Gaza pada Hari Kasih Sayang itu. Kalau itu mereka lakukan, tentulah aku tau, karena pasti seluruh stasiun tivi di dunia ini akan berebut menayangkan berita langka itu secara langsung.
***
“Buku apa itu, Kak?” tanyaku pada Kak Migdad, sepupu merangkap suamiku itu.
“Ini buku tentang cara menulis skenario film. Banyak kok dijual di toko buku.”
“Buat apa Kakak beli itu? Mau jadi penulis skenario?”
“Yah, kali aja ada produser yang berminat nawarin aku jadi penulis skenario sinetron Cinta Fitri season tujuh puluh sampai seratus. Atau Sex and The City versi Indonesia.”
“Haha, bisa aja.”
“Mau baca? Siapa tau nanti kamu jadi penulis skenario sinetron...”
“Aku mau bikin film tentang Valentine.”
“Valentine? Tapi kita tidak merayakannya, Fat.”
“Tapi ibu-ibu muda di komplek ini besok malam mau ngerayain Valentine dirumah Jeng Tyas. Kita juga diundang. Khusus buat yuppie couple, katanya.”
Yuppie couple?”
“Itu loh. Pasangan muda di kota besar yang baru menikah, berpendidikan tinggi, akrab dengan teknologi tinggi. Para  suami istri yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Mbak Dewi bilang pokoknya yang memenuhi syarat seperti itulah.”
“Apakah kita termasuk yang seperti itu?”
Aku terdiam.
Kak Migdad menatapku lembut, “Sayang, kalo tujuan kita merayakan Valentine hanya untuk menunjukkan betapa sayangnya kita pada pasangan, bukankah setiap saat kita sudah merayakannya di rumah ini? Lalu buat apa pake acara seremoni tahunan segala?”
Kak Migdad benar.
“Besok malam kita ke mall yuk,” ajaknya. ”Aku mau ajak kamu melihat kegiatan industri besar-besaran beromset trilyunan rupiah di seluruh dunia yang memanfaatkan momen Valentine. Minimal kamu akan melihat skala kecilnya dulu.”
“Maksud Kakak?”
“Makanya besok malam kita ke mall, nanti kamu juga pasti tau sendiri.”
Apakah  semua itu ujung-ujungnya duit? Aku memang seorang wanita lugu yang hanya lulusan pesantren, tapi apakah Mbak Dewi  dan yang lainnya itu, yang selalu menyebut diri mereka para yuppie coupleberpendidikan tinggi itu juga tau fakta di balik semua ini? Entahlah.
***
“Kamu tau Fatimah, para narapidana di Amerika Serikat yang rata-rata keturunan Afro-Amerika itu, ternyata selama ini dijadikan buruh gratis untuk industri-industri  besar di sana. Mereka disuruh membuat pakaian jadi, selimut, dan apa saja yang bisa mereka kerjakan dari balik dinding penjara. Kalaupun diberi  upah, ya kecil sekali.”
“Emang Kak Migdad pernah ke sana?”
“Ya enggaklah, sayang. Aku nonton di tivi, acara Voice of America.”
“Oh.”
Kak Migdad mengendarai mobil menuju mall di pusat kota. Mobil kami berhenti di lampu merah. Di sebelah mobil kami, pasangan muda yang memakai kaos couple berwarna merah muda berboncengan di sepeda motor. Gadis yang kutaksir umurnya masih sangat belia itu menempelkan tubuhnya ke punggung pasangannya, mencengkeram pinggang pasangannya dari arah belakang. Mesra sekali.
“Lucu ya, Kak.”
“Kenapa?”
“Cerita Kakak tentang buruh narapidana kulit hitam itu mengingatkanku dengan Obama, yang beberapa tahun lalu ke Jakarta. Betapa rakyat dan pemerintah kita begitu memujanya laksana dewa.”
“Yah, itulah bedanya Barrack Obama dengan barak pengungsi,” Kak Migdad  tertawa lepas.
Mobil kami melaju menuju mall. Sampai di mall, kami kebingungan mencari tempat parkir. Mall penuh sesak meskipun ini malam Sabtu. Akhirnya kami dapat juga tempat parkir di halaman depan mall. Kami berjalan santai di dalam mall yang luas. Sebagian besar restoran di dalam mall disesaki pasangan muda belum menikah yang bergembira merayakan Hari Kasih Sayang global itu. Kami berjalan di depan gerai yang menjual pernak-pernik untuk para remaja putri. Beberapa remaja putri  yang belum memiliki pasangan, datang berbondong-bondong menyerbu gerai itu. Pernak-pernik yang dijual hampir semua berwarna merah jambu. Seorang remaja putri keluar dari gerai itu dengan membeli sebuah bantal besar berbentuk simbol hati berwarna merah jambu.
Kami naik eskalator ke lantai tiga. Di depan pintu masuk bioskop dengan enam buah studio itu, dipajang poster-poster besar  film-film drama romantis yang tayang khusus selama  Valentine. Untuk sementara, film-film bergenre horor  buatan tanah air tidak diputar dulu, karena akan mengurangi keromantisan malam Valentine.
Kami menuju sebuah toko boneka yang tak jauh dari bioskop. Aku melihat seorang ibu dan anaknya yang kira-kira berumur lima tahun menunjuk ke sebuah boneka beruang ukuran besar berwarna merah jambu yang dipajang di etalase toko.
“Ma, belikan beruang itu. Pokoknya mau yang itu.”
Aku mendekatkan wajah ke etalase untuk melihat harga boneka beruang itu.
“Berapa harganya, Mbak?” kata si ibu mengagetkanku.
“Tiga ratus ribu rupiah,” jawabku.
“Aduh, mahal, Nak. Yang lain aja ya ,sayang?  Mumu kan udah punya boneka kayak gini. Lagian buat apa sih punya boneka gede? Yang kecil aja ya?”
“Nggak mau! Pokoknya Mumu hanya mau yang itu!”
Anak itu mulai menjerit-jerit histeris. Dengan terpaksa si ibu masuk ke dalam toko dan disambut dengan wajah penuh senyum kepuasan dari si mbak penjaga toko.
“Kita makan, yuk. Lapar nih,” kata Kak Migdad.
Kami menuju sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Jepang. Restoran itu ternyata tak mau ketinggalan pula dalam menggaet pelanggan di malam Valentine ini. Mereka menawarkan menu spesial yang diberi nama seromantis mungkin khusus untuk menyambut Hari Kasih Sayang global ini.
“Malam ini para remaja di Yogyakarta merayakan ‘Festival Melupakan Mantan’ untuk menyambut Valentine,” Kak Migdad membuka pembicaraan.
Astagfirullahaladzim. Makin rusak saja anak muda kita.”

“Yah, barangkali ada yang senang melihat anak muda Indonesia hancur karena narkoba dan perayaan seperti Valentine. Yang pasti, para pedagang untung besar tiap Valentinan. Dan bangsa kita selalu berebut menjadi konsumen. Itulah kenapa Valentine harus tetap ada. Karena harus ada yang tetap hidup dan mendapat keuntungan dari momen tahunan ini. Kamu ngerti?”

Aku menganguk. Aku jadi teringat dengan ibu-ibu muda di komplekku yang begitu tergila-gila dengan produk impor demi menaikkan gengsi. Aku berpikir, apakah ekonomi  Valentine yang telah merambah ke semua bidang ini juga turut dirasakan oleh Mas Joko yang berjualan pecel  lele di dekat pintu gerbang komplek kami?  Atau Yu Surti, si penjual jamu gendong langgananku? Tiba-tiba aku teringat dengan Jeng Tyas yang tengah mengadakan pesta Valentinan, entah seperti apa model pesta itu, aku tak tahu. Aku hanya seorang wanita lugu lulusan pesantren.
Pontianak, 14 Februari 2015



Pada Sebuah Bintang

$
0
0
Pada Sebuah Bintang
Vivi Al-Hinduan



Setiap malam aku memandang langit.  Selalu berharap ada bintang jatuh yang melintasi langit malam. Kalau berhasil kutemukan, akan kucuri dan kutelan. Kukunyah dan kulumat habis hingga tak tersisa.  Aku menghangatkan tubuh dengan menghirup cappuccino hangat untuk melawan dinginnya  malam. Akankah kamu hadir di antara bintang-bintang dan meluncur ke bumi dalam wujud bintang jatuh?  Tapi malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Tak satu pun bintang  di langit. Aku dipaksa menelan hampa hingga pagi tiba.
***
“Aku ingin ber-reinkarnasi menjadi bintang,”  kamu berkata padaku malam itu, di antara desahan nafas yang memburu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku ingin selalu menerangi malam-malammu.”
Aku mencium kamu penuh nafsu. Menjelajahi setiap jengkal tubuh polosmu yang diterangi sinar rembulan.
“Aku mencintaimu,”  bisikku lembut.
“Apakah kau akan menikahiku?” tanya kamu sambil membelai rambutku yang tergerai , basah oleh keringat.
“ Apakah itu mungkin?” tanyaku pasrah.
“Ach! Kenapa kita tak dapat merubah takdir? Apakah kita harus hidup seperti ini selamanya tanpa ikatan perkawinan?”
Aku tertawa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Kamu lucu.”
“Aku?”
“Ya. Kau ingin aku menikahimu?”
Kamu mengangguk.
“Mari kita ke Belanda.”
“Kenapa nggak ke Amerika saja?”
***
Tapi aku dan kamu sama-sama tahu, kita takkan pernah menikah di Belanda, apalagi Amerika. Karena sore itu, kamu menemui aku di taman sunyi, tempat kita memadu kasih.

“ Aku akan menikah minggu depan,”  kamu memecah sunyi.
“Dengan aku?” aku mencoba bercanda.
Kamu hanya tersenyum.
“Aku ingin menikah dengan seorang laki-laki sejati,” tegasmu.
“Tolong jangan bilang kalau..”

Kalimatku terhenti oleh ciumanmu di bibirku yang rapuh. Waktu serasa berhenti sesaat. Namun tiba-tiba kamu melepaskan dekapan hangat bibirmu di bibirku . Aku serasa terlempar dari lorong waktu.

“Tidak!”
“Kenapa?”
“Aku ingin menghentikan semua kegilaan ini. Cukup sudah!”
“Kenapa kau lakukan ini semua padaku?”
“Aku ingin menjadi seorang wanita sejati yang menikahi seorang pria sejati.”
“Omong kosong!”
“Aku serius. Ini bukan takdir kita. Ini hanya penyimpangan kejiwaan. Kau bisa sembuh jika mau”
“Mari kita kabur dari negeri ini, beib.”
“Tolong jangan pernah katakan itu lagi.”
“Dasar perempuan penipu!”
“Tidak. Kaulah yang telah menipu dirimu sendiri.”
“Apa yang salah denganku?” aku terisak.
“Tidak ada. Kamu tidak bersalah. Akulah yang telah tersesat selama ini. Aku merasa seperti  Colombus yang telah tersesat jauh dalam usahanya menemukan benua yang sebenarnya.”
“Kukira kau batu permata, rupanya kaca penggores luka.”
“Maafkan aku. Masih ada waktu untuk kembali. Bertaubatlah.”
“Kenapa kau tega melakukan ini padaku?”

Tapi kamu tidak menjawab. Suara klakson mengagetkanku. Seorang pria berkacamata hitam telah menunggumu di mobil itu. Kamu menyerahkan sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda, dan perlahan meninggalkanku.

“Masih ada waktu untuk kembali. Kembalilah! Seorang pria sejati telah menunggumu di suatu tempat,” bisik kamu untuk terakhir kalinya di telingaku.
“Aku akan selalu menunggumu. Aku akan menunggu hingga kau mati dan ber-reinkarnasi menjadi bintang yang kembali jatuh ke pelukanku untuk selamanya,” aku berteriak hingga serak.

Ach, cinta, apakah kau masih bermakna? Tatkala asa telah menjelma luka? Aku tau kamu masih mencintaiku. Tapi kamu dihadapkan pada dua pilihan, dan kamu tak mungkin memilih keduanya.  Aku tak menyalahkan pilihanmu. Bukankah hidup adalah pilihan? Pun meski aku mengharubiru, itu takkan mampu mengubah takdirku.

Aku mungkin telah salah mengambil nomor undian jenis kelamin, ketika masih mendekam di rahim ibu, hingga terlahir sebagai seorang perempuan. Mungkin satu-satunya yang patut disalahkan hanyalah cinta, makhluk paling irrasional di muka bumi ini, yang telah melabuhkan hatiku padamu untuk selamanya. Tapi siapakah yang mampu menahan datangnya cinta?

“Kenalkan, ini Kei,” kamu pernah memperkenalkan pria itu padaku bulan lalu.
“Kei,” ia memperkenalkan diri.
Aku menyebut namaku, tanpa menaruh curiga sedikit pun padanya.
“Kami teman sekantor,” kamu melanjutkan. “Aku dan Kei akrab sejak setahun terakhir.”
“Oh,” itu saja yang keluar dari bibirku waktu itu.
****
Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Bintang-bintang kecil berkelap-kelip di langit malam yang gelap. Ingin rasanya aku terbang dan menggunting gravitasi agar bintang-bintang itu berguguran ke bumi. Atau aku memancing bintang jatuh yang kebetulan melintas di langit malam dengan aroma cappuccinoku yang seksi, lalu membiarkannya larut di ususku.

Aku telah meneguk habis cappuccino ketigaku dan mengisi cangkirku dengan cappuccino keempat untuk melawan kantuk dan menghangatkan tubuh. Tapi  aku kalah. Selalu kalah. Pun aku tak mampu berbuat apa-apa ketika dokter memvonisku menderita kanker serviks. Aku ingat, aku pernah mengeluh padamu tentang vaginaku yang beberapa kali mengeluarkan darah setelah berhubungan.

“Kamu sudah periksa?” kamu bertanya padaku waktu itu.
Aku menggeleng, “Aku takut.”
“Mungkin cuma kista kecil. Bisa dioperasi kok.”
“Masak?”
“He-eh. Makanya periksa biar jelas.”
“Tapi..kalo yang lain gimana?”
“Misalnya? Nggak mungkin HIV kan?”
“Aku tak tau. Aku takut kalau ternyata bukan sekedar kista.”
“Halah, jangan suka nakutin diri sendiri. Ntar kejadian loh.”
Ternyata firasatku benar. Aku ingin pingsan ketika dokter itu mengatakan kemungkinan terburuk penyakitku.
“Leher rahim Anda harus diangkat.”
“Tapi Dok..”
“Ya, terserah Anda. Kalau mau coba pengobatan alternatif ,ya, silahkan saja.”

Bintang-bintang masih menari di langit. Udara tengah malam menusuk tulangku. Mungkin kamu takkan pernah ber-reinkarnasi menjadi bintang. Namun, aku takkan pernah putus menggantung harap pada sebuah bintang.  Aku bukanlah seorang pecundang yang menyerah meski kamu meninggalkanku, dan penyakit ini datang begitu saja menggantikan kamu di tubuh aku. Tidak! Aku membawa cangkir kosong cappuccino masuk ke rumah. Hampa.
***

Di langit, sebuah bintang tampak bersinar lebih terang dari bintang lainnya. Bintang itu berkelap-kelip dan bergerak perlahan melintasi langit malam menuju bumi.

Melayu Funky: Lakon Tiga Babak

$
0
0
Melayu Funky: Lakon Tiga Babak*)

Vivi Al-Hinduan



Babak I : Tragedi Air Balon

Suatu pagi di sebuah rumah…

“Alamaak..air balon udah habis. Yaaam…oh Yam..” Kinenez memanggil menantu perempuannya.
 Ada apa, Mak?”
“Tolong telponkan tauke air, Yam. Air balon kita udah habis.”
Kinenez menunjuk galon air yang sudah kosong.
“Iye, tau Iyam.”
Iyam bergegas menuju telepon di sudut meja dan memutar sebuah nomor.
“Halau…tauke ya?  Iya, ini Iyam, menantunya Pak Kidatoz. Iyam pesan air salon satu ya, tolong diantar sekarang.”
Terdengar respon dari ujung sana yang langsung dijawab Iyam dengan penuh percaya diri.
“ Iya. Air  P-A-R-A-L-O-N.”
Klik.
“Udah kau telepon, Yam?” tanya Kinenez sambil  menyiapkan sarapan di atas meja.
“Udah, Mak. Iyam mau membangunkan Raja Singa dulu.”
Iyam bergegas ke dalam kamar membangunkan suaminya.

Tak lama kemudian…
Selamat pagi Emak/ Selamat pagi Bapak/ Mentari hari ini/ Bersinar lagi…

Kibapaz bernyanyi sambil duduk di kursi dan menyeruput teh manis yang masih panas.
“Yam, kau ndak nyarap?” tanya Kidatoz sambil membetulkan kain sarungnya yang kedodoran.
“Iye, tau Iyam. Mentang-mentang Iyam pernah sakit syaraf. Itu terus diungkit-ungkit kakek alay satu nih.”
“Siape bilang kau pernah saket syaraf? Bukannya dulu kau pernah kena gile babi?” sahut Kibapaz sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Tak lama kemudian…
“Ibu pesan paralon air ya?” si tauke datang membawa paralon.
“ Iye, betol. Tolong gak isikan sekalian di sepenser ye,” sahut Mbok Yam.
“Dispenser kali?”
“Iye, betol. Emang tadi saye bilang ape?”
“Tapi, Bu, paralon masak ditaruh di dispenser?”
“Terus mau ditarok dimane? Masak di kulkas? Bodo amat.”
“Horee…air balon udah dating,” Kinenez berseru kegirangan.

Babak II : Karmila Satarajanan
Senja itu Kinenez tengah bersiap menonton acara favoritnya di TVRI, Bincang Uang. Dengan mengajak Kidatoz, sang suami tercinta, mereka duduk di ruang keluarga sambil menyeduh kopi panas.
 “Iya Nek, tau,” sahut Kidatoz sambil menghirup kopinya.
Tak lama muncullah seorang pembawa acara Bincang Uang yang berwajah perpaduan antara Najwa Shihab dan Ashanty, istri Anang Hermansyah.

Selamat sore, pemirsa TVRI.  Jumpa lagi dengan saya, Karmila Satarajanan dalam acara kesayangan anda, Bincang Uang. Kali ini saya membawakan topik berjudul ‘Investasi Bagi Pensiunan’. Dalam acara kali ini, saya ingin mengajak Bapak/ Ibu pensiunan sekalian agar berinvestasi dan pintar merancang dana pensiun Anda sejak dini, terutama bagi Pak Kidatoz  si kakek alay, dan Ibu Kinenez yang kurang pendengaran dan selalu mengeja TVRI dengan VRI. Stop. Please!
Pak Kidatoz, saya sarankan berhati-hatilah dalam menyimpan uang pensiun anda yang tidak seberapa itu, terutama dari incaran anak tunggal anda yang pemalas dan mata duitan, Kibapaz. Bu Kinenez, apakah Ibu sudah menjaga betul uang pemberian suami anda yang tidak seberapa itu dari intaian jahat cucu pertama anda, Si Unun? Atau menantu anda yang matre itu, siapa namanya?
“Iyam Marijom,” sahut Kidatoz dan Kinenez serentak.
“Iya, betul. Dengar-dengar dia sudah pake gigi palsu ya, sekarang? Nggak ompong lagi, dong?” sahut Karmila dari dalam tivi sambil tertawa cekikikan.
Kidatoz menyahut, “Oh, tentu saja, Karmila darling. Marijom sejak pake gigi palsu jadi mirip Ximena Navarette, miss yang dari Meksiko itu loh.”
“Bukannya dia jadi mirip Lula Kamal, Tok?” sahut Kinenez.
“Oke, lanjut pemirsa. Kenapa kita harus merancang dana pensiun kita sedini mungkin?” tanya Karmila dari dalam tivi.
“Karena kita orang susah,” sahut Kidatoz.
“Bukan, Tok. Karena itu..karena itu..obat awet muda,” sahut Kinenez sambil menyanyikan sepenggal lagu Iwan fals.
“Duh, kalian ngomong apa sih? Kasih tau nggak ya?” Karmila menyahut dari dalam tivi.

Pemirsa, kita lanjut lagi. Kita perlu merancang dana pensiun sedini mungkin karena pertama, laju inflasi setiap tahun selalu lebih besar nilainya dari bunga tabungan kita. Maka menabung adalah cara paling buruk untuk bisa cepat kaya.
Kedua, karena seiring laju inflasi, maka kebutuhan pasti akan meningkat pula. Sementara uang yang kita tabung di bank akan berkurang nilainya. Satu juta rupiah yang anda tabung hari ini akan berkurang kemampuannya di tahun depan untuk membeli barang yang sama dengan yang anda beli saat ini. Karena itulah kita butuh investasi selain menabung.
Apa saja instrumen investasi yang tepat bagi para pensiunan seperti Anda? Jangan beranjak dulu, saya akan segera kembali setelah yang satu ini…

“Hei, jangan pergi Karmila sayang!”sahut Kidatoz.
“Dasar alay!” Karmila menyahut dari dalam tivi.
“Hey, Datok alay! Dasar mata keranjang. Udah, Karmila, istirahat sana,”  Kinenez hendak mematikan tivi.
“Bu, Kinenez, lihat! Si Unun lagi bongkar lemari Ibu tuh. Dia lagi cari dompet Ibu. Dia mau pergi ke mall.”
“Hah? Karmila tau dari mana?” Kinenez terkejut.
“Ada CCTV ya di TVRI sana?” tanya Kidatoz.
“Ya ampun, kalian itu gimana sih? makanya jangan nonton dulu. Tuh liat! Pintu kamar kalian terbuka lebar. Terang aja aku bisa liat dari sini.”
“Unun, Tok. Tolooong…Poloooong.”

Dan Kinenez pun terbangun tepat disaat Unun keluar dari kamar Kinenez membawa segenggam uang kertas seratus ribuan dan berlalu santai menuju Mall yang tak jauh dari rumah mereka.

Babak III : Keluarga Melayu Funky

“Bising aku. Pagi-pagi udah dapat SMS penipuan. Banyak benar gak penipu kurang kerjaan di negeri ini,” Kibapaz mengomel di pagi hari.
“Apa sih isi SMS nye, Pak?”  Titin, putri kedua Kibapaz menyahut.
“Biasalah. SMS Mama Minta Pulsa.”
“Oh,kalau itu sih serahin aja sama Titin. Biar Titin balas SMS itu.”
Kibapaz  memberikan ponselnya kepada Titin. Titin lalu mengetik SMS balasan dan mengirimkannya.
“Udah kau kirimkan, Tin?” tanya Kibapaz.
“Sudah, Pak. Baca deh.”
Kibapaz lalu membuka pesan terkirim dan membaca SMS balasan dari Titin dengan lantang,
“Barusan Papa, Adik, Kakak, juga mengirim SMS yang sama. Kenapa sih keluarga ini selalu kehabisan pulsa dan sering berurusan dengan polisi? Malu aku terlahir di keluarga ini. Malu! Malu!”
****

“Tin, tolong gak bukakan Nek Dosiar, Nek nak nonton setron,” kata Kinenez sambil mengunyah sirih, lipstick tempo doeloe.
Titin menurutinya.
“Ih, iklan pulak Dosiar nih. CTI nomer berape, Tin?”
“Nomor lima, Nek,”  sahut  Titin dari dapur.
Kinenez mengambil remote. Di tivi muncul angka 7.
“ Ini Tro TV. Tin mau bohongkan Nek ye?”
Titin tak bisa menahan tawa.
“Sekarang tanggal berape ye?” tanya Kidatoz yang masuk ke dalam rumah.
“Sekarang hari bulan Rabu. Nanti malam ade acare Pantun Melayu di VRI,” sahut Kinenez.
“Oh, tanggal 30. Tolong gak tengokkan di almanak tuh, tanggal 1 November nanti hari ape?”
“Hari Pahlawan,”  jawab Unun.
“Nun, kalau CTV nomor berape? Nek nak nonton Tukul.”
“Tukul nanti malam, Nek. Sabar ya,” ujar Unun.
Akhirnya Kinenez pun memilih RCTI. Ketika sedang asyik menonton, tiba-tiba listrik padam.
“Padam agik anem nih, risau aku. Tak bise nonton CTI aku. Ape nak disagu’, “gerutu Kinenez.
“Mak, ade mandang daster Iyam warne dadu, ndak?”  tanya Iyam.
“Kutarok dalam keranjang jingge.”
“Ngape pulak Emak tarok dekat kandang ayam?”
“Ape pulak dalam kandang, bodobale? Die narok di dekat jamban,” Kidatoz yang galak ikut nimbrung.
***

“ Kabu-kabu tilam nih banyak yang udah hancai dah, Yam,” Kinenez curhat sambil menjahit kasur tipisnya yang sobek.
“Kalo ndak, Nek nak jahet tadi malam. Eh, anem pulak padam. Wahal jahet malam-malam nyaman, tadak dikaru dengan budak badi nih,” kata Kinenez sambil menunjuk Unun, cucu pertamanya yang berkebutuhan khusus.
“Aok, Nek. Perak mang Pontianak nih. Anem malar padam, jembatan tol malar macet selarat. Macam gini dibilang kote modern,” Titin menyahut dari teras depan sambil mengunyah permen karet.
“Mane gak tadak nak macet, Tin. Motor tambah banyak, jalan tambah sempit. Tak nanggar lah budak tuh,” Kibapaz menimpali.
“Alamak…lawar benar gak perempuan dalam tipi tuh,” kata Kidatoz.
“Datok nih sepok, gak. Itu bukan orang, Tok. Itu pelam karton,” sahut Unun.
Yihaa..!!

Keterangan :
Perak : Parah
Wahal : Padahal
Lawar : Ganteng; Cantik
Malar : Sering; Terus-terusan
Selarat : bahasa Melayu Pontianak tempo doeloe yang artinya adalah kerap kali
Disagu’ : bahasa Melayu Pontianak tempo doeloe yang artinya adalah diandalkan
Anem : Listrik PLN
Tak Nanggar : Tak mampu lagi menampung
Dadu : Merah Muda
Jingga : Oranye
Sepok : Kampungan


*) Telah dimuat di Harian Pontianak Post, Minggu 17 Juli 2011

Weekend Ini, Mau Ke Mana?

$
0
0
EntrepreneurKreatif.Com-Weekend Ini, Mau Ke Mana? Bagi SobatPreneur yang sudah punya pasangan atau keluarga, tentu weekend ini adalah waktu spesial untuk dihabiskan bersama orang-orang tercinta. Tapi, kalo kamu lagi jomblo, masih ngekost, jauh dari orangtua (dan pacar), ditambah cuaca yang sering baper kayak perasaan kamu. Jiaah! sehingga membuat kita malas ke luar rumah, ada satu acara menarik nih buat hiburan malam Minggu dan malam Senin kamu (bukan artikel endorsan loh ni), judulnya The East.



Sudah beberapa bulan terakhir, saya suka sekali menonton Teleseri(baca: sinetron) bergenre komedi di NET.  The East. Lucu banget. Para pemainnya enak dipandang. Dan yang unik, menampilkan setting di kantor NET sendiri dan para pemainnya berprofesi sebagai karyawan NET, khususnya reporter, host, dan bidang penyiaran lainnya, sehingga membuka wawasan kita dengan pekerja di industri pertelevisian  tanah air, lengkap dengan drama dan politik kantor di dalamnya yang semakin menambah seru acara. Nama The East diambil dari nama gedung NET TV sendiri.




So, mau ke mana weekend ini? kalau saya, daripada keluyuran di musim hujan ini, mending ngadem teman tivi di rumah sambil nonton The East
Viewing all 390 articles
Browse latest View live